Kamis, 17 Juli 2025 | 17:25
OPINI

Nuklir: Di Antara Harapan, Kekuatan, dan Ancaman Kehancuran

Nuklir: Di Antara Harapan, Kekuatan, dan Ancaman Kehancuran
Bom Nuklir (Dok Freepik)

Oleh: Saur S Turnip

ASKARA - Bayangkan jika kita menyaksikan sendiri, sebuah bom kecil meledak dan menghancurkan seluruh Jakarta hanya dalam hitungan detik. Bukan karena banyaknya bahan peledak, tetapi karena ia melepaskan energi dari inti atom, reaksi yang dikenal sebagai fisi dan fusi nuklir. Inilah senjata nuklir.

Jangan menganggapnya sekadar alat perang. Senjata ini adalah simbol ketakutan, kekuatan, sekaligus harapan yang ironisnya bertumpu pada saling mengancam. Seperti tertulis dalam Mazmur 33:16-17:

"Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya tentara, seorang pahlawan tidak tertolong oleh besarnya kekuatan. Kuda adalah harapan sia-sia untuk mencapai kemenangan, yang sekalipun kuat, tidak dapat memberi kelepasan."

Apa Itu Senjata Nuklir?

Senjata nuklir adalah alat peledak yang menggunakan reaksi nuklir, baik dengan membelah inti atom (fisi) atau menggabungkannya (fusi), untuk menghasilkan ledakan dahsyat. Ledakan ini tidak hanya menghancurkan kota, tetapi juga menyebarkan radiasi mematikan, yang menyebabkan penyakit, cacat lahir, bahkan kematian bertahun-tahun setelahnya.

Sebagai gambaran: bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima hanya seukuran mobil kecil, tetapi membunuh lebih dari 140.000 orang. Bayangkan, hari ini senjata semacam itu dapat memiliki daya ledak puluhan kali lebih besar.

Mengapa Negara-Negara Tetap Mempertahankan Senjata Nuklir?

Alih-alih ditinggalkan, senjata nuklir justru dipertahankan dan terus dikembangkan oleh banyak negara, dengan alasan:

1. Pencegah Perang (Deterrence)

Negara pemilik senjata nuklir dianggap kecil kemungkinannya diserang. Serangan ke negara tersebut dapat dibalas dengan kehancuran total. Konsep ini dikenal sebagai Mutual Assured Destruction (MAD), jika saling menyerang, kita semua hancur. Ironisnya, ketakutan inilah yang justru diyakini menjaga perdamaian.

2. Kekuatan dan Pengaruh Politik

Senjata nuklir meningkatkan posisi tawar suatu negara dalam diplomasi internasional. Bahkan negara kecil atau berpenghasilan rendah seperti Korea Utara atau Pakistan menjadi sulit diabaikan karena memiliki nuklir.

3. Perlindungan Sekutu

Amerika Serikat, misalnya, tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga sekutu seperti Jepang dan Korea Selatan, dengan payung perlindungan senjata nuklir.

4. Kemajuan Teknologi

Program nuklir sering mendorong inovasi di bidang lain: dari pembangkit listrik tenaga nuklir, pengobatan kanker, hingga eksplorasi luar angkasa. Namun, ini ibarat pisau bermata dua, bisa bermanfaat, bisa mematikan.

5. Doktrin Minimalis

Beberapa negara memilih memiliki persediaan senjata nuklir dalam jumlah terbatas, sekadar untuk menjadi penangkal, bukan untuk mengancam dunia. Contohnya India.

Risiko Nuklir: Terlalu Berbahaya untuk Diabaikan

Dalam sekejap, satu ledakan dapat melenyapkan kota, menewaskan ratusan ribu orang tanpa peringatan. Dampaknya tidak berhenti di situ. Radiasi tersembunyi perlahan-lahan merusak tubuh manusia, memicu kanker dan cacat lahir bagi generasi berikutnya.

Asap dan debu dari ledakan bisa menutupi langit selama berbulan-bulan, menurunkan suhu bumi, menyebabkan nuclear winter, musim dingin buatan yang dapat memusnahkan tanaman, hewan, dan menyebabkan kelaparan massal.

Selain itu, setiap tahun, ratusan miliar dolar dihabiskan hanya untuk memelihara senjata ini, uang yang seharusnya bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau penyelamatan lingkungan.

Lebih parah lagi, teknologi nuklir kini tidak hanya dimiliki negara besar. Semakin banyak pihak yang ingin menguasainya, termasuk kelompok yang tak bertanggung jawab. Bila senjata ini jatuh ke tangan yang salah, dunia bisa berubah sekejap, bukan karena pilihan, tetapi karena kelalaian.

Ironisnya, senjata nuklir memang mencegah perang besar, namun juga memberi rasa aman palsu yang justru mendorong perang kecil, konflik proksi, atau serangan terbatas.

Kisah Nyata: Ketegangan Israel dan Iran

Sejak Revolusi Islam Iran 1979, hubungan Israel dan Iran bak Tom dan Jerry. Iran tidak mengakui Israel dan mendukung kelompok seperti Hamas dan Hizbullah. Di sisi lain, Israel menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial, bukan hanya untuk negaranya, tetapi seluruh kawasan.

Pada Juni 2025, Israel meluncurkan operasi rahasia Rising Lion untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Amerika Serikat ikut serta dalam serangan ini. Iran membalas dengan meluncurkan puluhan rudal ke Israel. Perang terbuka pun meletus.

Ini bukan sekadar perang proksi. Ini konflik nyata yang mengancam stabilitas kawasan. Israel menyebut serangannya sebagai pertahanan diri, Iran menyebutnya pelanggaran kedaulatan. Di balik klaim masing-masing, dunia menyaksikan dua negara yang makin dekat ke jurang perang nuklir.

Refleksi: Akankah Kita Terus Hidup dalam Ancaman?

Haruskah umat manusia terus bergantung pada senjata pemusnah massal untuk merasa aman?
Ataukah sudah saatnya kita sadar, bahwa keamanan sejati lahir bukan dari ancaman, melainkan dari penghormatan terhadap kehidupan dan kasih terhadap sesama?

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia dikaruniai akal untuk membangun, bukan menghancurkan; untuk merawat bumi, bukan memusnahkannya.

Teknologi seharusnya menjadi alat kemajuan, bukan kehancuran. Maka, sudah saatnya kita mendorong pelucutan senjata, memperkuat diplomasi, dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai jalan damai.

Seperti tertulis dalam Roma 3:10-12:
"Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak."

Karena pada akhirnya, tidak ada kemajuan sejati jika manusia kehilangan hati nurani sebagai gambar dan rupa Allah. Tidak ada perdamaian abadi tanpa pertobatan, kasih, dan tanggung jawab moral terhadap Sang Pencipta dan sesama manusia.

Penutup

Nuklir bukan sekadar teknologi atau senjata, melainkan cerminan pilihan moral dan arah peradaban manusia. Di balik janji kekuatan dan kemajuan, tersimpan potensi kehancuran tak terbayangkan.

Mungkin dunia punya banyak alasan untuk mempertahankan senjata ini, namun kenyataannya dunia sedang memikul tanggung jawab besar atas risikonya.

Pertanyaannya bukan hanya siapa yang memiliki senjata nuklir, tetapi apakah umat manusia siap menanggung konsekuensinya hari ini, esok, dan untuk generasi yang akan datang.

Di tengah dunia yang bergerak cepat dengan perang, persaingan teknologi, dan ketegangan antarnegara yang bisa berubah sewaktu-waktu Indonesia tak boleh hanya menjadi penonton.

Kita harus jujur bertanya:
Apakah kita hanya bertepuk tangan melihat negara lain berlomba membangun kekuatan?
Ataukah kita dipanggil menjadi bangsa yang bijak tahu kapan harus berdiri, melangkah, dan bersuara demi perdamaian serta keadilan dunia? © Opung ns JJ

 

Komentar