Sabtu, 20 April 2024 | 17:24
OPINI

Who Is The Real Mang Ucup (Bag. 3)

Go, Fight dan Win

Go, Fight dan Win
Ilustrasi

Di Hamburg Jerman, uang saya hanya tersisa beberapa Dollar saja, sedang perut sudah dua hari belum di isi. Selangkah demi selangkah kaki; Ucup menyusuri jalanan yang pernah dikuasai oleh Hitler itu. Ibarat mesin komputer, dalam benak Ucup sudah terprogram bagaimana harus mencari makan sebelum kehabisan uang.

Sesuai dengan motto hidup saya sebagai seorang Fighter Ialah: Go, Fight dan Win. Dimana Go nya sudah dilakukan dan sekarang sudah berada di Jerman. Sama seperti Petinju yang sudah naik Ring. Langkah berikutnya adalah Fight tidak ada di Kamus Ucup sebagai Brandalan Bandung istilah keok.

Di atas ring setiap orang akan mendapatkan waktu maupun kesempatan sebanyak 15 Ronde. Jadi apabila saya kalah di ronde pertama maupun ronde berikutnya pun ra-popo. Yang penting sebelum ronde 15 harus menang. Walaupun di Ronde awal Ucup kalah. Bengep, babak belur digebukin oleh sang lawan. Namum si Ucup akan tetap maju menggeruduk terus mirip Panser Jerman!

Kalau di Bandung; Ucup sudah terbiasa menjual jasa sebagai penjual karcis Bioskop atau Calo. Maka di Jerman pun ia mulai mencoba peruntungan hidup dengan cara menjual jasa. Namun bagaimana dengan bahasa untuk memperlancar komunikasi? Ah, orang gagu saja bisa dapat hidup di tengah masyarakat normal, begitu fikirnya kala itu.

Berdasarkan pemikiran tersebut; Ucup pun berani berkomunikasi dengan mulut dan tangan mirip ala Tarzan untuk memperjelas kata-kata bahasa Jerman yang baru sepatah dua patah kata ia kuasai. Ucup ingat betul, kata-kata bahasa Jerman pertama yang ia ucapkan untuk menjual jasa saat itu adalah helfen (tolong atau bantu). Justru kata-kata itu menjadi kunci untuk mendapat upah dari orang-orang atau para pedagang yang membutuhkan tenaga untuk memikul barang-barang belanjaan atau dagangan mereka.

Pekerjaan sebagai kuli angkut barang di tempat-tempat perbelanjaan, ia lakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran. Dari hari ke hari semakin banyak perbendaharaan kata bahasa Jerman yang ia comot dari sana-sini. Sayangnya seperti kebiasaannya ketika masih sekolah di Bandung, Ucup tidak pernah mencatat pelajaran-pelajaran yang diberikan guru-gurunya di buku, tapi cukup ia catat dalam ingatan. Ia hanya memperhatikan pelajaran yang diterangkan oleh para guru dan mengingat-ingatnya.

Menurutnya, inilah salah satu keistimewaannya. Jadi, tidak sulit baginya mengingat-ingat arti kalimat "Herr, entschulidgen, essen, danke, guten tag, bitte schön" dan sebagainya. (Tuan, Maaf, Makan, Terima kasih, Selamat siang, Silahkan). Syukurlah, untuk sementara waktu Ucup bebas dari masalah makan, minum, dan tidur.

Sekalipun tidurnya adalah tidur ala anak jalanan, "Open Air" dan berinterior asli alam. Bukannya di hotel berbintang lima, tapi di bawah ribuan bintang. Ucup belum mampu menyewa kamar dari hasil upah yang diperolehnya sebagai kuli angkut barang. Upahnya hanya cukup untuk makan. Ucup juga sadar tidak mungkin bisa belajar dalam keadaan masih sebagai anak jalanan.

Tanpa ia duga, gerak-gerik Ucup sehari-hari menarik perhatian seorang Pendeta. Sang Pendeta tersebut melihat dirinya menyimpan energi internal dan spiritual untuk mencapai sesuatu. Pucuk dicinta, ulam tiba. Beruntung Ucup diajak tinggal serumah dengan pendeta itu untuk menjadi pembantu (jongos) di rumah tangganya.

Tentu saja kesempatan yang baik ini ia manfaatkan sebaik-baiknya. Sang pendeta yang menjadi "Bapak Asuh" sekaligus juragan dari Ucup itu menyayangi dan memberikan kebebasan memilih jalan hidup. Beliau tidak pernah memaksakan Ucup untuk berdoa. Karena dulu Ucup masih jauh dari substansi hidup yang bersinggungan dengan agama.

Namun, Ucup masih rajin mencari tambahan biaya hidup. Di rumah Pendeta Ucup sudah harus bangun sebelum pukul 04:30 pagi. Pekerjaan dimulai dengan bikin bersih rumah, ngepel, cuci piring dan sebagainya. Setelah itu ia harus pergi belanja ke Pasar dan lain-lainnya.

Memang rasa sedih dan pedih terasa dalam hatinya Ucup. Dalam usia remaja sudah harus kerja keras. Di Bandung ia begitu di manja oleh Ma Anie (sang Bunda). Jangankan cuci piring, makanan pun selalu siap tersaji di atas meja.

Cita-cita ingin jadi Elvis Presley. Kenyataan pahit yang harus diterima ialah jadi Elvis pelayan alias Elvis cuci piring. Tapi Go Head ! Pokoknya Never Surrender dan Maju Terus! Ucup lakukan semua tugasnya dengan tabah tanpa mengeluh sepatah katapun juga. Bahkan penuh dengan rasa suka cita, sambil berdendang lagu dari Everly Brothers: All I Have To Do Is Dream. Alias bermimplah terus jadi juragan sambil naik mobil sport !

Memang harus diakui, di waktu malam masih sering tertetes air matanya turun berlinang. Ucup ingat akan kampung halaman yang nan jauh. Terlebih lagi teringat akan Ma Anie dan Abah Awat kedua orang tua saya. Maklum bagi kebanyakan orang pada saat mereka terpukul jatuh, pasti akan teringat akan kasih sayang orang tuanya di masa kecil.

Kini Ucup menapak beberapa langkah lebih maju. Ia sudah alih profesi dari kuli angkut barang menjadi pembantu pendeta. Kemudian berubah menjadi pengantar koran. Pekerjaan barunya itu, selain memberikan tambahan uang juga menambah pandangan hidup dan pengetahuannya tentang kehidupan orang-orang Jerman. Dan dari mulai baca koran inilah Ucup bisa menambah perbendaharaan kata. Terutama yang berkaitan dengan bidang pekerjaan, seperti: zeitung lesen, schriftsteller, austeilung, sich abonieren, dan banyak lagi.

Ucup memiliki kemauan keras agar mampu berbicara dalam bahasa Jerman dengan baik dan benar. Karena itulah setiap hari ia mentargetkan menghafal minimal 20 kalimat. Baik ketika mengantar koran, melakukan pekerjaan rumah, maupun ketika sedang "nongkrong" dalam WC ia selalu menghafal kosa kata bahasa Jerman.

Setelah merasa yakin dengan penguasaan bahasa sehari-harinya, maka Ucup memberanikan diri mendaftar ke Sekolah Tinggi Ekonomi. Dengan rencana malam bekerja, pagi berangkat kuliah. Untuk ini Ucup sering kali harus mengurangi jatah tidurnya.

Semula Ucup agak "kikuk" berada di antara pelajar-pelajar Jerman. Seumur hidup, baru sekali itu Ucup sekelas dengan para bule. Tapi Ucup tidak merasa rendah diri. Di depan mereka, Ucup selalu berani menunjukkan diri, "Nih, gue anak Indonesia!" Akhirnya Ucup bisa menyelesaikan pendidikan tingginya dengan dengan predikat Summa Cumlaude. Dari sinilah Ucup mulai meniti jalan hidup untuk menjadi "Juragan!"

Tapi apakah mungkin seorang pengungsi atau brandalan bisa jadi Juragan hanya dengan bermodalkan dengkul saja? Apakah impian si Ucup akan bisa terwujudkan? Tanyalah kepada Rumput yang bergoyang atau baca sambungannya.

Mohon diberitahu kepada Mang Ucup apabila kisah ini membosankan agar bisa segera diakhiri masalahnya Dongengnya masih panjang m. Jadi mirip cersil bersambung Kho Ping Hoo.Bersambung.

Mang Ucup

Menetap di Amsterdam, Jerman

Komentar