Kamis, 25 April 2024 | 16:38
NEWS

Menuju Indonesia Emas 2045, Prof Rokhmin Dahuri: Politeknik AUP Harus Jadi A World-Class University

Menuju Indonesia Emas 2045, Prof Rokhmin Dahuri: Politeknik AUP Harus Jadi A World-Class University
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, M.S (Dok Istimewa)

ASKARA – Menteri Kelautan dan Perikanan RI tahun 2001-2004, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, M.S mengatakan, Indonesia termasuk negara terburuk ketiga di dunia dalam hal ketimpangan kaya dan miskin.

Hal itu dikatakannya saat memberikan kuliah umum ‘Peningkatan Peran Poltek Aup Dalam Pembangunan Kelautan dan Perikanan yang Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045’ yang digelar Politeknik Ahli Usaha Perikanan (AUP) secara luring di Auditerium Madidihang Polteknik AUP, Selasa (22/2).

“Indonesia menghadapi masalah yang sangat serius yaitu gap antara kaya dan miskin. Betapa tidak, kalau satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen kekayaan negara,” ujarnya. 

Akumulasi dari semua itu, kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu, indeks pembangunan manusia Indonesia baru 0,71. Padahal syarat minimal untuk menjadi negara maju indeks pembangunan manusia 0,8.

“Namun kita tetap optimis karena Indonesia sangat dicintai Allah SWT, boleh jadi Indonesia adalah satu-satunya negara yang punya modal dasar pembangunan yang lengkap dan besar,” katanya.

Faktanya, ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu, jumlah penduduk Indonesia terbesar ke-4 di dunia dalam perspektif ekonomi itu yang berarti potensi pasar domestik terbesar ke-4 di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat.

Kendati demikian, ujar Prof Rokhmin, Indonesia bukan sebagai produsen atau pengekspor dalam dunia global, tetapi menjadi bangsa pengimpor dan bangsa konsumer.

“Jadi, seharusnya kalau kita cerdas dan pekerja keras tidak ada orang yang menganggur. Apalagi dalam sisi suplai Indonesia terkaya dalam sumber daya alam, dan ternyata Indonesia secara geo ekonomi strategis di antara bangsa-bangsa di dunia lain karena  45 persen dari seluruh barang yang diperdagangkan di seluruh dunia dengan nilai 15 triliun dollar AS pertahun dikapalkan melalui kita,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Dikatakan, kemajuan suatu bangsa bukan income perkapita tapi kapasitas iptek bangsa itu. Malangnya, sudah 75 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan kapasitas iptek kelas-3.  

“Artinya secara kuantitatif lebih 70 persen teknologi bangsa Indonesia itu impor. Alias, belum menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat (cita-Cita kemerdekaan RI),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Selain itu, kata Prof Rokhmin, kebijakan pembangunan ekonomi yang benar dan tepat, infrastruktur yang mumpuni, dan Iklim Investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) yang kondusif; SDM unggul dan kapasitas inovasi merupakan kunci utama untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Secara ekonomi, kata Ketua Pembina Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo) itu, Indonesia Emas 2045 akan terwujud bila kita mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7persen per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (menyejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

Untuk itu, Prof Rokhmin mengingatkan Politeknik AUP  harus terus meningkatkan kapasitasnya (jadi a World-Class University) untuk menghasilkan 3 output utamanya (Tri Darma: lulusan SDM unggul, invensi dan inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat yang menyejahterakan rakyat).

“Perguruan tinggi (PT) memegang peran yang paling sentral dan strategis di dalam membangun SDM unggul dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia. Serta turut membangun dunia yang lebih sejahtera, adil, damai dan berkelanjutan (sustainable),” ujar Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany.

Pada kesempatan itu, Prof Rokhmin menuturkan, masalah bangsa berikutnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah yang ternyata mengerikan karena Pulau Jawa yang luasnya 5 persen dari luas Indonesia menyumbangkan ekonomi hampir 60 persen dan penduduk Indonesia sekitar 58 persen tinggalnya di Pulau Jawa.

Secara ekologi ekonomi, terang Prof Rokhmin, tidak mungkin Indonesia maju karena Jawa ekologinya sudah sangat terbebani. Hujan sedikit banjir, kemarau sedikit kekeringan. Karena potensi pembangunan di luar Jawa praktis tidak optimal.

“Dan itu disparitas pembangunan antara wilayah yang begitu senjang maka biaya logistik Indonesia termahal di dunia, 27 persen terhadap bruto kita, sedangkan semua di bawah 15 persen. Jadi lebih mahal berbisnis dan berekonomi di Indonesia ketimbang negara tetangga,” terang Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu.

Prof Rokhmin menekankan pertumbuhan kelautan dan perikanan jangan dinikmati hanya segelintir orang yang terjadi saat ini.  Maka, lanjutnya, gambaran sosok yang ideal dari kelautan dan perikanan mempunyai ciri pertumbuhan ekonomi Produktif, Efisien, Berdaya Saing, Inklusif, dan Berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui implementasi Ekonomi Hijau, Ekonomi Digital, dan Ekonomi Spiritual (Pancasila).

Selain itu, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Namun, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa).

“Saya hakul yakin kontribusi sektor kita dalam menggapai Indonesia Emas bisa kita capai, sebagaimana visi Pak Jokowi yang pendapatan perkapitanya 23 Ribu US Dollar, kemudian ekonominya saat itu terbesar ke-4 di dunia bisa kita capai, dan sektor kita akan menjadi kontributor utama,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020-2024 itu.

Komentar