Melawan Lupa, Menantang Dusta: Jeritan Kamisan di tengah Kebisuan

Oleh: Dinda Nailul Fauziah, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Menggali Ingatan dari Kegelapan
ASKARA - Sejarah suatu bangsa seharusnya menjadi cermin bagi masa depan, pelajaran berharga yang membimbing generasi mendatang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun, di Indonesia, ingatan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) justru sering dibungkam. Tragedi pembantaian massal 1965, penculikan aktivis pro-demokrasi 1997–1998, Tragedi Semanggi, penembakan misterius (petrus), hingga kekerasan negara terhadap kelompok minoritas, masih banyak yang terkatung-katung tanpa kejelasan. Sementara keluarga korban terus menunggu, negara justru memilih diam dan berusaha menghapus jejak kejahatan masa lalu.
Di tengah kebisuan negara, Aksi Kamisan muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa yang dipaksakan. Sejak pertama kali digelar pada 18 Januari 2007, aksi ini menjadi ruang bagi keluarga korban pelanggaran HAM untuk menyuarakan tuntutan mereka. Setiap Kamis sore, tanpa absen, mereka berkumpul di depan Istana Negara, mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam sebagai simbol duka serta perlawanan. Mereka berdiri dalam diam—bukan karena tidak punya suara, tetapi karena suara mereka terlalu lama diabaikan. Gerakan ini mengingatkan bahwa kebenaran tidak boleh dikubur oleh kekuasaan, dan pelanggaran HAM bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan luka yang masih terasa hingga kini.
Namun, meskipun telah berlangsung lebih dari satu dekade, respons pemerintah terhadap gerakan ini masih jauh dari harapan. Pergantian rezim demi rezim tidak membawa perubahan berarti dalam upaya penyelesaian kasus HAM berat. Alih-alih memberikan keadilan, pemerintah sering kali menghindari tanggung jawab, mengabaikan rekomendasi Komnas HAM, bahkan memberi tempat di pemerintahan bagi tokoh-tokoh yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM, termasuk kursi presiden. Tak hanya itu, peserta Aksi Kamisan kerap mengalami intimidasi dan kriminalisasi—mulai dari pembubaran paksa, ancaman fisik, hingga serangan propaganda dan disinformasi. Tekanan ini menunjukkan bahwa perjuangan mereka masih jauh dari selesai.
Simbol Perlawanan Rakyat terhadap Ketidakadilan
Aksi Kamisan bukan sekadar unjuk rasa mingguan; ia telah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap sistem yang gagal melindungi hak-hak warganya. Dalam politik yang didominasi oleh kepentingan elit, suara korban sering kali dianggap tidak penting. Namun, Kamisan menunjukkan bahwa perlawanan tidak selalu harus dilakukan dengan kekerasan atau amarah. Diam yang mereka lakukan justru lebih nyaring daripada teriakan demonstrasi biasa. Payung hitam yang mereka bawa bukan hanya simbol duka, tetapi juga keteguhan hati untuk terus melawan, meski dihadapkan pada tembok kekuasaan yang dingin dan tak acuh.
Dari Jeritan ke Tindakan Nyata
Ada anggapan bahwa Aksi Kamisan hanyalah ritual tanpa hasil. Namun, jika ditelaah lebih jauh, gerakan ini telah membawa dampak signifikan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama generasi muda. Banyak komunitas, jurnalis, dan akademisi kini lebih berani membahas pelanggaran HAM. Dokumentasi dan laporan mengenai kasus-kasus lama pun terus dipublikasikan, memberikan tekanan bagi pemerintah untuk bertindak. Meski hasil nyata seperti pengadilan para pelaku masih jauh dari harapan, Kamisan memastikan bahwa isu ini tidak tenggelam dalam kesibukan politik sehari-hari.
Perjuangan Aksi Kamisan adalah pengingat bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan cuma-cuma oleh penguasa, tetapi harus diperjuangkan oleh rakyat. Jika masyarakat membiarkan sejarah kelam berlalu tanpa penyelesaian, maka kejahatan yang sama bisa terulang di masa depan. Sayangnya, hingga saat ini, negara masih belum menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Namun, satu hal yang pasti: selama masih ada orang-orang yang berani melawan lupa, kebohongan tidak akan pernah menjadi kebenaran. Mereka yang berdiri di Kamisan tidak hanya menuntut keadilan untuk korban di masa lalu, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Sebab, keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tak pernah datang.
Komentar