Hariman, Realitas Reformasi, dan Hikmah 27 Tahun Kemudian

Oleh: Agusto Sulistio *)
ASKARA - Tulisan ini saya buat bukan di tengah gegap gempita peringatan 21 Mei, bukan pula di saat euforia dan keramaian forum-forum aktivis pasca-upacara Reformasi 2025. Tapi justru beberapa hari setelah semuanya mereda. Setelah spanduk dilipat, mikrofon dimatikan, dan media sosial perlahan kembali ke rutinitasnya. Bukan tanpa alasan. Saya percaya, opini yang ditulis dalam jeda setelah peringatan akan lebih netral, jernih, dan objektif. Karena hanya dalam diam, kita bisa menimbang dengan nalar yang tidak dibutakan oleh keramaian.
Dalam momentum peringatan 27 tahun Reformasi, tokoh pergerakan realistis, dr. Hariman Siregar menyampaikan pesan yang singkat dan mengandung kedalaman sejarah dan kesadaran politik.
"21 Mei 1998 lalu kalian berhasil melahirkan reformasi, tapi 27 tahun kemudian mantu mantan Presiden ke-2 RI, kini menjadi Presiden kita. Apapun itu, inilah faktanya. Ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Esa," pesan Hariman didepan ratusan perwakilan simpul aktivis gerakan lintas organisasi, generasi dan idiologi.
Pernyataan itu mungkin membuat sebagian telinga panas, terutama mereka yang mengharapkan arah sejarah berjalan lurus sesuai kehendak idealisme. Tapi justru di sinilah keistimewaannya Hariman, ia bukan sedang memutihkan realitas, tapi menunjukkan bahwa realitas harus dihadapi dengan jujur dan kehilangan prinsip.
Sebagian generasi hari ini mengenal Hariman hanya dari catatan sejarah Malari 1974. Tapi sesungguhnya, ia adalah bagian dari arus besar perlawanan sipil sebelumnya (Budi Utomo, Syarikat Islam, Soekarno, Hatta, Syahrir, dll) terhadap dominasi modal asing dan kekuasaan yang anti kebangkitan nasional dan demokrasi. Hariman diusianya saat itu yang masih sangat muda sudah bicara tentang kemandirian ekonomi dan nasionalisme bahkan bergerak dan melawan tirani secara konkrit. Sementara saat itu sebagian besar elit politik justru sedang sibuk memupuk ketergantungan terhadap asing.
Dari peristiwa 15 Januari 1974, akhirnya Hariman digiring ke dalam sel tahanan politik, satu blok dengan tokoh-tokoh militer, komunis, dan aktivis yang dianggap membahayakan negara. Tapi penjara tak mengubah jalur hidupnya. Setelah keluar, ia semakin berisi dan realistis dalam berfikir dan bertindak di tengah rakyat. Tak pernah ia rebut jabatan politik. Tak pernah ia gila kekuasaan. Dan justru dari ketidakberpihakannya kepada kekuasaan, suara Hariman tetap didengar sampai sekarang.
Kembali ke 2025. Kini, Prabowo Subianto, "menantu" Presiden Soeharto, menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebuah ironi? Mungkin. Tapi sekaligus sebuah realitas demokrasi. Bahwa dalam sistem yang terbuka, siapa pun bisa menang. Demokrasi memang bukan mesin penghasil pemimpin ideal, tapi ruang kompromi sosial. Dan selama proses itu berjalan sesuai hukum dan konstitusi, maka hasilnya adalah kehendak rakyat, bukan kehendak elite.
Sebagian pihak mungkin kecewa, karena nama yang terasosiasi dengan masa lalu Orde Baru kini berada di puncak kekuasaan. Saya menilai bahwa Hariman tengah memberi kita pelajaran penting, kita jangan terpaku pada nama, lihat pada tindakan. Sebab nama bisa menjadi beban sejarah, tapi tindakan adalah bukti keberpihakan yang nyata.
Konstitusi kita adalah panglima. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Maka siapa pun yang naik ke kursi presiden melalui mekanisme "pemilu yang sah", dapat dimaknai sebagai produk demokrasi. Namun, pemajnaan itu tidak berarti pembiaran. Kita tetap wajib mengawasi. Wajib mengkritik. Karena demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga tentang memastikan kekuasaan berjalan dalam bingkai keadilan sosial dan supremasi hukum.
Pesan Hariman dalam peringatan Reformasi tahun ini bukan ajakan untuk menyerah pada kenyataan. Tapi seruan agar kita tak kehilangan akal sehat dalam membaca kenyataan. Di tengah masyarakat yang semakin terbelah karena fanatisme politik dan ilusi moral, Hariman justru menawarkan sikap yang dewasa, yakni menerima realitas, tanpa kehilangan prinsip perjuangan.
Sikap ini hanya mungkin muncul dari seorang tokoh yang telah mengalami hidup dalam pengasingan politik, memahami pahitnya pengkhianatan ideologi, dan tetap memilih untuk berada di tengah rakyat. Hariman bukan legenda. Ia nyata. Justru karena itulah, ia menjadi kompas moral bagi bangsa ini, khususnya seluruh aktivis pergerakan.
*Penutup*
Pertanyaan pentingnya bukan siapa yang kini berkuasa. Tapi apakah rakyat masih punya daya kritis untuk mengawasi kekuasaan. Apakah semangat reformasi masih hidup dalam gerakan sipil, media, kampus, dan ruang publik?
Saya memilih menulis tulisan ini setelah semuanya tenang. Agar pembaca bisa merenung tanpa sorak-sorai. Agar kita semua kembali menyadari bahwa sejarah tidak pernah berhenti. Dan reformasi, sejatinya, bukan tentang mengubah semata siapa yang duduk di atas. Tapi tentang memastikan bahwa siapa pun yang duduk, melewati aturan yang benar dan berlaku serta diikat oleh konstitusi dan kehendak rakyat.
Semoga Bang Hariman Siregar senantiasa diberi kesehatan dan keselamatan oleh Tuhan YME, dan kelak lahir Hariman-Hariman berikutnya yang senantiasa ikhlas menjaga nilai-nilai persatuan dan kedamaian bangsa dan negara kita dengan penegakan demokrasi, civil society yang kuat, pers yang berimbang serta aparat negara yang tunduk pada konstitusi dan berpihak pada rakyat menuju kemakmuran rakyat.
*) Pendiri The Activist Cyber, penulis sosial-politik, dan pegiat ruang publik digital.
Komentar