Sabtu, 20 April 2024 | 16:28
OPINI

Apakah Mengangkat Menteri Hak Prerogative Presiden?

Apakah Mengangkat Menteri Hak Prerogative Presiden?
Presiden Joko Widodo (Seskab)

Sejak beberapa hari yang lalu media mainstream maupun media online diramaikan dengan beredarnya informasi tentang kemungkinan Presiden Jokowi akan mengadakan reshuffle kabinet (perombakan kabinet).

Sebagaimana biasanya berkaitan dengan pengangkatan atau pemberhentian menteri selalu dikaitkan dengan salah satu istilah hukum yang cukup memasyarakat di Indonesia, yaitu istilah Hak Prerogative (yang dimiliki oleh Presiden).

Masyarakat umum memahami hak prerogative sebagai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden menurut UUD 1945, yang tidak dapat disanggah ataupun diganggu gugat oleh siapapun. Dimana salah satu hak prerogative yang paling populer adalah hak presiden untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. 
Menurut pemahaman yang umum, maka berdasarkan hak tersebut presiden dapat mengangkat siapapun untuk jabatan menteri apapun serta sekaligus pula dapat memberhentikan menteri setiap waktu, kesemuanya semata-mata berdasarkan pertimbangan subyektif presiden yang tidak dapat diganggu gugat karena merupakan hak prerogativenya.

Dimasa pemerintahan Presiden Gus Dur yang baru berusia 2 tahun telah berulangkali dilakukan pengangkatan dan pemberhentian para menteri yang jumlahnya tidak sedikit. Bahkan ada menteri yang baru menjabat selama 1 bulan telah kehilangan jabatannya kembali, baik karena digantikan oleh orang lain atau karena kantornya dibubarkan. 

Tetapi tidak ada satupun komentar yang diberikan sehubungan dengan masalah ini, karena semuanya menerima sebagai hak prerogative Presiden Gus Dus.
 
Tulisan singkat ini ingin mencoba menjawab pertanyaan, “apakah pengangkatan/pemberhentian menteri (Menteri Negara) merupakan hak prerogative Presiden menurut UUD 1945?” .

Latar belakang Hak Prerogative

Hak prerogative merupakan salah satu istilah yang dikenal di lapangan hukum tata negara, adalah hak-hak istimewa yang tidak dapat diganggu gugat yang dimiliki oleh seorang kepala negara, baik raja maupun presiden. 

Pada awalnya hak prerogative ini hanya mencakup pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tetapi kemudian berkembang sehingga meliputi hak mengangkat duta dan konsul, menerima duta negara sahabat, menetapkan formatur kabinet (dalam sistem parlementer), menyatakan perang dan damai atas persetujuan Parlemen dan sebagainya.

Sesuai dengan sejarahnya, maka tujuan pemberian hak prerogative kepada kepala negara adalah semata-mata sebagai sarana mengatasi kemungkinan kegagalan hukum di dalam menjalankan fungsinya menciptakan keadilan (dan ketertiban) di tengah-tengah masyarakat.

Sebagai lembaga sosial yang dibentuk oleh masyarakat, hukum tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan dan memiliki keterbatasan, seperti misalnya yang terpenting adalah terbukanya kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak adil dari suatu proses pelaksanaan hukum yang justru bertujuan menciptakan keadilan. 

Dan lebih celaka lagi, hukum ternyata tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasi atau memperbaiki ketidakadilan yang tercipta dari proses pelaksanaan hukum itu sendiri. Inilah yang seringkali dikemukakan sebagai “keterbatasan hukum” atau “the limit of law”. 

Contohnya, seorang tersangka setelah melewati pemeriksaan di tingkat pertama (pengadilan negeri), tingkat banding (pengadilan tinggi), dan tingkat kasasi serta peninjauan kembali (Mahkamah Agung) dinyatakan bersalah atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya dan dijatuhi hukum mati (putusan hukum final). 

Tetapi beberapa saat sebelum hukuman mati dilaksanakan, terungkap bukti baru yang tidak terbantahkan bahwa si terpidana mati tidak bersalah.

Keadaan seperti ini bukan saja mungkin terjadi, tetapi justru seringkali terjadi, seperti halnya di Indonesia dalam kasus Sengkon-Karta. Hal mana karena keseluruhan proses pelaksanaan dan penegakan hukum dijalankan oleh manusia yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. 

Menghadapi keadaan seperti ini Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum yang tertinggi ternyata tidak mampu berbuat apapun, karena Mahkamah Agung tidak dapat merubah keputusan hukuman mati yang sudah bersifat final, mengingat akibatnya akan menciptakan ketidakpastian hukum yang bermuara pada ketidaktertiban di dalam kehidupan masyarakat (terbentur pada asas ‘nebis in idem’, yaitu seseorang tidak diperbolehkan disidang ulang oleh pengadilan untuk perkara yang sama). 

Sebaliknya, meneruskan pelaksanaan hukuman mati akan menciptakan ketidakadilan, yang dapat mengakibatkan menurunnya kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum yang berlaku dan pada gilirannya juga akan membuahkan ketidaktertiban di masyarakat, ibaratnya ‘dimakan Bapak mati, tidak dimakan Ibu yang mati’.

Keadaan simalakama tersebut di atas hanya mungkin diatasi melalui intervensi kepala negara ke dalam wilayah kekuasaan kehakiman (yudikatif), dimana dengan berbekal hak prerogativenya kepala negara memberikan grasi (pengampunan) kepada si terpidana mati, seperti dalam contoh di atas, sehingga keadilan tidak terusik dan kewibawaan hukum tetap terjaga.

Dari uraian singkat di atas dapat dikenali ciri utama hak prerogative termaksud, yaitu pertama hak prerogative merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh kepala negara, dan kedua pelaksanaan hak ini tidak dapat diganggu gugat serta tidak dapat dibatasi oleh pihak manapun juga.

Hak Prerogative dan Pengangkatan Menteri Menurut UUD 1945

UUD 1945 juga mengenal adanya hak prerogative Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945, dimana menurut penjelasannya dikatakan kekuasaan-kekuasaan presiden dalam pasal-pasal ialah konsekwensi dari kedudukan presiden sebagai kepala negara.

Sedangkan hak presiden untuk mengangkat (dan memberhentikan) menteri-menteri yang diatur dalam Pasal 17 UUD 1945 adalah merupakan konsekwensi dari kedudukan presiden selaku kepala pemerintahan.

Sekalipun menurut ketentuan UUD 1945 menteri-menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden, namun hal ini tidak berarti Presiden dapat seenaknya saja menggunakan haknya di dalam melakukan pengangkatan menteri-menteri. Seperti misalnya mengangkat seorang yang belum dewasa menjadi menteri, atau misalnya lagi mengangkat seorang yang bukan ahli di bidang pekerjaan menteri tertentu.

Di dalam Penjelasan UUD 1945 (pada Amandemen UUD 1945 sudah dihapus), dikatakan bahwa menteri-menteri adalah para pemimpin yang sesungguhnya dan presiden wajib memperhatikan sungguh-sungguh nasehat atau pendapat menteri-menteri karena mereka ahli di bidangnya masing-masing. 

Hal ini mengandung arti bahwa di dalam melakukan haknya mengangkat menteri, Presiden dibatasi oleh pedoman yang ditentukan oleh UUD 1945, yaitu menteri yang diangkat itu haruslah seorang yang sudah dikenal kualitasnya sebagai pemimpin dan juga orang tersebut adalah ahli menurut bidangnya yang merupakan bagian dari ruang lingkup pekerjaan jabatan kementeriannya. 

Meskipun pedoman ini sudah dihapus, karena Penjelasan UUD 1945 sudah (di-Amademen), tetapi di dalam ilmu perundang-undangan pedoman tersebut tetap harus diperhatikan sebagai bagian dari sejarah (Memorie van toelichting).

Halmana berarti pengangkatan menteri-menteri bukanlah hak presiden yang bisa dilaksanakan sebebasnya oleh presiden (Bukan Hak Prerogative) yang tidak bisa diganggu gugat, tetapi merupakan hak presiden yang harus dilaksanakan sejalan dengan pedoman yang ditentukan oleh UUD sendiri (pernah).

Praktek kenegaraan di Amerika Serikat yang bersistem pemerintahan presidensil seperti juga halnya di Indonesia, seorang presiden yang baru terpilih dalam pemilihan presiden ingin membentuk/-mengangkat menteri-menterinya (di AS disebut sebagai Secretary of State), maka nama-nama calon menteri-menteri tersebut di konsultasikan (sounding) terlebih dahulu kepada kongres (senate). 

Pernah terjadi bahwa ketika presiden mengajukan seseorang calon untuk diangkat sebagai jaksa agung, kongres mendapatkan informasi bahwa calon jaksa agung tersebut pernah mempekerjakan seorang imigran gelap sebagai pembantu rumah tangganya, sehingga kongres menyarankan kepada presiden agar calon yang bersangkutan tidak diangkat sebagai jaksa agung, karena dinilai cacat secara moral dan presiden memperhatikan saran senate tersebut.

Akhirnya bagaimana jika seseorang yang ahli telah diangkat oleh presiden untuk menduduki jabatan menteri yang sesuai dengan keahliannya itu, tetapi kemudian ternyata sungguh-sungguh tidak disukai oleh DPR?

Jawabannya, seorang presiden yang bijaksana akan memperhatikan sikap DPR terhadap menteri yang bersangkutan, karena menjaga hubungan yang baik dengan DPR adalah lebih utama daripada mempertahankan menteri yang bersangkutan, karena DPR adalah lembaga negara yang berwenang mengawasi pemerintah (presiden). 

Serta lebih dominan di dalam menetapkan APBN, sehingga menteri yang sungguh-sungguh tidak disukai oleh DPR sebaiknya diganti dengan lainnya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mengangkat dan memberhentikan menteri bukan hak prerogative presiden berdasarkan UUD 1945.

 

15 April 2021
Muchyar Yara
Mantan Dosen Hukum Tatanegara
Fak Hukum-UI

Komentar