Kamis, 25 April 2024 | 22:46
OPINI

Renungan Minggu 23 Oktober 2022 Minggu Biasa XXX Hari Minggu Misi Sedunia

Ekosistem dan Kerendahan Hati

Ekosistem dan Kerendahan Hati
Ilustrasi (Dok Rm Yote)

ASKARA - Dalam beberapa tahun belakangan musim hujan datang lebih awal. Bahkan di hari-hari yang diprediksi sebagai musim kemarau, hujan turun dengan derasnya. Sementara saat ini, di Eropa dan China terjadi kekeringan yang mengerikan. Dasar sungai-sungai besar tampak di permukaan karena surutnya debit air dengan drastis. Demi menyelamatkan produktifitas pangang, ladang dan kebun sayur terpaksa disiram dengan air dari mobil pemadam kebakaran. 

Dunia menghadapi bencana perubahan iklim. Dampak perubahan iklim itu makin dahsyat karena dibarengi dengan eksploitasi alam besar-besaran dan tanpa henti. Bumi tak lagi kuat menyangga beban kerusakan alam akibat perilaku manusia. Bumi sebagai  tempat tinggal umat manusia makin terancam kelekstariannya, justru terjadi akibat ulah manusia sendiri. Akibat keserakahan manusia sendirilah bumi sebagai rumah tempat tinggal bersama terganggu keseimbangan alamnya.

Paus Fransiskus melihat keprihatinan ini dan menerbitkan ensiklik “Laudato Si” pada 2015 lalu. Paus memulai dialog dengan semua orang tentang rumah kita sebagai rumah kediaman bersama. ," Dalam dokumen setebal 184 halaman itu. Paus juga menyatakan bahwa saat ini, manusia menghadapi masalah sosial dan lingkungan yang saling terkait. Masalah sosial itu disampaikan Paus bahwa orang-orang kaya yang terus memperkaya diri dan kian konsumtif sementara orang-orang miskin semakin dimiskinkan karena menghadapi banyak bencana alam.

Paus kemudian menerangkan bahwa kata "rumah" dalam bahasa Yunani disebut “oikos”. Dari kata oikos itulah muncul istilah “ekologi” dan ekosistem”. Kedua istilah itu merujuk pada segala hal yang terkait dengan keberlangsungan rumah bersama manusia, tempat tinggal semua orang, yakni bumi. Kerusakan alam berarti rusaknya ekosistem. Rusaknya sistem pengelolaan “rumah” yang baik, yang menyebabkan bumi tak layak lagi sebagai tempat tinggal.

Apa hubungan antara ajaran tentang kerendahan hati dengan ekosistem, sebagaimana dikatakan dalam Injil Lukas (Lukas 18:9-14)? 

Mari kita lihat dari petikan ayat terakhir Injil: “ Sebab barangsiapa meninggikan DIRI akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan DIRI akan ditinggikan".

Pada kalimat Yesus yang dikutip Lukas ada kata “diri”.  Meninggikan diri berarti menonjolkan diri. "Mendaku" sebagai yang terhebat.

Mengklaim diri sendiri sebagai yang terbaik. Memberi cap “the best” pada dirinya sendiri, pada doa orang Farisi dalam Injil Lukas tadi menempelkan atribut juara nomer satu dalam segala aspek: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain; aku bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini! Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.”

Lantas orang Farisi itu membandingkan dalam doa kepada Tuhan itu dengan seorang pemungut cukai sebagai orang yang kalah. 

Orang yang meninggikan diri adalah orang yang egois,  ego-sentris karena pusatnya adalah DIRI sendiri. Dengan  “litani kebaikan”-nya, orang Farisi itu menganggap Allah berkenan padanya. Ia tak hanya "mendaku" kehebatan, tapi juga mendikte Tuhan agar dirinya dibenarkan. Orang Farisi itu menjadi ego-sistem. Ia menganggap bahwa kepentingannya harus didahulukan dan yang lain disingkirkan.

Egosistem adalah ancaman bagi ekosistem. Justru ekosistem mensyaratkan -secara mutlak- kerendahan hati. Manusia bukan pusat alam semesta. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya bukan untuk menjadikan manusia lain dan lingkungan hidup sebagai hamba sahayanya. Ekosistem mengharuskan setiap orang sadar pada kelemahan dan ketergantungannya pada sesama dan lingkungan hidup di mana ia tinggal menetap. 

Sama seperti sikap pemungut cukai itu di hadapan Allah: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Bayangkan bumi sebagai sebuah rumah. Apa yang terjadi ketika semua orang bersikap egois, mendominasi, menguasai, mengeksploitasi dan merasa berhak melakukan apapun yang ia kehendaki?

Seperti disampaikan Paus pada dokumen Laudato Si. Bibit kehancuran bumi adalah masalah sosial dan lingkungan yang kait mengait. Manusia berusaha mengejar kesejahteraan atas dirinya semata dan mengabaikan keselamatan lingkungan.

Manusia lebih suka menganut egosistem daripada ekosistem. Dengan sikapnya ia ingin mendapat pembenaran dari Sang Pencipta bahwa ia “mahluk paling hebat karena dibekali Allah kekuatan untuk menguasai bumi”.

Injil hari ini memberi pelajaran berharga bagaimana menjadi bagian dari sebuah ekosistem. Karena dengan merendahkan diri orang akan ditinggikan. 

Dengan berbela rasa pada orang yang kekurangan orang merasa senasib sepenanggungan. Dengan welas asih orang menurunkan egonya dan berempati pada sesama serta lingkungan. Dampaknya, alam semesta akan merespon sikap itu. Saat orang menunduk, menggemburkan tanah di sekeliling pohon, melayani si pohon dengan menyiraminya, ia akan menerima buah yang penuh dan dahan serta daun yang teduh.

Dengan segala daya upaya untuk menjadi peduli, menjadi setara, egaliter, bermusyawarah, tak main kuasa manusia justru diangkat martabatnya sebagai mahluk Allah yang paling berharga. 

Bakti kepada Tuhan adalah juga bakti kepada semua ciptaan. Bakti dalam jalan yang dibenarkan oleh Allah, walaupun harus menderita seperti Paulus sebagaimana dikisahkan di bacaan kedua. Karena menjadi rendah hati berarti menanggung derita: derita status sosial. Banyak orang yang enggan merendahkan dirinya karena sudah terikat pada status sosialnya yang tinggi. “Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak ada seorang pun yang membantu aku; semuanya meninggalkan aku,” kata Paulus pada Timotius.

Pun dalam bacaan pertama dari kitab Putera Sirakh digambarkan: “Tuhan berkenan kepada siapa saja yang dengan sebulat hati berbakti kepada-Nya, dan doanya naik sampai ke awan.” Bakti yang paling nyata adalah hormat pada semesta. Menghargai sesama dan lingkungan hidup sebagai karunia yang diberikan Allah untuk dipelihara dan dijaga. Bukan untuk dirusak, semata-mata dimanfaatkan tanpa peduli keberlangsungan. Bakti yang sejati tak mungkin terjadi tanpa kerendahan hati.

Salam sehat berlimpah berkat.
+ Rm Yos Bintoro, Pr

Komentar