Sabtu, 20 April 2024 | 17:39
OPINI

Sistem Ini Membunuhku, Solusinya Bersih-Bersih Sebelum Pilpres

Sistem Ini Membunuhku, Solusinya Bersih-Bersih Sebelum Pilpres
Pilpres (int)

Oleh: Agusto Sulistio, Pegiat Sosmed

ASKARA - Sistem pemilihan umum di Indonesia saat ini masih memiliki kelemahan dalam mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar dan sesuai dengan cita-cita konstitusi negara. 

Salah satu masalah utamanya yakni adanya persyaratan presidential threshold (PT 20%) yang membatasi hak seseorang untuk dipilih. Kandidat yang muncul dapat diartikan tidak mewakili seluruh lapisan masyarakat bawah maupun kader partai level kar rumput. Sebab akibat penerapan PT 20% secara tak langsung elit partai harus berkompromi dengan koalisi elit partai lainnya untuk mencari kesamaan pandangan terkait kandidat capres cawapres yang akan diusung.   

Akibatnya kandidat mau tak mau harus tunduk pada kesepakatan-kesepakan elit parpol yang akan mengusungnya kelak, bahkan tidak menutup kemungkinan munculnya kompromi dengan pihak pemodal sebagai realitas jawaban bahwa kampanye pilpres membutuhkan biaya yang sangat besar. Tentu saja kandidat capres yang muncul akan terbelenggu dan terperangkap dalam kompromi politik macam ini, sehingga ada anggapan, siapapun presidennya tidak menjamin ia akan terbebas dari kepentingan oligarki. Nasib rakyat akan tetap menderira dan harus menerima kenyataan memiliki pemimpin yang kekuar dari mulut harimau, lalu masuk ke mulut buaya.

Dalam sejarah dunia, terdapat beberapa contoh negara yang mengalami keruntuhan atau krisis politik karena sistem pemerintahan atau kebijakan politik yang tidak berjalan dengan baik, seperti, Venezuela, pemimpinnya Nicolas Maduro telah dianggap gagal memenuhi janji-janjinya dalam kampanye dan terjebak dalam konflik politik dengan oposisi. Alhasil  terjadi krisis ekonomi dan politik, korupsi yang merajalela akibat kebijakan yang salah, pemimpin yang muncul telah terjebak dengan berbagai kompromi yang tidak pro kepada rakyat.

Kemudian, Zimbawe, pemimpinnya Robert Mugabe mempertahankan kekuasaannya dan kebijakan yang salah dan menindas politik oposisi.

Sistem pilpres presidential threshold yang kita anut saat ini memungkinkan terpilihnya pemimpin yang terjebak dalam kompromi sehingga lebih memihak kepada parpol dan pemodal daripada rakyat. Tentu hal ini dapat menimbulkan krisis politik dan ketidakstabilan.

Keadaan itu kini terjadi, berbagai gelombang aksi protes terhadap berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya soal PT 20%. Hampir setiap hari selalu ada protes dari berbagai kalangan, baik dilapangan muapun di berbagai media sosial. Atas keadaan ini pemerintah tak boleh anggap remeh, sebab eskalasinya kian hari semaki besar, dan hal ini akan akibatkan jatuhnya presiden.

Karenanya dibutuhkan reformasi dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, seperti adanya peningkatan kuantitas dan kualitas calon presiden, dengan cara memberikan kesempatan yang sama bagi calon independen untuk mengajukan diri dalam pemilihan umum presiden, pengurangan atau penghapusan presidential threshold, dan pengurangan pengaruh modal dalam pemilihan umum dengan menegakkan kebijakan transparansi pembiayaan kampanye.

Hal ini telah disampaikan oleh banyak tokoh nasional kita, salah satunya disampaikan oleh ekonom nasional, Dr. Rizal Ramli terkait pembenahan sistem pemilu, efisiensi anggaran pemilu, keterwakilan rakyat secara luas akan munculnya kandidat alternatif, ruang bagi parpol peserta pemilu mengajukan calon presiden dan wakilnya, serta sistem transparansi perhitungan suara.

Dari itu semua diperlukan perubahan dalam cara pandang masyarakat memilih calon presiden dengan mengutamakan pemilihan berdasarkan program dan integritas daripada hanya berdasarkan afiliasi partai politik atau popularitas semata, disamping pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan yang dapat membantu menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Sebagai negara demokratis, setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum tanpa adanya diskriminasi atau pembatasan yang bertentangan dengan konstitusi negara. Sehingga ketentuan yang merugikan hak-hak rakyat dalam pemilihan umum harus direvisi atau dihapus.

Sebagai contoh, ketentuan presiden threshold 20% yang jelas nyata telah bertentangan dengan demokrasi, maka aturan ini harus dievaluasi atau dipertimbangkan kembali apakah masih relevan dan diperlukan dalam pemilihan umum yang akan datang.

Bersih-bersih sebelum Pilpres 2024

Jangan sampai kehancuran akibat sistem yang tidak tepat terjadi, kandidat presiden yang muncul merupakan bagian dari hasil kompromi sekelompok elit dan oligarki.

Oleh karenanya diperlukan bersih-bersih sebelum pilpres berlangsung. Pembenahan berbagai sistem yang dianggap menghambat demokrasi harus dipastikan tidak ada lagi. 

Mari kita menengok dan mengambil hal positif dari perjalanan masa lalu saat peralihan kekuasaan orde lama ke orde baru untuk kita jadikan cermin pada pemilu kita kedepan.

Selama masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, terjadi situasi politik yang tidak stabil dan penuh ketidakpastian di Indonesia. Soekarno, presiden pertama Indonesia, menghadapi masalah ekonomi yang serius, kerusuhan sosial, dan tekanan politik yang meningkat.

Pada Maret 1966, Soeharto mengambil alih kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan memimpin pemerintahan sementara yang dikenal sebagai "Dwitunggal" (dua kepala negara) bersama Soekarno. Pada bulan Juli 1966, Soeharto dilantik sebagai Presiden Indonesia setelah Soekarno secara resmi mengundurkan diri.

Sebelum pemilihan presiden, Soeharto memperkenalkan program stabilisasi ekonomi yang bertujuan untuk mengatasi inflasi dan mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi Indonesia. Dia juga memerintahkan operasi militer yang dikenal sebagai "Operasi Bersih" untuk membersihkan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan kelompok-kelompok ekstremis lain yang dianggap bertanggung jawab atas krisis sosial dan politik di Indonesia.

Setelah kondisi politik dan sosial relatif stabil, Soeharto menyelenggarakan pemilihan presiden pada tahun 1968, di mana dia terpilih kembali sebagai Presiden Indonesia. Dia terus memimpin Indonesia hingga tahun 1998 ketika dia mengundurkan diri setelah menghadapi tekanan dari demonstrasi mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil.

Komentar