Jumat, 19 April 2024 | 19:59
NEWS

Di UGM, Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan Pembangunan Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia Emas 2045

Di UGM, Prof. Rokhmin Dahuri Paparkan Pembangunan Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia Emas 2045
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyatakan Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas)

Hal tersebut disampaikan Prof. Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber pada Studium General “Pembangunan Ekonomi Maritim Untuk Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”, Departemen Perikanan Universitas Gadjah Mada, Gd. Sekolah Pasca Sarjana UGM, Rabu, 22 Februari 2023.

Namun, tegasnya, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa).

“Maka, sudah 76 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘lower-middle income country’, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Cita-Cita Kemerdekaan – RI),” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam makalah bertema “Pembangunan Ekonomi Kelautan Untuk Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045”.

Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan, Indonesia memiliki empat modal dasar pembangunan Indonesia. Yakni: Dengan jumlah penduduk 278 juta orang dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah dan dapat bonus demografdi dari 2020 – 2040,  merupakan potensi daya saing dan pasar domestik yang luar biasa besar.

Lalu,melalui kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Dijelaskan bahwa posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia) (UNCTAD, 2012). Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari.

Kemudian, rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri). “Mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” terangnya.

Kemudian, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2019 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). “Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia,” terang Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Oxfam,

Bahkan, lanjutnya, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Dalam hal, terangnya, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfam International, 2021).

Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Institute for Global Justice menyebutkan, sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ungkapnya.

Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah. Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021).

Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia. Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur).

Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%. “Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” sebutnya.

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur). “Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita,” tandasnya.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, sejumlah hal diantaranya menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%), dimana dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

“Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Masalah lainnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945. “Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN,” katanya.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyebutkan ada beberapa  faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ada fakrtor internal, ada pula faktor eksternal,” katanya.

Faktor internal tersebut, jelasnya, yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) dan kapasitas Iptek masih rendah; serta khlak belum baik (susah kerja sama, tidak amanah, dan hedonis). “Selain itu, negara kita defisit pemimpin yang capable, negarawan, dengan Imtaq kokoh,” kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.

Adapun faktor eksternal, kata dia, antara lain  keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang. “Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek  yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global,  pandemi Covid-19, dan pertarungan ideologi,” paparnya. Prof Rokhmin menyayangkan,  hampir semua indikator yang terkait dengan kapasitas Iptek, riset, inovasi, dan kualitas SDM bangsa Indonesia masih rendah (tertinggal).

“Implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen. Selebihnya,  91,9 persen berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 peren, dan Thailand 24 persen,” urainya mengutip data UNCTAD dan UNDP, 2021.

Selain itu, sambungnya, nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (jago kandang). "Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat dan Pandemi Pertarungan ideologi," sebutnya.

Terlebih, kata Prof. Rokhmin Dahuri, di dunia yang hyper interconnected dan  Globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition inovasi adalah kunci untuk memenangi persaingan. “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Terlebih di dunia yang hyper interconnected dan  Globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition  inovasi adalah kunci untuk memenangi persaingan. “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” katanya.

Bahkan, Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, produktivitas bangsa Indonesia masih  rendah.  Ini tercermin pada TFP (Total Factor Productivity), yang menggambarkan tingkat produktivitas perekonomian suatu bangsa.

“TFP adalah  total output/total input faktor produksi. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2019, TFP di ASEAN, Singapura di peringkat-1 (1,51) diikuti Malaysia (1,23), Thailand (1,09), Kamboja (0,78), Laos (0,76), dan Indonesia (0,7),” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Sebutnya, jumlah wirausahawan Indonesia terendah di Asia Tenggara. Singapura angkanya 8 persen, artinya jumlah wirausahawan di negara tersebut mencapai 8 persen dari jumlah penduduk. Disusul Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen, dan Indoesia 3,1 persen. Sedangkan Standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk. “Global Entrepreneurship Index,  hingga 2019, Indonesia berada di urutan ke-75  dari 137 negara  atau peringkat ke-6  di ASEAN,” ungkapnya.

Mengutip data UNCTAD dan UNDP (2021), Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan, implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen; selebihnya (91,9 persen) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 persen, dan Thailand 24 persen.

Jika ingin menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat,  Indonesia harus mampu memproduksi barang dan jasa (goods and services) berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, rekreasi, dan energi untuk memenuhi kebutuhan nasional  maupun ekspor secara berkelanjutan. Secara potensial, mestinya bangsa Indonesia mampu untuk melakukan hal tersebut,” tegasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menyatakan Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Potensi tersebut tidak lain adalah sektor Kelautan dan Perikanan (Blue Economy). “Potensi Blue Economy yang sangat besar dalam mengatasi permasalahan bangsa dan mewujudkan Indonesia Emas 2045,” terang Prof. Rokhmin Dahuri yang juga penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan bahawa Indonesia memiliki potensi sektor kemaritiman yang sangat besar dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa sekaligus menjadi modal penting mewujudkan Indonesia Emas 2045. Untuk itu ia menegaskan bahwa pembangunan sektor kemaritiman akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif dan berkelanjutan. “Ada setidaknya sembilan alasan (Reasonings) betapa besarnya potensi yang dimiliki bangsa ini di sektor ekonomi maritim,” katanya.

Pertama, jelasnya, Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, 77% wilayahnya  berupa laut.  Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang luar biasa besar, sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun atau 1,5 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja).

Kedua, Sebelas sektor Ekonomi Kelautan yang potensi nilai ekonominya US$ 1,4 trilyun/tahun itu dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7%/tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja); mengurangi ketimpangan ekonomi; mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah; dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.

Ketiga, Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, dimana sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2016). 

Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika.  Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal/tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).  Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar/hari atau Rp 80,7 trilyun/tahun. “Malangnya, sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global,” tandasnya.

Keempat, ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara)  Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi, dan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12 juta ton/tahun (13,3% total MSY ikan laut dunia) (Dahuri, 2004; KKP, 2021; dan FAO, 2022).

Kelima,  Sebagai bagian utama dari ‘the World Ocean Conveyor Belt’ (Aliran Arus Laut Dunia) dan terletak di Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El-Nino dan La-Nina (NOAA, 1998). 

Keenam, Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia sebagai pusatnya energi kelautan dunia yang terbarukan (renewable), seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang potensinya mencapai 10.000 megawatts, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen.

Ketujuh, SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan.  Padahal, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda  Laut sebagai ‘development space’: kota, pemukiman, dan kegiatan ekonomi.

Kedelapan, Suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara-mengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat, bila ia mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatif nya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan. 

Kesembilan, sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Emporium Inggris, Amerika Serikat, dan akhir-akhir ini China adalah karena ketiga negara adidaya tersebut menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam.  Maka, tepat yang dinubuatkan ahli strategi pertahanan dunia, AT. Mahan (1890), ‘who rules the waves, rules the world’.  Siapa yang menguasai lautan, dia akan menguasai dunia.

“Jika Potensi ini didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi IPTEKS dan manajemen profesional, maka sektor-sektor ekonomi kelautan diyakini akan mampu berkontribusi dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa dan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” tegasnya.

Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman tersebut menjelaskan, landscape geopolitik saat ini Indonesia berada diantara persaingan internasional antara kekuatan besar (great power). Karena, menurutnya, lokasi Indonesia sangat strategis di wilayah Indo-Pasifik: 1. Pintu masuk alur pelayaran, 2. Askes ke pasar, 3. Akses ke sumber daya di kawasan Indo-Pasifik.

Blue Economy

Pada dasarnya, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru telah muncul sejak pertengahan tahun 1980-an sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme): Sebelum Pandemi Covid-19; 2 miliar orang miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.

Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2012). “Pada dasarnya Blue Economy merupakan penerapan Green Economy di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012),” terangnya.

Sedangkan Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut (World Bank, 2016).

Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut (World Bank, 2016).

Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020).

Blue Economy juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010).

Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020). Blue Economy juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010).

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau, (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan (3) pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. (PEMSEA, 2011; UNEP, 2012).

Sedangkan perbedaan antara Red/Brown Economy, Green Economy, dan Blue Economy adalah Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Ekonomi Biru efisiensi alam, Bebas Sampah & Sistem siklus produksi, Inklusivitas Sosial, Inovasi dan adaptasi.Potensi Dan Tingkat Pemanfaatan Ekonomi Kelautan Indonesia

“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini,” jelas Ketum Dulur Cirebonan (CIAYUMAJAKUNING) tersebut.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau atau 30 persen total angkatan kerja Indonesia. Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya lebih 30%.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebut, ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA kelautan non-konvensional. "Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu sekitar 1,4 triliun dolar AS/tahun, hampir 1,4 PDB Indonesia saat ini atau 8 kali APBN 2020," ujarnya.

Pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain yang potensi lautnya kurang (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi >30%.

Disisi lain, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, produksi Perikanan Budidaya (Aquaculture) Indonesia (sekitar 100 juta ton/tahun) terbesar di dunia, dan pada 2021 baru diproduksi (dimanfaatkan) sekitar 19 persen dimana sejak 2009 hingga 2021 Indonesia menjadi produsen Perikanan Tangkap laut terbesar ke-2 di dunia setelah China, dan produsen Perikanan Budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China. “Indonesia mesti menjadi produsen Perikanan Tangkap laut dan Perikanan Budidaya terbesar di dunia, menggeser China pada 2028 atau paling lambat pada 2033,’’ tegasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sektor kelautan dan perikanan sangat berpotensi untuk meningkatkan kontribusinya secara signifikan bagi terwujudnya Indonesia emas 2045. Sektor Perikanan, ESDM, dan Wisata Bahari berkontribusi hampir 80% dari total PDB ekonomi biru pada tahun 2021.

”Indonesia memiliki Potensi Produksi Lestari (MSY) SDI (Sumber Daya Ikan) laut terbesar di dunia (12 juta ton/tahun atau 13,3% total MSY laut Dunia, 90 juta ton/tahun), dan MSY SDI Perairan Umum Darat (Sungai, Danau, dan rawa) terbesar ke-5 di dunia. Hingga, 2022 baru dimanfaatkan (diproduksi) sekitar 65%,’’ sebutnya.

Potensi Lestari Sumber Daya Ikan Perairan Laut Indonesia menurut Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 11,68 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 72% atau 8,41 juta ton. Pada 2011-2021, produksi perikanan tangkap laut terus meningkat (rata-rata 2,3% per tahun)

Mulai 2015 potensi SDI laut meningkat, namun tingkat pemanfaatan menurun. Produksi perikanan tangkap laut terbesar berasal dari wilayah Sumatera, disusul Jawa, dan Sulawesi. Perairan darat meliputi: Sungai, Danau, Waduk, Rawa, Kolong (bekas galian), Situ, dan Embung.

Pada 2013-2021, produksi perikanan tangkap perairan darat menurun (rata-rata 0,3% per tahun). Produksi Perikanan Tangkap Darat berdasarkan Komoditas Utama (Spesies), 2017-2021 (ton).

Sementara itu, peluang pengembangan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Indonesia masih sangat leluasa. Hingga 2021, produksi perikanan budidaya mencapai 14,65 juta ton dengan dominasi masih dari komoditas Rumput Laut (62%). Jika dibanding tahun 2020, produksi perikanan budidaya hingga 2021 turun 0,7%, dimana kelompok ikan naik 3,1%, sementara rumput laut turun 2,8%.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, produksi Perikanan Budidaya (Aquaculture) Indonesia (sekitar 100 juta ton/tahun) terbesar di dunia, dan pada 2021 baru diproduksi (dimanfaatkan) sekitar 19 persen dimana sejak 2009 hingga 2021 Indonesia menjadi produsen Perikanan Tangkap laut terbesar ke-2 di dunia setelah China, dan produsen Perikanan Budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China.

Periode 2017-2021, capaian volume produk olahan hasil perikanan terus meningkat, rata-rata 3,55% per tahun. Periode 2015-2019, angka konsumsi ikan nasional terus meningkat, rata-rata 7,30% per tahun. “Indonesia mesti menjadi produsen Perikanan Tangkap laut dan Perikanan Budidaya terbesar di dunia, menggeser China pada 2028 atau paling lambat pada 2033,’’ tegasnya.

Definisi Bioteknologi Kelautan

Mengutip Lundin and Zilinskas, Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan, “Bioteknologi kelautan adalah teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota laut untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan.”

Adapun domain Industri Bioteknologi Kelautan menurut Prof. Rokhmin Dahuri, antara lain: 1. Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya .

2. Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. 3. Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. 4. Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi

Banyak produk industri bioteknologi kelautan yang bahan baku (raw material) nya dari Indonesia  diekspor ke negara lain  negara pengimpor memprosesnya menjadi beragam produk akhir (finished products) seperti farmasi, kosmetik, dan healthy food and bevareges  lalu diekspor ke Indonesia.  Contoh: gamat, squalence, minyak ikan, dan Omega-3.

Jika Potensi Blue Economy didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi IPTEKS dan manajemen profesional, maka Sektor-Sektor Ekonomi Kelautan diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045”.

Kecuali sektor ESDM, usaha di sektor-sektor kelautan lainnya (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan pariwisata bahari) dilakukan secara tradisional (low technology & management) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro  Sehingga, tingkat pemanfaatan SD, produktivitas, dan efisiensi usaha (bisnis) pada umumnya rendah  Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Investasi dan bisnis sektor kelautan yang besar (korporasi), modern, dan sangat menguntungkan (ESDM, Kawasan Industri, Properti, dll) pada umumnya kurang nasionalismenya  Sebagian besar profit nya dibawa ke Jakarta atau negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak.

“Pada umumnya, tingkat pemanfaatan sektor-sektor ekonomi kelautan lainnya belum optimal (underutilized). Kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah (15%),” terangnya.

Selanjutnya, posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga (Rantai Nilai) Perikanan sangat marginal. Nelayan dan Pembudidaya terjebak dalam Kemiskinan Struktural. Rendahnya akses nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholders kelautan UMKM lainnya kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya, terjadi Kemiskinan Struktural.

Kontirbusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials).  Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).

Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain. Kecelakaan dan keamanan di laut.

Dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain. Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kapasitas keberlanjutannya yang tercermin antara lain dari: (1) tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; (2) penangkapan ikan berlebihan; (3) terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya yang terdegradasi; (4) erosi dan sedimentasi; (5) hilangnya keanekaragaman hayati; (6) konflik pemanfaatan ruang; dan (7) kemiskinan.

Hal ini terutama berlaku di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina.

Isu, masalah, dan ancaman utama terhadap keberlanjutan pantai dan laut, antara lain: 1. Hilangnya Habitat dan Keanekaragaman Hayati, 2. Eksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, terutama penangkapan ikan yang berlebihan, 3. Polusi termasuk plastik, 4. Erosi dan Sedimentasi, 5. Perubahan Iklim Global dan dampak negatif yang menyertainya seperti pemanasan suhu laut, pengasaman laut, cuaca ekstrim, dan kenaikan permukaan laut, 6. Konflik pemanfaatan ruang, 7. Kemiskinan.

Lebih dari 220 juta galon minyak tumpah di kawasan Asia-Pasifik sejak 1965; sekitar 96% dari ini (212 juta galon) terjadi di Asia Timur. Tumpahan Asia Timur berasal dari sejumlah sumber, meskipun 80% melibatkan kapal. Air berwarna kecoklatan dari muara sungai mengalirkan limbah ke kawasan pesisir utara Bekasi dan Jakarta, Senin (5/3). Ada 13 sungai yang bermuara di perairan utara Jakarta yang diperkirakan mengalirkan 161 ton sampah setiap hari di area seluas 514 kilometer persegi.

Pada tahun 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meluncurkan kebijakan pembangunan terobosan “Indonesia sebagai GMF (Global Maritime Fulcrum)” yang berfokus pada pengembangan dan pengamanan wilayah dan sumber daya maritim negara untuk kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa.

Sangat diyakini bahwa GMF akan memungkinkan bangsa Indonesia untuk memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya pesisir dan laut (maritim) untuk meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mencapai Indonesia sebagai negara yang maju, sejahtera (kaya), dan berdaulat paling lambat pada tahun 2045.

Pada tataran filosofis: reorientasi platform (paradigma) pembangunan Indonesia, dari pembangunan berbasis darat menjadi pembangunan berbasis maritim. Pada tataran strategis dan praktis: dalam jangka pendek – menengah – (2015 – 2020) setiap sektor kelautan harus mampu menyelesaikan permasalahan dan tantangan sektoral internalnya.

Dalam jangka panjang (tahun 2030 atau 2045) Indonesia akan menjadi negara maritim yang maju, makmur, dan berdaulat yang memiliki daya pengaruh luhur untuk menjadikan dunia lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya kelautan (pesisir dan lautan) dan jasa lingkungan secara berkelanjutan. .

“Indonesia sebagai poros maritim dunia juga berarti bahwa Indonesia harus menjadi penggerak dan titik fokus bagi pembangunan maritim yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan antara Samudra Pasifik dan Hindia,” ujarnya.

Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan. Tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah.

Dari total alokasi kredit perbankan nasional, jelasnya,pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Rokhmin.

Key Global Trends

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.

Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021).

Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan  kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.

Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.

Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi.

Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016). Namun, hingga saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja (e-commerce dan e-government).

“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” ujarnya.

Ketiga, Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).

Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).

Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.

Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).

Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).

Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015).

“Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Selanjutnya, populasi dunia diperkirakan akan tumbuh hingga hampir 10 miliar pada tahun 2050, mendorong permintaan pertanian – dalam skenario pertumbuhan ekonomi sedang – sekitar 50% dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan pendapatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah akan mempercepat transisi pola makan menuju konsumsi daging, buah-buahan dan sayuran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan sereal, membutuhkan pergeseran output yang sepadan dan menambah tekanan pada sumber daya alam (FAO, 2017).

Pertambahan penduduk menyebabkan permintaan akan produk pangan terus meningkat dan berdampak pada ketersediaan lahan. Hampir 800 juta orang mengalami kelaparan kronis dan 2 miliar menderita defisiensi mikronutrien (FAO, 2017).Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045.

Kebijakan dan Program Transformasi Struktural Ekonomi

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan transformasi struktural ekonomi Indonesia. Yakni, dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) secara proporsional yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable). Dari dominasi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor.

Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, bernilai tambah (hilirisasi), berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.

Selanjutnya, pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, Energi Baru Terbarukan (matahari, angin, panas bumi, biofuel, kelautan, dan hidrogen), Semikonduktor, Chips, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Ekonomi Kelautan, Ekonomi Kreatif, dan lainnya. “Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0),” paparnya.

Kemudian, katanya, pengembangan industri manufakturing baru: maritim (kelautan), EBT, semikonduktor, baterai nikel, bioteknologi, nanoteknologi, Industry  4.0, dan lainnya. “Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 4) mesti berbasis pada Ekonomi Hijau (Green Economy) dan digital (Industry 4.0),” papar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut menerangkan, ciri ekonomi modern yakni: (1) ukuran unit usaha memenuhi economy of scale, (2) menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), (3) menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai Supply Chain System, dan (4) mengikuti prinsip-prinsip Sustainable Development: RTRW, Optimal and Sustainable Utilization of Natural Resources, Zero Waste and Emission, Biodiversity Conservation,  Design & Construction with Nature, dan Mitigasi & Adaptasi Perubahan Iklim serta Bencana Alam lainnya.

Dari perspektif pembangunan bangsa, kebijakan untuk menjadikan Indonesia sebagai PMD (Poros Maritim Dunia) merupakan bagian integral dari upaya nasional menuju Indonesia Emas 2045.

Kebijakan dan Program Pembangunan

Terkait kebijakan dan program pembangunan, Prof Rokhmin Dahuri menuturkan: 1. Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat.

2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritime. 3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) Ekonomi Kelautan yang ada sekarang (existing);

4. Pengembangan sektor-sektor Ekonomi Kelautan baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, offshore aquaculture, deep sea fishing, deep sea mining, deep sea water industry, dan floating city.

5. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu berskala besar (big-push development model)

7.  Semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) Integrated Coastal Management (ICM).

8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya.

9. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan. 10. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).

11. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya. 12. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan. 13. Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS.

14. Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif. 15. Peningkatan budaya maritim bangsa. 16. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

Pro. Rokhmin Dahuri menyampaikan konsep pembangunan Sektor-Sektor Ekonomi Kelautan Quick Wins (2023-2028) terdiri: Perikanan Budidaya (Aquaculture), Perikanan Tangkap (Capture Fisheries), Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Industri Bioteknologi Perairan, Pariwisata Bahari dan Perhubungan Laut.

Kebijakan Pembangunan  Perikanan Budidaya

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan kebijakan pembangunan perikanan budidaya. Antara lain: 1. Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

2. Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).  

3. Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. 4. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Komoditas (Output) Budidaya Perairan

Peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota air lainnya; (5) wisata berbasis perikanan budidaya; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global. Mutiara laut selatan telah memenuhi 43% mutiara dunia

Senyawa bioaktif yang diekstrak dari biota laut untuk Industri Farmasi dan Kosmetika  Sebagai Mega- Marine Biodiversity Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia.

Best Aquaculture Practices: (1) Induk dan Benih Unggul (SPF, SPR, dan Fast Growing); (2) pakan berkualitas dan cara pemberian yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama & penyakit; (4) menajemen kualitas udara; (5) desain & rekayasa kolam; dan (6) biosekuriti.

Teknologi Industri 4.0: Big Data, IoT, AI, Drone, Cloud Computing, dan Nanotechnology  “Precision, Efficient, Competitive, and Sustainable Aquaculture”.

Prinsip pembangunan berkelanjutan: (1) RTRW yang melindungi kawasan budidaya perikanan; (2) laju (intensitas) budidaya < Daya Dukung Lingkungan mikro (kolam) maupun makro (kawasan); (3) pengendalian pencemaran supaya lingkungan perairan tetap suitable dan sustainable untuk usaha aquaculture; dan (4) konservasi biodiversity pada tingkat spesies, ekosistem, dan genetik.

Pastikan bahwa semua unit usaha akuakultur harus menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, dengan pendapatan bagi karyawan (buruhnya) > US$ 300 (Rp 4,5 juta/karyawan/bulan).

US$ 300 dihitung berdasarkan garis kemiskian versi Bank Dunia (2010): US$ 2/orang/hari atau US$ 60/orang/bulan.  Rata-rata ukuran keluarga akuakultur 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak), dan pada umumnya yang bekerja hanya ayah.

Peningkatan produksi growth stimulant, obat-obatan, ALSINTAN (kincir air tambak, KJA, automatic feeder, alat pemantau dan pengukur kualitas air, dan lainnya) yang berdaya saing tinggi (QCD) untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.

Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Perikanan Budidaya Nasional yang menghubungkan semua mata rantai pasok (Sarana Produksi – Produksi – Industri Pengolahan – Pemasaran) secara lebih efektif, efisien, dan aman.

Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) - based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production.

Aplikasi Blue Economy: zero waste, zero carbon emission (penggunaan energi terbarukan seperti matahari, angin, kelautan, dan lainnya), ekonomi sirkuler, dan lainnya.

Perbaikan dan pengembangan infrastruktur: jalan, listrik, air bersih, telkom, internet, irigasi dan drainasi tambak, dan lainnya.

Penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif: perizinan, keamanan berusaha, kosistensi kebijakan, kepastian dan keadilan hukum, ketenagakerjaan, dan lainnya.

Kebijakan politik ekonomi yang kondusif: moneter (bunga bank), fiskal, ekspor-impor, RTRW, IPTEK, dan lainnya.

Kebijakan Dan Program  Peningkatan Pendapatan Nelayan

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan kebijakan dan program peningkatan pendapata nelayan, antara lain: Peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable).

Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.

Modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan//bulan. Pengembangan 5.000 kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan  2.000 Kapal Ikan Modern dengan ukuran > 200 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas).

Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing. Potensi Lestari Sumber Daya Ikan Perairan Laut Indonesia menurut WPP. Total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 12,54 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 80% atau 10,03 juta ton

Capacity building Nelayan untuk menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan tetap baik, dan harga jualnya tinggi  Seperti penggunaan Palkah Berpendingin, Cool Box, RSW, dll.

Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety).

Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system.

BUMN, KOPERASI atau SWATA menyediakan (menjual) sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI.

Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri).

Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya)  supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini.

Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan. “Pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus untuk nelayan, denga bunga relatif murah (3% per tahun) dan persyaratan relatif lunak,” katanya.

Selanjutnya, penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan. Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing. Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement.

Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lain: kapal ikan dengan energi surya, dll. “Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan,” ujarnya.

Kebijakan Dan Program Pengendalian Pengeluaran Nelayan

Pemerintah membantu membangun kawasan pemukiman nelayan yang bersih, sehat, cerdas, produktif, aman, dan indah. Sehingga, nelayan beserta anggota keluarga bisa hidup dan tumbuh kembang dengan sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia.

Penyuluhan dan pendampingan manajemen keuangan keluarga agar nelayan dan anggota keluarganya bisa hidup ‘tidak lebih besar pasak dari pada tihang’  seperti pembatasan jumlah anak, gemar menabung, dan lainnya. Selain kerja cerdas dan keras sebagai nelayan, mereka harus meningkatkan iman, taqwa, dan doa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah). 

Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Peran dan fungsi budidaya non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota perairan lainnya; (5) pariwisata berbasis akuakultur; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Mutiara laut selatan telah memenuhi 43% mutiara dunia, Senyawa bioaktif yang diekstraksi dari biota laut untuk Industri Farmasi dan Kosmetik Sebagai Mega-Keanekaragaman Hayati Laut Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia.

Semua unit usaha pada program-1 (Revitalisasi), program-2 (Ekstensifikasi), dan program-3 (Diversifikasi) harus sesuai atau menerapkan: (1) economy of scale; (2) Integrated Supply Chain Management System (Pra-produksi, Produksi, Industri Pengolahan, dan Pemasaran); (3) teknologi mutakhir yang tepat (Best Aquaculture Practices, Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Best Aquaculture Practices: (1) induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing); (2) pakan berkualitas dan cara pemberian yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama & penyakit; (4) menajemen kualitas air; (5) pond design & engineering; dan (6) biosecurity. Industry 4.0 technologies: Big Data, IoT, AI, Drone, Cloud Computing, dan Nanotechnology  “Precision, Efficient, Competitive, and Sustainable Aquaculture”.

Prinsip pembangunan berkelanjutan: (1) RTRW yang melindungi kawasan budidaya perikanan; (2) laju (intensitas) budidaya < Daya Dukung Lingkungan mikro (kolam) maupun makro (kawasan); (3) pengendalian pencemaran supaya lingkungan perairan tetap suitable dan sustainable untuk usaha aquaculture; dan (4) konservasi biodiversity pada tingkat spesies, ekosistem, dan genetik.

Pastikan bahwa semua unit usaha akuakultur harus menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, dengan pendapatan bagi karyawan (buruhnya) > US$ 300 (Rp 4,5 juta/karyawan/bulan). US$ 300 dihitung berdasarkan garis kemiskian versi Bank Dunia (2010): US$ 2/orang/hari atau US$ 60/orang/bulan.  Rata-rata ukuran keluarga akuakultur 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak), dan pada umumnya yang bekerja hanya ayah.

Dengan sebagian besar masalah lingkungan yang sekarang telah diselesaikan atau dengan solusi yang sudah dekat, ada masalah dalam meningkatkan operasi budidaya laut. Saat ini, bahkan Perkebunan Kampachi hanya memiliki beberapa lusin kandang untuk dirawat. Tetapi karena penangkapan ikan yang berlebihan membunuh populasi ikan liar, kita akan semakin bergantung pada ikan yang dibesarkan secara budaya untuk mendapatkan protein. Ini akan membutuhkan pengaturan budidaya laut yang lebih besar dan terorganisir dengan lebih baik

“Saat ini, beberapa selungkup dalam operasi tertentu dapat dipelihara, diperiksa, dan dipanen oleh tim kecil penyelam scuba yang dikirim ke lokasi kerja dengan perahu motor setiap minggu. Tetapi ketika operasi semacam itu memiliki ratusan selungkup, atau ribuan, itu tidak akan berhasil. Kehadiran berawak permanen di lokasi akan dibutuhkan, seperti yang diilustrasikan di atas,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.

Revitalisasi dan pengembangan industri pakan nasional: (1) berbahan baku lokal dengan daya cerna tinggi; dan (2) formulasi pakan yang tidak hanya berdasarkan pada kandungan (level) protein dan lemak, tetapi lebih kepada profil (persyaratan) nutirisi yang dapat secara spesifik memenuhi kebutuhan biota perairan yang dibudidayakan  Sehingga, kita mampu memproduksi pakan ikan/udang yang berdaya saing tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Ini sangat penting dan urgen !!!.  Sebab, sekitar 60% total biaya produksi untuk pakan.

Yang berikut,  peningkatan produksi growth stimulant, obat-obatan, ALSINTAN (kincir air tambak, KJA, automatic feeder, alat pemantau dan pengukur kualitas air, dan lainnya) yang berdaya saing tinggi (QCD) untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.

Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Perikanan Budidaya Nasional yang menghubungkan semua mata rantai pasok (Sarana Produksi – Produksi – Industri Pengolahan – Pemasaran) secara lebih efektif, efisien, dan aman.

Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) - based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production.

 

Komentar