Selasa, 23 April 2024 | 22:51
OPINI

Cina OCBC, Cina Banana (Bag. 1)

Cina OCBC, Cina Banana (Bag. 1)
The Picasso of China

Perkenalkan nama saya Nana Kasna, tapi kalo di kampung saya lebih dikenal dengan nama Bah Nana, maklum saya sudah tidak memiliki nama Tionghoa lagi, begitu juga dengan anak-anak saya. Satu-satunya yang mungkin masih berbau Tionghoa adalah nama keluarga saya Kasna yang berarti "beKAS chiNA“.

Dari segi penampilan jelas tidak mungkin bagi saya untuk bisa mengakui sebagai pribumi asli, sehingga dengan setiap orang juga tahu bahwa saya ini adalah peranakan Tionghoa. Namun kalau saya jujur, itu hanya dari segi penampilan kulit luarnya saja, dimana saya layak disebut Tionghoa, selebihnya dari itu tidak ada. Sehingga dengan mana bukan namanya saja "Bah Nana“, melainkan perasaan saya pun sudah seperti Banana alias pisang tulen, dimana hanya kulit luarnya saja yang kuning, tetapi dalamnya putih atau kosong tidak memiliki identitas maupun pengetahuan tentang bahasa maupun budaya Tionghoa.

Memang harus diakui bahwa saya ini keturunan Tionghoa, sayangnya hanya sebagai bangsa "China Banana“ saja. Saya tidak mengerti bahasa Tionghoa, boro-boro nulis, ngomong saja tidak bisa. Beberapa kata yang saya ketahui itupun saya pelajari dari buku cersilnya Kho Ping Hoo. Tokoh-tokoh Tionghoa yang saya kenal pun hanya sebatas Jacky Chan dan Bruce Lee saja.

Memang saya pengagum berat budaya Tionghoa, tetapi hanya sebatas pencinta film-film cersil saja. Jadi tokoh seperti Yoko atau Siauw Liong Lie bagi saya tidaklah asing. Begitu juga dengan jenis makanan Tionghoa, seperti Ku Lu Yuk maupun Puyonghai. Selain itu dengan hari raya penting yang tak pernah terlupakan seperti Imlek dan Capgome, berikut tradisi angpao dan kue keranjangnya.

Mungkin banyak yang menilai bahwa tokoh fiktif saya ini, Babah Nana itu sih "Wong Kam Pung“ tulen yang tidak berpendidikan. Jadi wajarlah kalau pengetahuannya jongkok, tetapi bagaimana dengan diri anda sendiri, berapa banyak yang anda ketahui tentang tradisi maupun budaya Tionghoa.

Mang Ucup sendiri menguasai bermacam-macam bahasa asing mulai dari Inggris, Belanda sampai dengan Jerman. Bahkan pernah mempelajari bahasa Ibrani maupun Yunani, tetapi sayangnya bahasa Mandarin atau bahasa leluhur sendiri tidak pernah saya pelajari, walaupun nama saya sebenarnya adalah Nio Tjoe Siang. Jadi keturunan Tionghoa tulen bahkan putera-putera maupun cucu-cucu saya semuanya memakai nama Tionghoa.

Kita mengenal banyak sekali pujangga Barat mulai William Shakespeare sampai dengan Victor Hugo. Bahkan para pemenang Nobel Sastra mulai dari Ernest Miller Hemingway sampai dengan Guenter Grass, namun kalau ditanya tentang pujangga atau penulis Tionghoa jarang ada yang tahu. Mungkin hanya sebatas Khong Hu Chu atau Lao Tze saja, sedangkan bagi mereka yang tinggal di negara barat mungkin juga pernah membaca buku karangannya dari Amy Tan (Tan En Mei).

Pernahkan anda membaca buku "Soul Mountain“ karangan dari Guo Xingjian, sastrawan Tionghoa yang telah memenangkan Hadiah Sastra Nobel di tahun 2000 dan juga mendapatkan penghargaan "Chevalier de Ordre des Arts et des Lettres” dari pemerintah Perancis? Atau buku "The Family“ karangan dari almarhum Ba Jin salah satu pujangga Tionghoa yang bukunya banyak sekali dibaca, bahkan ia juga adalah pengarang buku anak-anak seperti "The Immortality Pagoda“.

Tetapi kebalikannya, saya yakin banyak dari kita sudah pernah membaca hasil karyanya atau minimum melihat filmnya dari Chin Yung seperti Sin Tiauw Hiap Lu ( Memanah Burung Rajawali) atau To Liong Too (Golok Pembunuh Naga). Begitu juga kita mengenal banyak sekali pelukis maupun hasil karyanya, mulai dari Basuki Abdullah, Rembrandt, Dalli sampai dengan Piccaso, tetapi sayangnya tidak tidak ada yang pernah mengenal pelukis Tionghoa seperti Qí Báishí (1864-1957) = The Picaso Of China. Lukisan van Gogh pernah memecahkan rekor sebagai lukisan termahal, karena laku senilai 53,9 juta AS Dollar. Namun lukisan dari Qí Báishí pernah dilelang seharga 65,5 juta AS Dollar (sumber Wikipedia).

Orang Tionghoa itu harus seperti jeruk; kulitnya kuning, isinyapun seharusnya tetap kuning juga. Bahkan jeruk merupakan lambang kekayaan sebagai emas, dimana pada setiap hari raya Tahun Baru Imlek orang saling memberikan jeruk, dan kalau bisa yang masih ada daunnya dengan mengharapkan hokie dan rejeki di tahun mendatang akan tumbuh.

Dan “Kuning” adalah warna simbolik juga bagi bangsa Tionghoa, karena mereka mendiami tanah air Huang Tu Di = tanah kuning seluas hampir 10.000 km. Kaisar negara Tiongkok pertama lebih dikenal dengan nama Huang Di = Kaiser Kuning menurut para sejarawan,karena ia berasal dari tanah kuning tersebut.

Bagi orang awam yang tidak mendalami Sinologi, penjiwaan budaya “tanah kuning” masih jelas tampak pada istilah-istilah bahasa Mandarin, yang memadukan “kuning” untuk mempertegas arti kata seperti tanah kuning, sungai kuning, kulit kuning, beras kuning, kacang kuning, jubah kuning (jubah kebesaran kerajaan), istana kuning bahkan alam bakapun disebut sebagai “alam kuning”.

Maka tidaklah salah kalau saya mengharapkan bangsa Tionghoa dimanapun ia berada agar tetap seperti jeruk, dimana kulitnya kuning dan isinyapun tetap kuning dan tidak berubah menjadi buah pisang, kulitnya kuning, tetapi isinya telah berubah menjadi putih semuanya menjadi bangsa China Banana! Termasuk owe sendiri adalah China Banana !

Mang Ucup, Are Like Banana: Yellow Outside, But White Inside ! Atau OCBC bukan nama Bank tapi - Orang Cina Bukan Cina – By Race I am Chinese and By Grace I am Christian, Nio Tjoe Siang - 梁 子 祥.

Mang Ucup (Nio Tjoe Siang)

Menetap di Amsterdam, Belanda

Komentar