Raker Komisi IV DPR RI Dengan Menteri KKP
Prof Rokhmin Dahuri Sampaikan 8 Rekomendasi Tingkatkan Sektor Kelautan dan Perikanan

ASKARA - Anggota Komisi IV DPR RI Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MSi menyampaikan delapan rekomendasi penting untuk meningkatkan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.
Hal itu disampaikan pada Rapat Kerja (Raker) Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Rabu, 6 November 2024. Rapat tersebut membahas penjelasan rencana program kerja prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2025.
"Pertama, Kebijakan program pembangunan KKP harus lebih banyak diprioritaskan untuk berbagai masalah yang menyangkut nelayan kecil. Karena 90 persen nelayan kita adalah nelayan kecil," ujar Prof Rokhmin Dahuri.
Kedua, Peningkatan pemanfaatan pembangunan subsektor perikanan budidaya. Dalam hal ini, Prof Rokhmin Dahuri mendorong kenaikan anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang optimal.
"Sewaktu saya diberi amanah jadi menteri pada era Gus Dur dan Bu Mega, anggaran KKP pada 2003 sebanyak 3 Triliun, sedangkan anggaran kementerian pertanian 6 Triliun.Sekarang, Kementan 29,7 Triliun. KKP hanya 6 Triliun atau 1/7 persen," ungkapnya.
Seharusnya pada zaman Presiden Jokowi dengan program utama Poros Maritim Dunia, anggaran KKP sama dengan Kementan. "Sekarang dengan saya di Komisi IV, Insya Allah anggaran KKP bisa ditingkatkan kembali menjadi 12 Triliun lagi, untuk 2025 baru bisa nendang," tegasnya.
Ketiga, pengembangan industri pakan. Keempat, penguatan dan pengembangan industri pengolahan perikanan. Kelima, peningkatan pemanfaatan dan pembangunan industri biotech kelautan.
Menurut survei dari kementerian kelautan dan perikanan Korea potensi ekonomi industri biotech kelautan 4 kali lipat daripada industri IT. Padahal basis dari biotech dan bioindustry Indonesia itu di laut. "Jadi mubazir jika kita tidak memanfaatkan biotech kelautan itu," tegasnya.
Keenam, pengembangan blue carbon dan blue ekonomi. Ketujuh, pembangunan pulau-pulau kecil,
"Kedelapan, kaki mengusulkan seperti Thailand, Vietnam dan China untuk sektor kelautan perikanan dan pertanian harus ada skin kredit khusus. Karena kita sekarang usaha komersial masih 10 persen, Thailand 3 persen, Vietnam 5 persen, China 2 persen," ungkapnya.
Prof. Rokhmin Dahuri berharap bahwa rekomendasi-rekomendasi ini dapat diimplementasikan dengan baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mencapai keberlanjutan dan kesejahteraan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.
Akar Masalah Kelautan dan Perikanan
Dalam kesempatan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu mengingatkan filosofi kerjasama antara DPR RI dengan Kementerian eksekutif itu harus sinergi dan mendukung visi misi dari Presiden yang baru.
Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, tugas fungsi pokok Kementerian Kelautan dan Perikanan menurut Undang-undang no 61/2024 tentang penyelenggara negara itu pada dasarnya ada dua:
Pertama mengatasi atau menyelesaikan permasalahan internal. Kedua adalah bagaimana mendayagunakan seluruh potensi sektor kelautan perikanan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
"Perlu dicatat KKP menorehkan prestasi luar biasa sumber daya secara volumetri sejak tahun 2009 produksi Perikanan Indonesia itu sudah mencapai terbesar kedua di dunia hanya kalah dengan China saja," ujar Prof Rokhmin Dahuri.
Lanjutnya, menurut Litbang kesehatan data terakhir pada 2023 bahwa 58 persen dari asupan animal protein atau protein hewan itu berasal dari ikan, karena protein hewan itu sangat menentukan kemampuan kognitif dan kecerdasan bangsa.
Atas dasar itu, Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB University menyatakan, Fraksi PDI Perjuangan mengungkapkan akar masalah dari sektor kelautan perikanan, antara lain:
Pertama, di balik potensi perikanan Indonesia yang luar biasa besar itu, data dari BPS sekitar 24 persen nelayan dan pembudidaya ikan tergolong masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Padahal kita tahu bahwa kemiskinan nasional itu sudah mencapai 9,03. Jadi kalau kita 24 persen itu benar-benar weke up all buat kita. Karena bendera KKP dianggap berhasil kalau nelayan itu hidup sejahtera.
Kenapa demikian? karena menurut data dari KKP sendiri dari 800 unit kapal ikan di seluruh Indonesia 80 persen itu di bawah 10 groston. Itulah yang dimaksud dengan nelayan tradisional dan nelayan kecil. Jadi kalau teknologi on fishing-nya sudah tradisional nggak mungkin akan makmur dan produktifitas pasti rendah.
Kedua, pada umumnya nelayan masih susah mendapatkan sarana produksi mulai dari jaring, alat tangkap, BBM, beras dan perbekalan melaut lainnya. Harganya juga selalu lebih mahal dari harga pabrik. Misalnya nelayan di Desa Gebang Cirebon, satu pice jaring itu Rp 250 ribu, padahal harga pabrik Rp200 ribu. Jadi Rp50 ribu profit margin dinikmati pedagang perantara.
"Bayangkan yang tinggal di Merauke mungkin harga jaring 400 ribu, jadi pada saat nelayan membeli sarana produksi jauh lebih mahal dari harga pabrik karena membeli dari pedagang perantara," katanya.
Di sisi menjual ikan nya nelayan pun sangat kesusahan karena jual ikan tidak bisa langsung ke konsumen akhir. Tetapi melalui pedagang perantara. Seperti di Muara Angke harga ikan di pelelangan Rp10 ribu, melangkah 100 meter ke rumah makan harganya 25 ribu rupiah. Jadi, harga 15 ribu dinikmati oleh trader.
"Saya ingat di Thailand ada undang-undang pertanian bahwa profit margin untuk seluruh komoditas pertanian maksimum 15 persen. Kalau semangka di Chiang Mai Rp10 ribu di Swalayan Bangkok harus maksimum Rp11.500, maunya kita seperti itu," ungkapnya.
Sebagian besar nelayan belum menerapkan Best Handling Practices (cara-cara penanganan ikan hasil tangkapan yang baik) selama dalam kapal ikan dari laut sampai ke pelabuhan perikanan (pangkalan pendaratan ikan). "Sehingga, pada saat ikan sampai di darat, kualitasnya sudah menurun, dan harga jualnya menjadi lebih rendah (murah)," ucap Guru Besar Kehormatan Jeju Island dan Busan Metropolitan City itu
Kemudian, alokasi kredit perbankan nasional tahun 2023, yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 0,3 persen, sedangkan pertanian 7 persen.
Sementara alokasi kredit tertinggi diberikan untuk sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 24 persen. "Ini sektor yang 75 persen wilayah kita berupa laut hanya 0,3 persen," katanya.
Kedua, masalah overfishing (tangkap lebih) di wilayah Pantura tetapi underfishing di daerah lain, seperti Arapura, zona Eksklusif dst.
Ketiga, masalah nelayan asing. Keempat, kerusakan fisik habitat pesisir seperti pencemaran mangrove.
Kelima, dampak perubahan iklim. "Kami nelayan sudah terdampak dengan cuaca ekstrim, hujan badai dst," ungkapnya.
Keenam, terbatasnya infrastruktur terutama pelabuhan. Di Thailand dengan 2700 km panjang pantai mempunyai 300 pelabuhan perikanan. "Sedangkan Indonesia dengan 108 ribu km panjang pantai hanya 7 Pelabuhan Perikanan yang berkelas ekspor atau perikanan Samudera itu," kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.
Masalah berikutnya, mengenal rendahnya sektor perikanan budidaya. Kita baru produksi 16 juta ton termasuk rumput laut tetapi potensi produknya 105 juta ton atau 15 persen. "Artinya kalau bapak (Menteri KKP) ingin menjawab tantangan Presiden Prabowo untuk growth persen itu harusnya kalau iklim investasinya, kriminalitas di Karimunjawa tidak ada. Yang dikhawatirkan, kalau semua orang dikriminalisasi untuk investasi di tambak agak susah," tegasnya.
Kemudian ekonomi non ikan, dulu kita menggembar gemborkan ekonomi farmasi dari laut, seperti Gamat 100 persen atau teripang dalam bentuk jadinya impor dari Malaysia. Padahal bahan bakunya dari Indonesia. Termasuk viagra (pil biru) itu juga asal bahan bakunya dari kita ekspor ke Jerman. "Saya ingin Pak Menteri untuk mendorong hilirisasi, jangan jual mentah tapi diproses di kita," imbuhnya.
Terkait kontroversi di seputar konservasi laut, BBL, penangkapan ikan terukur dan kriminalisasi pertambakan Karimunjawa terkait limbah.
"Perlu diketahui, bahwa limbah tambak itu organik, namun difitnah LSM seolah-olah tambak itu mengeluarkan limbah berwarna kuning. Padahal hampir 40 persen ekspor kita dari udang, dan komoditas primadona hanya udang yang menguntungkan," jelasnya.
Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu mencontohkan produsen udang Vaname budidaya terbesar di dunia yaitu Equador sekitar 1,2 juta ton. Padahal panjang pantainya hanya 300km, sedangkan Indonesia 108ribu km, tapi produknya nomor tiga.
Komentar