Selasa, 23 April 2024 | 16:18
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri: Para Pejabat Harus Melihat Sektor Pangan Untuk Kemajuan Bangsa

Prof. Rokhmin Dahuri: Para Pejabat Harus Melihat Sektor Pangan Untuk Kemajuan Bangsa
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Sekretaris Jenderal DPR RI sebagai Suporting System kepada Dewan mengadakan diskusi/FGD bertema “Efektivitas Pemberian PMN Bagi BUMN Guna Mendukung Ketahanan Pangan” di Jakarta, Senin, 8 Agustus 2022.

Dalam paparanmya Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, bahwa pangan adalah hak azasi manusia, karena menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, kualitas SDM, dan kemajuan suatu bangsa. “You are, what you eat,” katanya.

Suplai pangan global cenderung menurun akibat: (1) demand semakin meningkat karena pertambahan penduduk; (2) supply kian terbatas akibat alih fungsi lahan, Global Climate Change (GCC), dan kerusakan lingkungan lainnya; (3) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; dan (4) mafia pangan.

Kemudian akibat pandemi Covid-19, menurut FAO pada tahub dunia menghadapi krisis pangan. Seiring dengan pertambahan penduduk, permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Lalu, kekurangan/kelangkaan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik, kejatuhan Rezim Pemerintahan.

Prof. Rokhmin Dahuri pun menegaskan, para pejabat dan pemangku kepentingan di Indonesia juga harus memandang dan melihat sektor pangan untuk kemajuan suatu bangsa. Menurutnya, pangan  jangan dianggap hanya sektor ekonomi tetapi juga sektor kehidupan, bahwa semakin tinggi hubungan tingkat konsumsi protein hewani (daging & seafood) dan kemajuan ekonomi bangsa.

Oleh karenanya, kata dia, semua elemen bangsa harus all out. “Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa,” tegas Prof Rokhmin Dahuri mengutip pidato Presiden Soekarno pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952.

Lalu, ungkapnya, menurut penelitian FAO suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). “Seharusnya kita tidak tiap tahun impor gandum, beras, sagu dst,” tandasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama).

Menurutnya, Indonesia perlu melakukan revitalisasi dan pengembangan industri pengolahan pangan. Hal itu penting untuk mencapai kedaulatan pangan. “Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan semua komoditas pangan semaksimal mungkin, kecuali beberapa komoditas pangan tertentu,” ujarnya.

Supaya produk olahan pangan Indonesia kompetitif di tingkat global , kata dia, lakukan bench marking dengan negara-negara produsen pangan olahan terbaik di dunia (Jepang, Korsel, Thailand, Singapura, Australia, Canada, AS, Uni Eropa, dan Turki).

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan empat indikator kinerja kedaulatan pangan nasional. Yakni, produksi pangan, khususnya bahan pangan pokok lebih besar dari konsumsi nasional; setiap warga Negara di seluruh wilayah NKRI mampu mendapatkan bahan pangan pokok yang bergizi, sehat, dan mencukupi sepanjang tahun; serta petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha sejahtera. “Tidak kalah pentingnya, semua hal di atas itu harus berkelanjutan (sustainable),” tutur Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Yang sangat mencemaskan berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Tak heran, bila kapasitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

Permasalahan Dan Tantangan Sektor Pangan

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, menyebutkan dua tantangan besar pemerintah dan pengusaha dalam mengembangkan serta menguatkan industri maritim Indonesia. Tantangan itu adalah nelayan dan pembudidaya yang miskin. “Mayoritas buruh tani, peternak, dan nelayan masih miskin. Sementara pemilik lahan rata-rata sudah sejahtera,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi miskin pada nelayan dan pembudidaya. Di antaranya harga jual hasil tangkap yang terlalu murah dibanding dengan biaya produksi. Kuantitas produksi dari dua kalangan ini, terutama usaha kecil dan menengah, terlampau rendah dibandingkan pengusaha perikanan skala besar.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, supaya petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya bisa hidup lebih sejahtera, maka setiap unit bisnis pangan harus memenuhi skala ekonominya.  Yakni besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, minimal 300 dolar AS (Rp 4,5 juta)/orang/bulan (Bank Dunia, 2010).  Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 2 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 350 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).

“Selain itu,  penting menerapkan Integrated Supply Chain Management System, menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai pasok, dan ramah lingkungan,”  kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), (3) teknologi terbaik (tepat – guna) dan mutakhir, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity). Akibatnya: produktivitas rendah, kurang efisien, gagal panen, komoditas dan produk kurang berdaya saing, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable (berkelanjutan).

Hampir semua perusahaan pangan besar dan modern (korporasi) yang menerapkan keempat prinsip diatas, yang sangat jaya, berdaya saing, menguntungkan (kaya), dan world class, itu ‘egois’ (rendah Nasionalisme nya), tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan.

Berikutnya, porsi keuntungan (profit margin) terbesar dalam usaha (bisnis) di sektor pangan itu bukan dinikmati oleh petani dan nelayan (usaha on-farm), tetapi oleh pengusaha industri pengolahan, perdagangan dan pemasaran.

Hilirisasi (industri pengolahan) komoditas pangan masih rendah, sebagian besar bahan pangan dijual (ekspor) dalam bentuk raw materials (bahan mentah). Akibatnya: nilai tambah (added value) nya rendah, kurang menghasilkan multiplier effects, kurang tahan lama, dan sukar didistribusikan.

Luas lahan pertanian dan luas lahan usaha (garapan), khususnya di sektor tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan, semakin menyusut akibat alih fungsi untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan (land use) lainnya. Akibatnya: luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani dan nelayan (usaha on-farm) miskin.

Kebanyakan UMKM bidang pangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan (membeli) sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, BBM) yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi.

Produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, masih rendah, tidak mencukupi. Padahal, lebih dari 60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh bibit dan benih unggul serta pakan.  Di usaha aquaculture (perikanan budidaya) dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan.

Tidak ada jaminan (kepastian) pasar dengan harga yang sesuai nilai keekonomian (menguntungkan petani dan nelayan) bagi komoditas hasil panen petani dan nelayan UMKM.

Infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian (pangan), baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai.

Mafia pangan, yang inginnya hanya impor pangan untuk meraup keuntungan maksimal, tanpa peduli dengan kedaulatan pangan nasional dan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia.

Alokasi kredit perbankan untuk sektor pangan masih rendah, suku bunga tinggi, dan persyaratan terlalu ketat.

Pada umumnya kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) relatif masih rendah, dan mengalami ‘penuaan’ (aging-agricultural population).

Kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, RTRW, dan iklim investasi) kurang kondusif dan atraktif.

Suku Bunga Pinjaman Negara Asean, 2020

Menurut Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu, Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan.

Selain itu, tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah.

“Dari total alokasi kredit perbankan nasional, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen,” ujarnya.

Tidak kalah penting, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, suku bunga pinjaman tinggi yang diberikan kepada nelayan membuat mereka semakin sulit keluar dari angka kemiskinan. Fungsi alokasi kredit untuk sektor kelautan dan perikanan pun terbilang rendah dibanding dengan negara lain.

Di sisi lain, lanjutnya, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 10,5 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (7,6 persen), Filipina (7,1 persen), Brunei Darussalam (5,5 persen), Singapura (5,3 persen), Malaysia (3,9 persen) dan Thailand (3,3 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Rokhmin.

Sementara itu, dari total alokasi kredit perbankan nasional, Rokhmin menjelaskan, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp 2,6 triliun. "Dampaknya, nelayan Indonesia menjadi sulit berkompetisi dengan negara lain," tuturnya.

Untuk mengatasi ini, Prof. Rokhmin Dahuri menyarankan, agar Bank Indonesia maupun penyedia jasa perbankan bersama pemerintah mampu menurunkan suku bunga pinjaman bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil. “Sebab, tidak sedikit di antara mereka meminjam uang dari rentenir dengan bunga lima hingga 10 persen per bulan yang tergolong tinggi,” kata Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Strategi Pembangunan Kedaulatan Pangan Nasional

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan definisi pangan (UU No.18/2012 tengan Pangan), maka sektor pangan pada ranah bisnis BUMN pangan ada tujuh, yakni: 1. Tanaman Pangan (Beras, Jagung, Kedelai, Umbi-Umbian, dll), 2. Hortikultur (Buah-buahan, Sayuran, Rempah-rempah, Tanaman Obat, Tanaman Hias), 3. Perkebunan (Sawit (CPO), Kopi, The, Tebu/Gula, Kakao, Vanila, dll), 4. Peternakan (Sapi, Unggas, Kerbau, Domba, dll), 5. Komoditi dari Hutan (Madu, Kopi , dll), 6. Perikanan Budidaya (Laut, Payau, Tawar/Darat, dll), dan 7. Perikanan Tangkap (Laut, PUD (Danau, Bendungan, Sungai), dll).

Dijelaskan Prof. Rokhmin tentang peningkatan produktivitas dan produksi onfarm komoditas pangan berkelanjutan, diantaranya:

1. Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang Sektor Pangan
(luas lahan pertanian, produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, ekspor, profil produsen pangan, dll).

2. Mempertahankan lahan pertanian dan perikanan yang ada, tidak dialihfungsikan untuk kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan penggunaan lahan lainnya. Melalui implementasi RTRW secara konsisten sesuai dengan UU No. 41/2009.

3. Dengan menggunakan tekonologi mutakhir (SRI, digital/Industry 4.0 farming and aquaculture) dan manajamen agribisnis yang tepat, kita tingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability seluruh unit usaha produksi pangan yang ada saat ini. 

4. Pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) untuk usaha produksi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, dan perikanan di luar Jawa dan lahan-lahan terlantar di P. Jawa, dengan spesies (komoditas) yang cocok dengan kondisi agroklimat setempat.  Pendeknya, kedepan tidak ada sejengkal lahan pun dibiarkan terlantar.  Semua lahan sesuai dengan RTRW harus diusahakan untuk memproduksi komoditas pangan secara produktif, efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

5. Diversifikasi budidaya dengan spesies (varietas) pangan yang baru melalui domestikasi dan pengembangan bibit dan benih unggul dengan teknologi pemuliaan (genetic engineering) dan nanoteknologi. Hal ini sangat mungkin, karena Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas kelautan tertinggi di dunia, dan biodiversitas terestrial tertinggi kedua di dunia.  Prioritaskan budidaya tanaman pangan lokal sumber karbohidrat non-beras: sorgum, sagu, porang, tales, ganyong, suweg,dll.

6. Revitalisasi seluruh infrastruktur pertanian (bendungan dan saluran irigasi, dan pelabuhan perikanan)  dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih, telkom dan internet, dan pelabuhan umum) yang ada, dan kita bangun yang baru sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah.

7. Konservasi ekosistem hutan dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) terpadu untuk menjaga stabiliast dan kontinuitas aliran (debit) sungai sebagai sumber air irigasi pertanian, mencegah banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

8. Pengendalian pencemaran yang disebabkan oleh sektor pertanian itu sendiri, dan sektor-sektor pembangunan lainnya (industri manufaktur, pertambangan dan energi, pemukiman, dll).

9. Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim, dan bencana alam lain.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, terkait peningkatan volume produksi sarana produksi pertanian dan perikanan yang top quality, harga bersaing, dan mencukupi kebutuhan usaha onfarm secara berkelanjutan, yaitu:

1. Tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, umbi-umbian, dll): bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll.

2. Hortikultura: bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll.

3. Perkebunan: bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll.

4. Peternakan: bibit dan benih unggul, pakan berkualitas unggul dan harga bersaing, growth stimulant, obat-obatan, alsintan, dll.

5. Perikanan budidaya: bibit dan benih unggul, pakan berkualitas unggul dan harga bersaing, growth stimulant, obat-obatan, alsintan, dll.

6. Perikanan Tangkap: kapal ikan, alat penangkapan (fishing gears), mesin kapal dan suku cadangnya, energi (diesel, bensin, solar panel, dan lainnya), alat bantu penangkapan ikan (GPS, fish finder), dan perbekalan melaut.

Mengingat konsumsi beras per kapita Indonesia tertinggi di dunia (sekitar 110 kg), rata-rata konsumsi beras per kapita dunia hanya 50 kg (FAO, 2020), konsumsi beras yang sehat < 60 kg per kapita (Puslitbang Gizi, 1999). Maka, harus ada kebijakan dan program prioritas nasional untuk mengurangi konsumsi beras hingga 60 kg per kapita, dan secara simultan diversifikasi konsumsi pangan non-beras: sagu, sorgum, umbi-umbian, tales, dll.

Karena, Indonesia merupakan importir gandum terbesar keduaa di dunia (rata-rata 12,5 juta ton/tahun) yang menghamburkan devisa cukup besar (US$ 4 milyar/tahun), padahal sagu dan komoditas pangan lokal lainnya sudah bisa dibuat mi.  Kurangi dan kemudian stop impor gandum, dan secara simultan perkuat dan kembangkan industri pengolahan bahan baku non-gandum (sagu, ubi kayu, poran, dll) menjadi mie.

“Terlampau tingginya konsumsi beras itu ditenggarai menjadi ‘biang kerok’ kenapa prevalensi diabetes di Indonesia tertinggi di dunia (WHO, 2010).  Bayangkan, andai kita mampu menekan konsumsi beras perkapita menjadi 60 kg per tahun, maka dengan 267 juta jiwa penduduk pada 2019, kebutuhan beras nasional hanya 16 juta ton. Dengan total produksi beras 49,8 juta ton pada 2019 (Kementan, 2019), mestinya Indonesia sudah surplus beras 33,8 juta ton pada 2019.  Pada 2045 dengan jumlah penduduk sekitar 305 juta Jiwa (BPS, 2018) dan konsumsi beras perkapita 60 kg, maka total kebutuhan beras nasional pada saat itu hanya 18,3 juta ton.  Artinya, di saat ulang tahun ke-100 nanti, Indonesia bisa surplus beras lebih 31,5 juta ton,” tandasnya.

Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi sekitar 800.000 ekor/tahun dan puluhan ribu ton daging sapi/tahun perkuat dan kembangkan usaha peternakan sapi, dan tingkatkan konsumsi ikan per kapita nasional, karena Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia (115 juta ton/tahun) dan baru dimanfaatkan sekitar 20% nya. 

Sejak 2009 – sekarang Indonesia produsen perikanan terbesar di dunia (25 juta ton/tahun), setelah China (100 juta ton/tahun).

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, Indonesia merupakan bangsa dengan food wastage terbesar kedua di dunia, setelah Arab Saudi (FAO, 2022). Harus ada kebijakan dan program prioritas untuk kurangi food wastage (food loss dan food waste) secara signifikan.

Setidaknya, kata Prof. Rokhmin Dahuri. ada tujuh prioritas PMN (Penyertaan Modal Negara) untuk BUMN Pangan. Pertama, investasi dan bisnis bahan pangan pokok secara terpadu (hulu-hilir): beras, kedelai, jagung, gula, bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan daging sapi.

Kedua,  investasi dan bisnis bahan pangan pengganti beras secara terpadu: sagu, sorgum, porang, dan lainnya’ pengembangan industri hilir dan marketing: CPO, kakao, kopi, teh, buah-buahan, ikan dan seafood, dan lainnya. 

Ketiga, pengembangan usaha industri hortikultur secara terpadu. Keempat,  pengembangan usaha perikanan budidaya terpadu: udang vaname, baramundi, lobster, rumput laut, kerang mutiara, kepiting, ikan nila, dan ikan patin.

Kelima, pengembangan usaha perikanan tangkap terpadu di Laut Arafura, Natuna, dan ZEE. Keenam, pengembangan usaha garam konsumsi dan garam industri terpadu. “Dan ketujuh, pengembangan usaha pangan yang ready-to-cook, ready-to-eat, dan ready-to-prepare,” kata Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Komentar