Kamis, 25 April 2024 | 21:52
OPINI

Predator Berpakaian Gembala

Membedah Kasus Pencabulan Anak-anak di Bawah Umur di Paroki St Herkulanus, Depok

Membedah Kasus Pencabulan Anak-anak di Bawah Umur di Paroki St Herkulanus, Depok
Ilustrasi pencabulan (Batamnews.co.id)

Biasanya kita mendengar pepatah atau ungkapan "serigala berbulu domba". Ungkapan itu ingin mengatakan bahwa serigala yang menyamar sebagai domba di tengah kawanan domba bisa mudah memangsa si domba itu sendiri. Tapi kali ini saya mau menuliskan pengalaman bathin atas kasus yang sedang saya tangani. 

Saat ini, saya sedang menangani sebuah kasus penting, kasus kemanusiaan yang menimpa banyak anak-anak di bawah umur. Saat ini saya sedang menjadi kuasa hukum para korban kasus pencabulan anak-anak di bawah umur.

Bersama tim advokasi, kami sudah menerima laporan dari 21 anak korban dan keluarganya. Kasus pencabulan ini sudah dilaporkan oleh 2 orang anak yang menjadi korban ke Polres Kota Depok, Jawa Barat pada tanggal 24 Mei 2020 lalu. 

Pelaku pencabulan ini, SPM sudah ditangkap dan ditahan oleh pihak Polres Kota Depok sejak 14 Juni 2020. Anak-anak ini alami pencabulan, pemerkosaan oleh pembimbing mereka dalam aktivitas di Paroki Herkulanus Depok. Mereka adalah anak laki-laki berusia 11-15 tahun alami pencabulan yang dilakukan oleh seorang laki-laki, SPM berusia sekitar 42 tahun yang merupakan pembimbing misdinar di paroki. 

Situasi inilah yang menjadi latar belakang kasus bejat, pencabulan yang terjadi dan menghancurkan masa depan anak-anak yang menjadi korban. Pelaku yang seharusnya membimbing, melindungi dan menjaga anak-anak justru mencabuli. Anak-anak tentu tidak bisa melawan karena si pelaku memiliki posisi atau kuasa lebih kuat sebagai pembimbing. 

Posisi inilah yang akhirnya saya sebut sebagai Predator Berpakaian Gembala. Seharusnya seorang gembala membimbing agar domba-dombanya bisa hidup baik, aman, nyaman dan selamat atau terhindar dari terkaman predator. Tetapi yang terjadi justru dalam kasus ini si predator berpakaian gembala, sebagai pembimbing anak-anak justru melakukan kekerasan seksual, memangsa dan mencabuli anak-anak di bawah umur.  
Teman-teman saya yang merupakan gembala yang baik dan gembala sebenarnya, saya harap jangan marah. Tentu kalian akan paham dan mengerti maksud tulisan saya tentang predator berpakaian gembala. Predator ini berhasil berpakaian gembala selama sekitar 20 tahun dan mencabuli anak-anak di paroki St Herkulanus Depok. Sebagai gembala dia dapat bebas memangsa dan mencabuli para anak misdinar dan tidak ketahuan sebagai predator. Bahkan semua umat tidak percaya jika gembala atau pembimbing anak adalah seorang predator yang keji.

Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya bisa jatuh tergelincir juga, begitu juga menurut pepatah bijak. Begitulah yang terjadi dengan si predator, yang akhirnya perbuatan bejat dan kejinya dibongkar oleh korbannya sendiri. Bukanlah sebuah proses mudah untuk menjadi korban yang berani mau bersuara mengakui sebagai korban dan membongkar kasus keji yang dialaminya. 

Apalagi dalam kasus pemerkosaan atau pencabulan yang dialami anak-anak di bawah umur tentu sulit serta menakutkan. Korban harus berani dan tahan membuka pengalaman pencabulan yang dialami anaknya atau dirinya. Butuh keberanian untuk bisa dan berani membuka aib korban diri, apalagi itu melibatkan kegiatan gereja sebagai salah satu tempat kejadiannya. Terlebih lagi itu terjadi oleh kelakuan pembimbing kegiatan di paroki dan terhadap anak-anak yang aktif dalam kegiatan paroki.

Banyak pihak yang bertanya pada saya, "mengapa kok bisa berlangsung lama dan bertahan lama sebagai pembimbing misdinar dan mencabuli anak-anak di bawah umur di paroki Herkulanus?" Hasil investigasi dan pemetaan selama mendampingi para korban dan membongkar kasus ini, memberi saya pada kesimpulan bahwa upaya pencabulan ini dilakukan oleh SPM secara sistematis dan terstruktur. 

Posisi SPM sebagai aktivis paroki dan pembimbing misdinar inilah yang mengamankan dirinya sebagai  predator yang berpakaian sebagai gembala. Pola pencabulan sistematis terstruktur inilah yang membuat dia aman dan bebas bertahun-tahun, setidaknya sejak tahun 2000 memupuk dirinya sebagai gembala yang baik hati, pelindung dan berbudi baik di paroki St Herkulanus. 

Posisi sebagai pembimbing misdinar memberi ruang sangat leluasa kepada SPM untuk membangun "komunitas" khusus anak-anak yang menjadi korbannya. Anak-anak yang kritis dan tidak menjadi targetnya, disingkirkan SPM dan disebut sebagai anak nakal. Melalui komunitas khususnya itu SPM melakukan indoktrinasi pada anak-anak yang menjadi korbannya. 

Secara sistematis dan terstruktur inilah SPM menanamkan bahwa dirinya adalah gembala yang melindungi, mengasuh dan baik hati. Secara perlahan sistematis juga melakukan pencabulan kepada anak-anak korbannya mulai dari tindakan memangku, memeluk dan mencium yang ditanamkan sebagai perhatian seorang gembala, perlakuan sayang dan akrab. 

Pencabulan secara bertahap dan dilakukan bergantian kepada setiap anak korban yang berada dalam komunitas khusus. Setelah berhasil membangun pencabulan tahap awal itu, SPM memiliki landasan kuat mulai dengan tahap selanjutnya dengan tindakan pencabulan yang lebih berbahaya lagi kepada anak-anak korbannya. 

Untuk melancarkan aksi pencabulannya, SPM menggunakan modul mengajak rapat dan bersih-bersih perpustakaan paroki, jalan-jalan, nonton film dan makan bersama bahkan kegiatan rohani misdinar. 

Tempat pencabulannya, SPM memilih tempat di kamar ganti, WC, perpustakaan paroki, tempat kegiatan rohani, rumah orang tua SPM, rumah korban, mobil SPM dan diparkiran kompleks UI serta parkiran sebuah rumah sakit di Depok.

Upaya pencabulan sistematis dan terstruktur, SPM ini berhasil melindungi kedok predator dan kelakuan bejatnya atas nama pakaian gembalanya. Posisi sebagai gembala ini pula jadi senjata para predator atau modus SPM sangat panjang memangsa para korbannya. 

Melalui aktivitas dan label sebagai aktivis paroki memberi SPM bisa masuk ke struktur di paroki mengamankan tindakan pencabulannya. Posisi SPM yang masuk dalam struktur kepengurusan di paroki ini membuat dirinya lebih aman lagi melancarkan upaya pencabulan sistematis terhadap anak-anak misdinar. 

Para predator yang berpakaian gembala ini pandai sekali menyembunyikan kebejatannya dan yakin orang di sekitar tidak akan berani membongkar kasus bejatnya. Para korban juga akhirnya takut mengatakan pengalaman dijadikan pelampias nafsu bejat para predator apalagi melapor ke ranah hukum. 
Ketakutan dan ketidaktahuan itu pula yang membuat SPM bisa lama melakukan kebejatannya hingga sekitar 20 tahun. Ketakutan itu disebabkan proses pencabulan yang sistematis dan terstruktur dilakukan oleh SPM. Upaya SPM itu berhasil meyakinkan dirinya adalah gembala hingga ke lingkaran pengurus paroki dan membiarkannya bertahan dalam struktur sebagai pembimbing misdinar dari tahun 2000 hingga tahun 2020.   

Anak-anak korban, juga orang dewasa di paroki berhasil dibangun kesadarannya bahwa SPM adalah gembala yang melindungi, baik dan aktivis paroki yang berbudi baik. Bahkan ada anak yang menjadi korban tidak terima SPM dilaporkan ke polisi atas pencabulan yang dilakukannya. Juga ada tokoh di paroki St Herkulanus yang masih mendukung dan melihat SPM sebagai gembala berbudi baik.

Upaya korban membongkar fakta sebagai korban pencabulan atau pemerkosaan para predator seperti dilakukan SPM berpakaian gembala ini akan berhadapan dengan dinding atau tembok tinggi dan kuat yang melindungi pakaian gembala yang dibelanjakan SPM. Ditambah lagi status SPM sebagai seorang advokat, menambah pengurus paroki, umat dan tentu anak-anak yang menjadi korban takut serta hati-hati terhadap SPM. 

Beberapa umat mengatakan bahwa mereka takut karena SPM seorang advokat yang mengerti hukum. Umat dan para korban jadi takut, cerita atau pengakuan para korban akan tidak mudah dipercaya, bahkan dicurigai memfitnah atau akan merusak institusi gereja atau paroki bahkan lagi dipersalahkan kok mau jadi korban? 

Nah situasi ini tidak adil, anak-anak atau para korban justru diadili lagi, disalahkan lagi telah merusak, mempermalukan institusi gereja berani membongkar kasus bejat pencabulan yang dialaminya dari predator berpakaian gembala. 

Selanjutnya korban yang berani maka akan berhadapan dengan predator lain yang berpakaian gembala. Predator lain ini berperan "menjual" nama baik institusi, atau mengamankan institusi bahkan menyelamatkan si predator karena berpakaian gembala. Dukungan atas nama pakaian gembala ini memang sudah disadari betul oleh para predator berpakaian gembala. Para predator akan aman dan nyaman melakukan aksi bejatnya secara sistematis karena pakaian gembalanya.

Jika kita ingin memperbaiki dan membuktikan bahwa kita, gereja Katolik yang berpihak pada korban dan melawan kekerasan seksual maka seharusnya mata hati kita jangan buta oleh pakaian sebagai gembala. 

Pakaian itu hanya selubung pembungkus berisi badan manusia. Nah bisa saja isinya bukan manusia tetapi adalah predator yang menggunakannya untuk kebejatannya melakukan tindak pidana apa pun, khususnya kekerasan seksual. Kita tidak perlu malu apalagi takut membuka pakaian gembala itu dan memang mendapatkan predator di dalamnya. 

Memang akan memalukan menelanjangi dan melepaskan pakaian gembala dari para predator karena kita tanpa sadar dibutakan oleh upaya sistematis predator seperti dilakukan SPM di lingkaran paroki St Herkulanus. Upaya membuka fakta bahwa ada juga predator berpakaian gembala adalah untuk menyelematkan gembala yang sesungguhnya, menyelamatkan gereja yang menggembalakan para domba agar dapat hidup baik dan berkembang sebagai manusia yang baik. 

Mari kita dukung perjuangan anak-anak korban juga keluarga serta pastor paroki St Herkulanus yang sekarang beserta umat paroki St Herkulanus dalam kasus  pencabulan pembimbing misdinar di  paroki Herkulanus Depok. 

Jadikan keberanian para korban dan keluarga sebagai titik awal memutus rantai pencabulan para predator lain yang berpakaian gembala. Dukungan pada korban berarti dukungan memusnahkan para predator dan  membangun gereja yang ramah dan aman bagi anak yang merupakan masa depan GEREJA.

 

 

Jakarta, 28 Juni 2020
Azas Tigor Nainggolan
Kuasa Hukum Korban

Komentar