Kemanakah Semua Kenangan Indah Ini?

Oleh: Mang Ucup *)
Good Morning Indonesia, Wilujeng Enjing Ka Sadayana. Dengan ini Mang Ucup ingin mengajak rekan-rekan untuk mimpi mundur kesalah satu desa tempo doeloe di Jawa Barat.
Sejuknya pagi semakin menyentuh berkat halimun penuh kabut yang masih menggantung menyisakan butiran-butiran embun di ujung daun. Ayam jantan mulai ramai saling bersahutan ketika sang candra mulai beranjak naik.
Senandung katak sawah riuh rendah bergantian dengan nyanyi jangkrik dan desir angin. Semilir hembusannya, memainkan orkestra ilalang, rumpun bambu dan padi di sawah.
Saat itu pula mulai terdengar sayup-sayup puluhan langkah kaki berterompah kayu (bakiak), walau banyak juga yang tak beralas kaki, menyusuri pematang, menuju pancuran.
Di sana ada mata air jernih bersih yang tak pernah kering. Menjadi kamar mandi umum di tengah persawahan. Para penduduk jalan sambil membawa ember terbuat dari seng dan gayung dari batok kelapa.
Mereka membawa cucian atau mengambil air bersih untuk dibawa pulang. Terlihat beberapa gadis sedang sibuk mencuci beras dan sayuran.
Airnya gemericik mengucur siang malam. Mengucur lewat bilah bambu yang berjajar di sana. Kebanyakan umah-rumah pada saat itu masih berdinding bilik anyaman bambu bergenteng tanah liat.
Campuran air dan kapur mereka gunakan untuk mempercantik rumahnya. Sebagai kuas mereka gunakan tangkai merang yang diikat menjadi satu.
Sang istri menyeduh kopi panas bagi para suami yang akan berangkat ke sawah. Sedangkan yang lainnya merebus ubi, singkong dan pisang sebagai sarapan.
Perempuan lainnya menyalakan kayu bakar menjerang air dan menanak nasi. Tercium bau asap kayu bakar dan nasi. Bahkan harum terasi bakar dan ikan asin.
Terdengar pula para wanita menumbuk padi dengan alu pada lumpang kayu yang bentuknya memanjang. Membentuk suara irama yang beraturan.
Sehingga menyerupai nada musik. Satu cara untuk menyulap suasana kerja menjadi tak membosankan. Mereka tak perlu berpikir mau makan dimana. Tak perlu khawatir akan formalin, boraks atau petisida.
Mereka sudah cukup dan puas dengan makan kesegaran yang disaijikan bumi. Di malam hari mereka berkumpul sekeluarga hanya disinari oleh lampu minyak tanpa TV ataupun Laptop maupun HP.
Membuat mereka lebih menghargai dan mensyukuri hidup kesederhanaan yang diberikan kepada mereka.
Bergotong royong, kerja bakti, saling membantu sesama adalah hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
Hampir tak ada jarak yang memisahkan antara satu wara dengan yang lainnya. Kedekatan inilah yang membuat warga pada saat itu; menjadi layaknya seperti keluarga sendiri.
Keluargamu bukan hanya sekedar adik, kakak atau ayah dan ibu saja, ada tetangga dekat maupun jauh yang selalu siap membantu mengasuhmu.
Bahkan masih teringat kenangan masa kecil saya, jika gerhana bulan datang, terdengar suara kentongan kaleng dan panci.
Sayang semua kenangan ini telah terkikis oleh jaman. Semua romantisme ini telah berlalu; menjadi kenangan purba. Meskipun jauh tak tergapai namun masih sering menimbulkan kerinduan.
Kawasan yang tadinya hijau, bersih, indah dan asri tadi , sekarang berubah menjadi perkampungan super padat dan kumuh.
Sawah kini terhampar luas tanpa ada petani. Hutan kini menjadi tempat gersang tak berhati. Lautan kini menjadi penampung sampah seluruh industri. Kemanakah semua kenangan indah ini?
*) Menetap Di Amsterdam, Belanda
Komentar