Sabtu, 02 November 2024 | 09:12
OPINI

Tragedi Kanjuruhan Jangan Terulang Kembali

Tragedi Kanjuruhan Jangan Terulang Kembali
Suasana rusuh usai pertandingan di Stadion Kanjuruhan (Dok Askara)

ASKARA - Sejak lama saya kasihan terhadap polisi yang ditugaskan menjaga keamanan negara pada masa bukan perang. Tugas polisi menjadi makin berat setelah dipisah dari TNI oleh Presiden yang ketika itu dijabat Gus Dur.

Polisi lalu lintas harus berdiri di bawah terik sinar matahari maupun derasnya air hujan untuk mengatur lalu lintas, yang pada siang hari dan saat hujan justru makin macet.

Polisi Anti-Terorisme mempertaruhkan nyawa saat berhadapan frontal dengan para teroris yang siap mati.

Namun yang paling terjebak dalam posisi serba salah adalah polisi yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di saat rakyat sedang berunjuk rasa.

Pada saat rakyat berdemo, maka polisi tidak bisa berharap pujian sebab yang ada hanya caci maki dari rakyat yang merasa unjuk rasanya dihalang-halangi.

Padahal tidak ada polisi ingin menghalangi rakyat kecuali memang ditugaskan oleh atasannya untuk menjaga keamanan tatkala rakyat berdemo.

Pada kasus tragedi Kanjuruhan terbukti yang dicaci maki bahkan dihujat sebagai biang kerok adalah polisi. Padahal dua polisi juga jatuh sebagai korban jiwa.

Polisi disalahkan karena menyemprot gas air mata ke arah penonton sehingga panik akibat mendadak kedua matanya tidak bisa melihat maka saling injak-menginjak sehingga memicu lebih dari dua ratus korban luka dan nyawa.

Polisi juga disalahkan karena terbukti menggunakan tongkat panjang untuk memukuli suporter yang ngamuk sehingga menimbulkan kepanikan massal yang menelan korban luka bahkan nyawa.

Khusus di Stadion Kanjuruhan banyak rakyat jatuh menjadi korban luka bahkan nyawa sebab pintu gerbang dari dalam ke luar stadion terlalu sempit untuk memungkinkan ribuan penonton leluasa dari dalam ke luar stadion secara berbarengan tanpa saling berdesakan maka saling menginjak.

Namun kesalahan utama tetap ditimpakan ke polisi. Apakah sikap menghakimi polisi adil?

Saya pribadi tidak berani menghakimi polisi akibat sadar bahwa diri saya tidak sanggup mengemban tugas polisi.

Kasus Ferdy Sambo telah mencoreng-moreng citra polisi. Namun sebenarnya tidak semua polisi sama dengan Ferdy Sambo yang kini sudah dipecat sebagai polisi itu.

Menurut Gus Dur, masih ada dua polisi yang baik, yaitu polisi tidur dan Pak Hoegeng. Menurut saya sebenarya masih cukup banyak polisi baik seperti Pak Hoegeng.

Namun sayang setitik nila merusak susu sebelanga sehingga akibat seorang Sambo maka seluruh polisi dipukul rata hukumnya wajib harus sama dengan Sambo.

Kini di mana-mana termasuk di Kanjuruhan, polisi selalu menjadi sasaran cemooh dan caci maki publik.

Kembali ke Tragedi Kanjuruhan, memang polisi bersalah dalam menggunakan gas air mata sebab FIFA sudah tegas melarang penggunaan gas air mata terhadap penonton pertandingan sepak bola.

Akibat tidak berada di lokasi pada saat Tragedi Kanjuruhan terjadi, maka saya tidak berani memberi saran.

Saya memberanikan diri menyampaikan saran kepada Menko Polhukam dan Menko PMK untuk membentuk Tim Pencari Fakta dan Solusi terdiri dari para tokoh polisi, TNI, olahraga, budaya, arsitek stadion, psikolog perilaku massa, antropolog dll.

Tim bersama secara kelirumologis mencari fakta, bukan siapa, tetapi apa yang keliru pada Tragedi Kanjuruhan kemudian mencari solusi, mengoreksi kekeliruan masa lalu demi masa depan persepakbolaan Indonesia yang lebih berperikemanusiaan.

Di masa depan tidak boleh ada satu nyawa warga pun jatuh sebagai korban sekadar pertandingan sepak bola yang seharusnya bukan menyengsarakan, tetapi membahagiakan dan menggembirakan rakyat! Tragedi Kanjuruhan jangan sampai terulang kembali

Komentar