Permata yang Tertukar

Oleh: Dwi Taufan Hidayat -
ASKARA - “Kau tahu, Van... Lucu, ya. Klien-klienku yang datang mengadu tentang suaminya yang selingkuh itu biasanya cantik-cantik. Pintar. Punya karier. Kadang aku heran, kenapa mereka yang justru dikhianati?”
Vanya mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Amara tersenyum miris. “Kalau kamu lihat para suaminya... Duh, beneran deh. Seakan kisah Beauty and the Beast itu nyata. Bahkan lebih miris. Penampilan pas-pasan, karier biasa saja, otak... jangan ditanya. Tapi mereka bisa menyakiti wanita sehebat itu.”
Di ruang praktik konseling pernikahan yang hangat dan tenang, percakapan Amara dan Vanya bukan lagi soal teori komunikasi pasangan atau terapi keterbukaan emosional. Mereka bicara soal luka yang terlalu sering berulang: perselingkuhan.
Vanya menyandarkan tubuhnya. “Lalu kamu, Amar? Kamu pernah merasakan itu semua, kan?”
Amara mengalihkan pandangan. Matanya menerawang ke jendela. “Dulu aku pikir, kalau aku cukup baik, cukup setia, cukup sabar... maka dia tak akan pergi. Tapi ternyata, bukan begitu cara kerja dunia.”
Hening mengambang di antara mereka. Di luar, langit mulai menggelap.
Dulu, Amara adalah potret istri sempurna dalam standar sosial. Sarjana psikologi, karier mapan, tutur kata lembut, penampilan terjaga. Arfan, suaminya, hanyalah pegawai kantoran biasa, sering pulang larut tanpa alasan, lebih banyak bermain game daripada membantu pekerjaan rumah. Tapi Amara bertahan. Karena ia percaya, cinta bisa mengubah segalanya.
Sampai suatu malam, Arfan pulang dengan aroma parfum asing yang tertinggal di kerah bajunya. Dan dunia Amara runtuh.
Dia tak langsung marah. Tak langsung bertanya. Ia hanya duduk, memandangi wajah suaminya yang tertidur seperti bayi. Dalam diam, ia tahu, hatinya sudah dihancurkan. Bukan karena fisik wanita lain itu lebih cantik. Tapi karena ia menyadari: suaminya tidak takut kehilangan dirinya.
Ia sempat menyalahkan diri sendiri. Merasa kurang ini dan itu. Mencoba berdandan lebih sering. Belajar resep baru. Mengubah nada bicaranya agar lebih manja. Tapi ternyata... itu semua sia-sia.
Yang hilang bukan rasa cinta. Tapi iman.
Arfan bukan tak puas pada Amara. Ia hanya tak pernah puas pada hidupnya sendiri. Dan dalam kekosongan itulah, ia mencari pelarian. Sayangnya, yang jadi korban adalah wanita yang setia menemaninya sejak mereka sama-sama belum punya apa-apa.
“Jadi, Van,” suara Amara kembali, “jangan pernah berpikir kalau dirimu tidak cukup hanya karena dikhianati. Kesetiaan itu soal iman, bukan fisik. Bukan soal siapa yang lebih langsing, lebih cerah, lebih pintar. Tapi siapa yang lebih takut pada Allah ketika tidak ada yang melihat.”
Vanya tersenyum getir. “Kamu benar. Tapi tetap saja... sakit.”
“Memang,” Amara menatapnya dalam. “Tapi jangan simpan bangkai di rumahmu hanya karena takut sendirian.”
Setelah Vanya pergi, Amara tidak langsung membereskan ruangan konsultasinya seperti biasa. Ia hanya duduk, termangu, tangannya gemetar menggenggam pulpen yang patah ujungnya. Dadanya sesak, bukan karena luka baru—tetapi karena luka lama yang selama ini hanya ia tambal dengan lem motivasi palsu.
Selama bertahun-tahun ia menciptakan citra diri sebagai perempuan tangguh. Ia tidak menangis saat Arfan pergi. Tidak ketika ia melihat kabar pernikahan baru Arfan secara diam-diam melalui unggahan temannya. Tidak ketika malam-malamnya menjadi sunyi tanpa suara dengkur suami yang dulu ia cintai. Tapi hari ini... tangisnya pecah.
Ia masuk ke kamar, mengambil selembar mukena yang sudah lama tergantung tanpa terpakai. Shalat yang ia lakukan selama ini hanya gerakan-gerakan kosong, karena hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Malam ini ia sujud lebih lama dari biasanya. Tangisnya membasahi sajadah.
“Ya Allah, ampuni aku yang pura-pura sembuh... yang pura-pura kuat... yang memberi nasihat padahal diriku sendiri masih terperangkap dalam dendam dan luka.”
Hari-hari berikutnya, Amara mulai menata ulang hidupnya. Ia tak lagi aktif di media sosial. Ia berhenti menulis kutipan-kutipan tentang kesetiaan seolah ia adalah penguasa hikmah. Ia kembali ke akar: memperbaiki diri. Ia menyadari, selama ini ia menolak untuk sembuh. Ia tetap menyimpan Arfan dalam bayangan karena merasa jika ia melupakan, maka perjuangannya sia-sia.
Tapi bukankah melupakan bukan berarti menyerah? Melupakan bisa berarti membebaskan.
Dua bulan kemudian, Amara menerima undangan konsultasi via email. Nama kliennya: Nadya. Umur: 33 tahun. Alasan konsultasi: ingin bertahan dalam pernikahan meski tahu suaminya selingkuh. Ada satu kalimat di akhir formulir yang membuat Amara merinding: “Saya tahu dia masih mencintai perempuan pertama yang dulu ia tinggalkan.”
Hari itu, Amara kembali menata ruang praktiknya. Kali ini, bukan sebagai perempuan patah yang berpura-pura menyembuhkan. Tapi sebagai seseorang yang pernah retak, dan benar-benar mengeringkan lukanya.
Ketika Nadya datang, Amara menyambut dengan hangat. Mereka berbicara lama, tentang luka, tentang rasa kalah yang tak pernah diucap. Di tengah percakapan, Nadya menunjukkan foto suaminya.
Hati Amara berhenti berdetak sejenak. Wajah itu... bukan Arfan.
Nadya berkata, “Saya tahu dia masih mencintai mantan istrinya dulu. Katanya perempuan itu sangat kuat, sangat cerdas. Dia menyesal meninggalkannya dulu karena tekanan keluarga. Tapi sekarang, dia tidak tahu harus kembali atau tidak.”
Amara menarik napas. Perlahan, ia menyadari bahwa cerita luka dan pengkhianatan bukan hanya miliknya. Setiap orang membawa luka, dan kadang, mereka tak tahu bagaimana cara membalutnya. Tapi satu hal pasti: ia tak lagi ingin jadi perempuan yang menyimpan bangkai.
Sore itu, ia pulang dengan langkah lebih ringan. Ia menuliskan sebuah kalimat di buku hariannya:
"Terkadang, kita bukan kehilangan permata... kita hanya salah menyimpan cermin. Hingga bayangan luka tampak seperti kilau yang harus kita kejar kembali."
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Amara tertidur tanpa menyalakan galeri di ponselnya.
Komentar