Sabtu, 20 April 2024 | 08:40
NEWS

Beri Kuliah Umum di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang

Prof. Rokhmin Dahuri: Indonesia Berpeluang Menjadi Negara Maju Lewat Potensi Sektor Kelautan dan Perikanan

Prof. Rokhmin Dahuri: Indonesia Berpeluang Menjadi Negara Maju Lewat Potensi Sektor Kelautan dan Perikanan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyatakan Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas).

Hal tersebut disampaikan Prof. Rokhmin Dahuri saat memberikan Kuliah Umum Di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Negeri Padang, Kampus UNP, Padang, Selasa, 21 Maret 2023.

Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang lalu menjabarkan sejumlah persoalan bangsa Indonesia dan peluang Indonesia menjadi negara maju, adil, makmur dan berdaulat yakni dengan memanfaatkan potensi kekayaan alam dari sektor kelautan dan perikanan.

Menurutnya, dibutuhkan pendekatan sistem untuk memajukan dan mensejahterakan propinsi daerah kepulauan menuju Indonesia Emas Pada 2045. Namun, tegasnya, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa).

“Tantangan pembangunan utama Indonesia adalah bahwa sudah 77 tahun merdeka, tetapi status (pencapaian) pembangunannya baru sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country), belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Cita-Cita Kemerdekaan – RI),” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam makalah bertema “Strategi Menjadikan Perguruan Tinggi  Sebagai Engine Of Sustainable Development”.

Dalam paparannya, Prof Rokhmin Dahuri menjelaskan, Indonesia memiliki empat modal dasar pembangunan dengan jumlah penduduk 278 juta orang dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah dan dapat bonus demografdi dari 2020 – 2040,  merupakan potensi daya saing dan pasar domestik yang luar biasa besar melalui kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut.

Dijelaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia) (UNCTAD, 2012). Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari.

Kemudian, rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri). “Mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” terangnya.

Prof Rokhmin Dahuri menerangkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10% Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang. Dari 194 negara anggota PBB dan 204 negara di dunia, hanya 16 negara dengan PDB US$ > 1 trilyun. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia.

”Sebagai catatan, untuk pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10% yakni 9,2 persen dari total penduduk. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang,’’ ujarnya.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni pengeluaran Rp 550.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. Namun, menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 900.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2022 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk).

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Mengutip Institute for Global Justice, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Dia menyebutkan, kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.

Bahkan, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016),” terangnya.

Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi PDRB Menurut Pulau, Triwulan III dan IV-2022. masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-3 Sebesar 56,3% DAN TW-4 sebesar 56,48%. Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536.

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif). Keempat, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Bahkan, sambungnya, menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB),” ujarnya.

Atas dasar perhitungan diatas, jelasnya, atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022).

Masalah lainnya kekurangan rumah sehat dan layak huni. Dari 65 juta Rumah Tangga, menurut data BPS tahun 2019 dimana 61,7 persen tidak memiliki rumah layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan ada beberapa  faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ada fakrtor internal, ada pula faktor eksternal,” katanya.

Faktor internal tersebut, jelasnya, yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) dan kapasitas Iptek masih rendah; serta khlak belum baik (susah kerja sama, tidak amanah, dan hedonis). “Selain itu, negara kita defisit pemimpin yang capable, negarawan, dengan Imtaq kokoh,” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.

Adapun faktor eksternal, kata dia, antara lain  keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang. “Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek  yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global,  pandemi Covid-19, dan pertarungan ideologi,” paparnya. Prof Rokhmin menyayangkan,  hampir semua indikator yang terkait dengan kapasitas Iptek, riset, inovasi, dan kualitas SDM bangsa Indonesia masih rendah (tertinggal).

“Implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen. Selebihnya,  91,9 persen berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 peren, dan Thailand 24 persen,” urainya mengutip data UNCTAD dan UNDP, 2021.Nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (‘jago kandang’).

Selain itu, sambungnya, nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (jago kandang). "Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat dan Pandemi Pertarungan ideologi," sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Prof.Rokhmin Dahuri menyebutkan, kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh ‘innovation-driven economy’. “Terlebih di dunia yang highly interconnected dan  globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition, maka  inovasi dan daya saing adalah kunci untuk memenangi persaingan,” katanya

Malangnya, kata Prof Rokhmin Dahuri, dari semua indikator, kapasitas IPTEK Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, tak terkecuali di sektor Kelautan dan Perikanan, sampai sekarang tergolong rendah (tertinggal).

Hingga 2022, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Menurutnya, implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.  (UNCTAD dan UNDP, 2021).

Key Global Trends Yang Mempengaruhi Kehidupan Umat Manusia Di Abad-21

Pada prinsipnya ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.

Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021).

Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan  kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.

Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.

Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi.

Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016). Namun, hingga saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja (e-commerce dan e-government).

“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Ketiga, Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).

Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).

Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.

Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).

Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).

Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015). Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut.

Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Hingga 2022, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN

Penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan. Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.

Populasi dunia diperkirakan akan tumbuh hingga hampir 10 miliar pada tahun 2050, mendorong permintaan pertanian – dalam skenario pertumbuhan ekonomi sedang – sekitar 50% dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan pendapatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah akan mempercepat transisi pola makan menuju konsumsi daging, buah-buahan dan sayuran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan sereal, membutuhkan pergeseran output yang sepadan dan menambah tekanan pada sumber daya alam (FAO, 2017).

Pertambahan penduduk menyebabkan permintaan akan produk pangan terus meningkat dan berdampak pada ketersediaan lahan.Hampir 800 juta orang mengalami kelaparan kronis dan 2 miliar menderita defisiensi mikronutrien (FAO, 2017).

Secara makroekonomi, Kapitalisme mampu memacu pertumbuhan ekonomi global (dunia) rata-rata 3,4% per tahun, dari PDB (Produk Domestik Bruto) Global hanya sebesar US$ 0,45 trilyun pada 1753 (awal Revolusi Industri-1) menjadi US$ 100 trilyun pada 2019 (Sach, 2015; World Bank, 2020).

Kapitalisme pun berhasil melahirkan berbagai macam IPTEK dalam 4 gelombang Revolusi Industri. Kemajuan yang pesat di bidang IPTEK telah membuat kehidupan umat manusia. Namun, Kapitalisme gagal mengentaskan kemiskinan, kelaparan, dan tuna wisma global.

Selain itu, Kapitalisme telah mengakibatkan ketimpangan kaya vs miskin semakin melebar, dan triple ecological crisis (Pollution, Biodiversity Loss, dan Global Warming) yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) bumi di dalam mendukung pembangunan ekonomi, bahkan kehidupan manusia. “Kapitalisme pun telah mengakibatkan kehidupan sosial-budaya dan politik mengalami dekadensi dan menuju kehancuran,” sebutnya.

Hingga 2019 (sebelum Covid-19), sekitar 3 milyar penduduk dunia (37%) masih miskin (pengeluaran < US$ 2 per hari), dan sekitar 1 milyar orang masih miskin ekstrem atau fakir (pengeluaran < US$ 1.25 per hari) (World Bank and UNDP, 2020).

Sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap listrik, 900 juta tidak memiliki akses terhadap air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses terhadap jalan dan cuaca. terputus dari dunia pada musim hujan (IEA, 2016). Saat ini, hampir setengah dari penduduk termiskin di dunia memiliki listrik, dan hanya satu dari lima yang mendapatkan akses ke internet (PBB, 2023).

Hingga tahun 2019, di antara 194 negara anggota PBB, hanya 55 negara (28%) yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi (kaya). 103 negara (53%) merupakan negara berpenghasilan menengah, dan 36 negara (19%) masih miskin (Bank Dunia dan UNDP, 2019). Status 194 Negara di Dunia Berdasarkan Tingkat Pendapatan (W 55 negara berpenghasilan tinggi terdiri dari 34 anggota OECD dan 21 non-OECD termasuk beberapa negara Muslim.

Dalam 270 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak merata. Misalnya, pada tahun 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh bagian bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi separuh penduduk dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi tidak hanya terjadi antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).

Saat ini, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019 ).

Pertumbuhan ekonomi global selama 270 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan secara masif yang mengakibatkan krisis ekologi tiga kali lipat (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global) yang didorong oleh kegagalan pasar dan kebijakan yang buruk. Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global. Dari tahun 1970 hingga 2018, populasi satwa liar dunia menurun sebesar 68% (WWF, 2023).

Perubahan Iklim Global dapat secara langsung merugikan ekonomi dunia sebesar US$ 7,9 triliun pada pertengahan abad karena meningkatnya kekeringan, gelombang panas, wabah penyakit, banjir, dan gagal panen menghambat pertumbuhan dan mengancam infrastruktur (EIU, 2019). Jika suhu bumi meningkat lebih tinggi dari 1,50C dari pengukuran dasar, maka dampak negatif Pemanasan Global tidak dapat dikendalikan (IPCC, 2019).

Di seluruh dunia, khususnya di daerah perkotaan, terjadi peningkatan tingkat stres, ketegangan, dan perselisihan dalam urusan manusia, disertai dengan dan meningkatnya semua gejala anomie (penyakit sosial), seperti frustrasi, kriminalitas, alkoholisme, kecanduan narkoba. , HIV/AIDS, perceraian, pemukulan anak, penyakit mental dan bunuh diri, semuanya menunjukkan kurangnya kepuasan batin dalam kehidupan individu (Brown, 2003; Chapra, 1995).

Ketidakadilan ekonomi, pengangguran, kemiskinan absolut, dan diskriminasi politik telah banyak dilaporkan dan diyakini sebagai akar penyebab radikalisme dan terorisme (Cavanagh dan Mander, 2004). Pandemi Covid-19 menelanjangi kedok kemunafikan negara-negara maju kapitalis dengan cara memproduksi dan menimbun vaksin jauh melebihi dari kebutuhannya. Sementara, negara-negara berkembang (miskin) sangat kekurangan vaksin (Sundaram and Chowdury, 2021).

Contoh: Uni Eropa menimbun 3 milyar dosis vaksin (6,6 dosis/orang); AS punya 1,3 milyar dosis vaksin
(5 dosis/orang); Kanada memiliki 450 juta dosis vaksin (12 dosis/orang); Inggris punya 500 juta dosis vaksin (8 dosis/orang); dan Australia mengamankan 170 juta dosis vaksin (7 dosis/orang).

Pada 7 Juli 2021; lebih dari 3,32 miliar dosis vaksin telah diberikan, dengan 85% diberikan ke negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, dan hanya 0,3% ke negara berpenghasilan rendah.

Tingkat vaksinasi Afrika (sejauh ini 4%) adalah yang paling lambat dari semua benua, dengan beberapa negara belum memulai, sementara tingkat infeksi meningkat dengan cepat.

Karena tingkat vaksinasi yang jauh lebih tinggi (> 60% total populasi, persentase minimal untuk membangun komunitas ternak), korban kematian di negara maju (kaya) turun dari 59% total resmi dunia pada Januari menjadi 15% pada Mei 2021. kematian pandemi di negara berkembang sekitar 85%, namun tetap meningkat pesat (WHO, 2021 dalam The Jakarta Post, Kamis 15 Juli 2021, hlm.7).

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju pada 2021 ini diproyeksikan akan meningkat, dari 5,1% menjadi 5,6%.  Sebaliknya, di negara-negara berkembang menurun dari 6,7% menjadi 6,3% (IMF, 2021). Ketimpangan kaya vs. miskin bakal semakin melebar.

Keberhasilan dan Kegagalan Kapitalisme

Kapitalisme yang merupakan satu-satunya  paradigma (sistem) kehidupan manusia yang dianut oleh sebagian besar bangsa-bangsa di dunia sejak tahun 1800-an telah menimbulkan sejumlah permasalahan. “Kapitalisme  telah mengancam kelestarian (sustainability) ekosistem planet bumi ini dan jug mengancam eksistensi peradaban manusia itu sendiri,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Secara makroekonomi, jelas Ptof. Rokhmin Dahuri, Kapitalisme mampu memacu pertumbuhan ekonomi global (dunia) rata-rata 3,4% per tahun, dari PDB (Produk Domestik Bruto) Global hanya sebesar US$ 0,45 trilyun pada 1753 (awal Revolusi Industri-1) menjadi US$ 100 trilyun pada 2019 (Sach, 2015; World Bank, 2020).

Kapitalisme pun berhasil melahirkan berbagai macam IPTEK dalam 4 gelombang Revolusi Industri. Kemajuan yang pesat di bidang IPTEK telah membuat kehidupan umat manusia lebih sehat, mudah, cepat, dan nyaman. Namun, Rokhmin menegaskan, kapitalisme juga telah menimbulkan permasalahan sosial-ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya  yang  sangat kompleks dan serius. “Kapitalisme gagal mengentaskan kemiskinan, kelaparan, dan tuna wisma global," tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, Kapitalisme telah mengakibatkan ketimpangan kaya vs miskin semakin melebar, dan kerusakan lingkungan serta Perubahan Iklim Global (Global Warming) yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) bumi di dalam mendukung pembangunan ekonomi, bahkan kehidupan manusia. “Kapitalisme pun telah mengakibatkan kehidupan sosial-budaya dan politik mengalami dekadensi dan menuju kehancuran,” ujarnya.

Hingga 2019, sekitar 3 milyar penduduk dunia (37%) masih miskin (pengeluaran < US$ 2 per hari), dan sekitar 1 milyar orang masih miskin absolut atau fakir (pengeluaran < US$ 1.25 per hari) (World Bank and UNDP, 2020).

Kegagalan Kapitalisme, antara lain: Paradigmatik: (1) Bahwa hidup manusia itu hanya di dunia, tidak ada akhirat; dan (2) Bahwa harta yang diperoleh manusia itu karena kecerdasan dan kerja keras nya, tidak ada campur tangan Allah SWT (Tuhan YME dan Kuasa). Gaya hidup (lifestyle) manusia menjadi konsumtif, hedonis, egois, dan menjajah (dzalim) terhadap sesama insan. Ketimpangan ekonomi (kesenjangan kaya vs miskin) terus melebar, dan kerusakan lingkungan semakin masif.

Praksis: (1) Common-property resources (seperti MINERBA, hutan, tanah, dan air) yang mestinya dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UUD 1945, Pasal 33), malah dimiliki dan dikelola swasta; (2) semua ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar (invisible hand); (3) menaikkan atau menurunkan suku bunga menjadi instrumen tunggal (utama) dalam pengendalian inflasi; dan (4) pendapatan negara secara dominan mengandalkan pada penerimaan pajak.

Dari Kapitalisme Ke Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Pertama kali dampak lingkungan, khususnya pencemaran, mulai menganggu keseimbangan ekosistem alam, serta membahayakan kesehatan dan kehidupan manusia itu terjadi di awal tahun 1940-an (Perang Dunia Kesatu) sampai 1960-an. 

Pencemaran lahan, perairan, dan udara oleh pestisida, logam berat, limbah organik, emisi (gas buang dari pabrik-pabrik), dan bahan pencemar lainnya akibat pertambagan, industri manufakur, pertanian, rumah tangga, dan aktivitas pembangunan lainnya yang tidak ramah lingkungan, mulai mengganggu serta mengancam kesehatan dan kehidupan manusia bukan hanya di suatu negara, tetapi dampak negatipnya tersebar ke negara-negara tetangga (transboundary pollution).

Masalah pencemaran lingkungan pada waktu itu baru terjadi di negara-negara industri maju, termasuk Eropa Barat (Inggris, Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol), Amerika Serikta, dan Jepang.  Peristiwa pencemaran yang membangkitan kesadaran global adalah merebaknya penyakita ’mina mata’ dan ’itai-itai’ akibat pencemaran laut Jepang, khususnya Teluk Tokyo, oleh limbah mercuri (Hg) dan Cadmium (Cd) dari kegiatan industri manufaktur.

Maraknya pengunaan logam berat, pestisida, dan bahan kimia lainnya yang mencemari lingkungan menggerakkan Rachel Carson untuk menuliskannya dalam sebuah buku berjudul ’Silent Spring’ yang terbit pada 1962.  Pesan utama dari buku ini adalah bahwa musim semi yang biasanya ditandai oleh merebaknya bunga aneka warna dari beragam pepohonan dan kicau berbagai jenis burung, suatu saat bisa hilang (mati), bila pencemaran masif oleh beragam bahan kimia itu tidak dihentikan. 

Silent Spring (1962), kekhawatiran seorang jurnalis sekaligus ilmuwan yang dibukukan itu menjadi pemantik pertama lahirnya gerakan lingkungan hidup global di berbagai belahan dunia.  Andai tak ada keresahan seorang Carson di era itu, mungkin penduduk dunia bakal terus terlena, dan bumi sebagai tempat tinggalnya seakan dalam keadaan baik-baik saja.

Buku mengenai lingkungan hidup kedua yang menggugah kesadaran global tentang kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi adalah ’The Limits to Growth’ karya pasangan suami- istri,  Dennis Meadows dan Donnela Meadows, yang diterbitkan oleh Club of Rome pada 1972. 

Isi (pesan) utama dari buku itu adalah  bahwa jika laju eksploitasi SDA dan pembuangan limbah serta emisi seperti pada tahun 1960-an, maka bumi akan ambruk (collapse) pada 2015, lantaran daya dukungnya terlampaui.

Kedua buku itulah terutama yang menginspirasi PBB untuk pertama kalinya memprakarsai Konferensi Dunia tentang Pembangunan dan Lingkungan di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1976. 

Selanjutnya, 5 Juni oleh PBB ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup se Dunia.  Kesimpulan dari Konferensi Dunia itu adalah bahwa tingkat kerusakan lingkungan di beberapa wilayah telah melampaui daya dukung lingkungan, yang dapat mengancam keberlanjutan (sustainability) pembangunan ekonomi, bahkan kehidupan manusia itu sendiri.

Maka, rekomendasi dari Konferensi Dunia ini adalah agar paradigma dan pola pembangunan ekonomi  yang ekstraktif dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan (Kapitalisme), diganti dengan paradigma dan pola pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable development).

Kemudian, pada 1987 World Commission on Environment and Development yang diketuai oleh Madame Gro Harland Bruntland (Mantan Perdana Menteri Norwegia) beranggotakan para tokoh dan ilmuwan dunia, termasuk Prof. Emil Salim, menerbitkan buku berjudul ’Our Common Future’ yang mendefiniskan pembangunan berkelanjutan dan strategi global untuk mewujudkannya.  

Sejak saat itu, istilah pembangunan berkelanjutan menjadi kosa kata yang hampir tidak pernah lupa diucapkan dalam pidato setiap Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Pejabat Tinggi Negara di seluruh dunia. Lalu, PBB mencanangkan Millenium Development Goals pada 2000 yang untuk diwujudkan pada 2015.

Terakhir, pada 2015 PBB mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang mencakup 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, dan ditargetkan dapat terwujud pada 2030. Namun, faktanya kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi semakin memburuk.

Penyebabnya: karena dalam Sustaianble Development hanya dibenahi sistem ekologi (ekosistem alam) atau supply side nya, tetapi sedikit sekali atau tidak ada perbaikan fundamental di demand side (lifestyle) nya. Sustainable Development Index, 2021 Indonesia berada diurutan ke-97 dari 165 negara atau ke-6 di ASEAN.

Kebijakan dan Program Transformasi Struktural Ekonomi

Adapun kebijakan dan program transformasi struktural ekonomi yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah; Pertama, dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

Kedua, dari dominasi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor. Ketiga, Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, bernilai tambah (hilirisasi), berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Keempat, Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.

Kelima, Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.

Keenam, Pengembangan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di luar Jawa dan di wilayah perdesaan.

“Ketujuh, semua pembangunan ekonomi mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0),” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, “Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia”. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri  memaparkan berbagai hal terkait keungggulan ekonomi maritim Indonesia. Pertama, merumuskan apa itu ekonomi maritim.

Kedua, ruang lingkupnya. Ketiga, nilai ruang lingkup atau setiap sektor dalam ekonomi maritim yang mencapai 11 sektor.

Keempat, bagaimana merealisasikan atau memanfaatkan potensi ekonomi maritim yang sangat besar ini, yakni  1,4 triliun dolar AS. “Ini berarti 1,5 kali lipat ekonomi Indonesia  saat ini,” ujarnya.

Kelima, peluang daya serap tenaga kerja ekonomi maritim  mencapai  45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia.  “Artinya, penyerapan sepertiga angkatan  kerja kita harusnya sudah selesai  kalau ekonomi maritim sudah  dibangkitkan,” tegas duta besar kehormatan Jeju Island Korea.

Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Ia mencontohkan udang Vaname. Kalau Indonesia  bisa memanfaatkan 17 persen saja dari lahan pesisir yang cocok dikembangkan untuk tambak udang, bisa menghasilkan 20 juta ton atau 20 miliar kilogram udang per tahun. Harga udang saat ini  sekitar 5 dolar per kg. Jadi kalau 20 miliar kilogram dikalikan  5 dolar berarti 100 miliar dolar.

"PDB Indonesia saat ini hanya sekitar 1 triliun dolar.  Jadi kalau 100 miliar dolar dibagi 1 triliun dolar, ketemu angka 10 persen. Artinya, udang bisa menyumbang 10 persen PDB kita," tuturnya.

"PDB Indonesia saat ini hanya sekitar 1 triliun dolar.  Jadi kalau 100 miliar dolar dibagi 1 triliun dolar, ketemu angka 10 persen. Artinya, udang bisa menyumbang 10 persen PDB kita," tuturnya.

Indonesia perlu mengembangkan 500 ribu hektar tambak udang dalam waktu lima tahun ke depan. Artinya 100 ribu ha per tahun hingga 2024. “Kalau hal ini kita lakukan secara konsisten, maka tiap tahun dari udang saja sudah bisa menyumbangkan pertumbuhan ekonomi dua persen. Jadi, pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen  per tahun bagi Indonesia adalah keniscayaan, kalau ekonomi maritim ini kita kembangkan dengan sebaik-baiknya,” paparnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, pengembangan tambak uang seluas 500 ribu ha itu mempunyai multiplier effect yang sangat besar. Kesempatan kerja langsung (on farm) sekitar 2 juta orang, dan tidak langsung (off farm) sekitar 1,5 juta orang.

“Itu baru dari udang saja. Padahal, banyak sekali komoditas budidaya laut lainnya dengan nilai ekonomi sangat tinggi. Contohnya,  udang windu, ikan bandeng, nila salin, kerapu, kakap, bawal bintang, kepiting, lobster, gonggong, abalone, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut,” katanya.

Dalam pembahasan terakhir, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan terkait peningkatan peran perguruan tinggi dalam menghasilkan SDM unggul, informasi ilmiah, inovasi, dan entrepreneurship untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri memberikan gambaran Umum Perguruan Tinggi Indonesia. Pada 2020 ada 4.593 Perguruan Tinggi, 8,48 Juta Mahasiswa terdaftar, 29.413 Program Studi, 312.890 Dosen.

Dari 50puluh Perguruan Tinggi Terbaik dari 4.700 Perguruan Tinggi di Indonesia, menurut Kemenristek Dikti/Kemendikbud Ristek, pada tahun 2021 Universitas Negeri Padang menempati no 32.

Sejak pertama kali berdirinya Universitas di dunia, Bayt Al-Hikmat di Bagdhad (Wallace-Murphy, 2017), melalui 3 tugas-fungsi  (domain) utamanya (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat/Community Services); Universitas telah berperan dan berkontribusi sangat signifikan bagi pembangunan peradaban umat manusia pada umumnya, dan pembangunan ekonomi (economic development) pada khususnya.

Peran utama Universitas dalam mendukung pembangunan berkelanjutan dilaksanakan melalui akselerasi inovasi dan kewirausahaan (entrepreneurship) (Yusuf and Nabeshima, 2007).

Pembangunan Berkelanjutan adalah paradigma pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987).

Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan adalah paradigma (model) ekonomi yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan (Crawley, et.al., 2020).

Pembangunan ekonomi berkelanjutan terjadi ketika ada “kemakmuran dan peluang ekonomi, dan kesejahteraan sosial” sementara pada saat yang sama menyediakan “perlindungan lingkungan” (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2019).

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan peran dan kontribusi disiplin ilmu bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Yakni: 1. STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika): produk berbasis teknologi, peralatan industri, teknologi proses, sistem, dan layanan.

2. Bisnis, Ekonomi, dan Hukum: model pemasaran, model bisnis, manajemen organisasi, pekerjaan yang stabil, keadilan sosial, masyarakat meritokrasi, dan pengaturan kelembagaan.

3 Ilmu sosial (Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Politik): kebijakan sosial berbasis bukti. 4. Kedokteran: terutama mendukung kesejahteraan sosial. 5. Arsitektur dan Perencanaan Kota: membangun ruang dan kota, juga berkontribusi pada seni dan budaya.

Pengertian, Makna, dan Ruang Lingkup Inovasi

“Inovasi adalah pengembangan aktivitas ekonomi baru atau cara baru dalam melakukan aktivitas yang sudah ada,” terangnya.

Adapun jenis inovasi terdiri, Inovasi teknologi: produk baru, material baru, teknologi pemrosesan (manufaktur) baru, teknik baru, dll. Inovasi non-teknologi: jaringan pemasaran baru, inovasi dalam pemasaran, pengembangan praktik atau struktur organisasi baru yang seringkali lebih penting daripada adopsi teknologi produksi baru.

“Memang, kemampuan untuk menuai manfaat dari teknologi baru seringkali bergantung pada inovasi dalam distribusi dan organisasi yang terjadi secara bersamaan,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri mengutip O'Connor dan Kjollerstrom, 2008, Industrial Development for the 21st Century.

“Dalam konteks suatu negara (dunia), inovasi adalah cara terbaik untuk mempertahankan dan meningkatkan kemakmuran ekonomi. Sebab, inovasi meningkatkan produktivitas; dan produktivitas meningkatkan kemungkinan keuntungan yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih tinggi, pekerjaan baru, produk baru, dan ekonomi yang sejahtera,” sambungnya mengutip Romer.

Maka, Prof. Rokhmin Dahuri merekomendasikan untuk Universitas Negeri Padang menjadi A World-Class University. Antara lain: Pertama, Pendirian PRODI baru: (1) Industry 4.0, (2) Society 5.0, dan (3) “Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan” terutama “Science and Technology of Changing Planet”.

Kedua, penambahan Mata Kuliah baru yang wajib diikuti oleh semua PRODI: (1) Teknologi dan Ekonomi Digital (Digitalisasi, IoT, AI, Blockchain, Robotics, Big Data, Cloud Computing, dan Metaverse); (2) Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Ekonomi Pancasila.

Ketiga, implementasi MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) semaksimal dan sebaik mungkin. Penambahan dan penguatan Dosen dan tenaga non-akademik berkelas dunia. Kelima, renovasi dan pembangunan baru infrastruktur dan sarana Kampus, seperti Laboratorium yang lengkap, fasilitas gedung dan ruang belajar yang memadai, dukungan fasilitas perpustakaan dan sebagainya.

Keenam, semua komponen Universitas Negeri Padang  (Dosen, Mahasiswa, Tenaga Non-Akademik, dan Pimpinan) mesti mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan bekerjasama secara sinergis. Ketujuh, peningkatan Kolaborasi Penta Helix: Universitas Negeri Padang – Pemerintah – Industri (Swasta) – Masyarakat – Media Masa.

Kedelapan, perbaikan tata kelola (governance) Universitas Negeri Padang. “Kemudian, kesembilan, peningkatan anggaran: APBN, APBD, Donasi (nasional dan luar negeri), dan lainnya,” sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Komentar