Rabu, 09 Juli 2025 | 22:14
OPINI

Pragmatisme vs Idealisme: Dinamika Kepemimpinan dalam Tradisi Sunni dan Syiah

Pragmatisme vs Idealisme: Dinamika Kepemimpinan dalam Tradisi Sunni dan Syiah
Dr. Rahmat Mulyana

Oleh: Dr. Rahmat Mulyana, Wakil Rektor Universitas UMMI Bogor 

ASKARA - Perpecahan Islam menjadi tradisi Sunni dan Syiah bukan sekadar perselisihan teologis semata, melainkan cerminan dari dua pendekatan fundamental yang berbeda terhadap kepemimpinan, otoritas, dan hubungan antara agama dengan politik. Sunni mengembangkan karakter pragmatis yang memungkinkan adaptasi dengan realitas politik yang ada, sementara Syiah mempertahankan idealisme yang menekankan legitimasi dan keadilan dalam kepemimpinan. Perbedaan filosofis ini tidak hanya membentuk struktur internal kedua tradisi, tetapi juga menentukan pola penyebaran dan pengaruh mereka dalam sejarah Islam.

Artikel ini akan menganalisis bagaimana trauma historis, khususnya peristiwa Mihna pada masa Abbasiyah, membentuk sikap Sunni terhadap pemisahan otoritas agama dan politik. Sebaliknya, Syiah mempertahankan konsep kepemimpinan terpadu yang menggabungkan otoritas spiritual dan temporal. Pemahaman terhadap dinamika ini penting untuk memahami mengapa Sunni menjadi mayoritas yang tersebar luas, sementara Syiah tetap menjadi minoritas yang berpengaruh namun terbatas secara geografis.

Latar Belakang Sejarah: Trauma Mihna dan Pemisahan Otoritas

Peristiwa Mihna (inquisisi) pada masa Khalifah Abbasiyah al-Ma'mun (813-833 M) menjadi titik balik fundamental dalam sejarah kepemimpinan Islam Sunni. Ketika khalifah memaksakan doktrin Mu'tazilah bahwa Al-Quran adalah makhluk (makhluq) dan bukan kalam Allah yang qadim, resistensi ulama seperti Imam Ahmad ibn Hanbal menunjukkan ketegangan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan.

Pemaksaan doktrin ini melalui intimidasi, pemenjaraan, dan penyiksaan para ulama yang menolak menciptakan trauma kolektif dalam kesadaran Sunni. Para ulama yang dipenjara, disiksa, bahkan dibunuh karena mempertahankan keyakinan teologis mereka menunjukkan bahaya ketika kekuasaan politik mencampuri doktrin agama secara paksa. Imam Ahmad ibn Hanbal, yang bertahan dalam penjara dan penyiksaan selama bertahun-tahun, menjadi simbol perlawanan ulama terhadap intervensi politik dalam masalah akidah.

Peristiwa ini mengajarkan pelajaran berharga bagi tradisi Sunni: kekuasaan politik, meskipun dipegang oleh khalifah yang secara nominal merupakan pemimpin umat, tidak boleh memaksakan interpretasi teologis tertentu. Pengalaman pahit ini melahirkan konsep pemisahan antara otoritas keagamaan (ulama) dan otoritas politik (penguasa), sebuah prinsip yang kemudian menjadi karakteristik penting dalam struktur kepemimpinan Sunni.

Trauma Mihna juga memperkuat posisi ulama sebagai penjaga ortodoksi yang independen dari kekuasaan politik. Para ulama Sunni mengembangkan sikap waspada terhadap campur tangan penguasa dalam masalah keagamaan, sekaligus mengembangkan mekanisme konsensus (ijma) sebagai alternatif legitimasi yang tidak bergantung pada otoritas politik semata.

Struktur Kepemimpinan Sunni: Pragmatisme dan Desentralisasi

Pasca-trauma Mihna, tradisi Sunni mengembangkan struktur kepemimpinan yang lebih desentralisasi dan pragmatis. Pemisahan antara otoritas politik dan keagamaan bukan berarti sekularisasi, melainkan spesialisasi fungsi dengan tetap mempertahankan kerangka Islam sebagai panduan moral dan hukum.

Dalam sistem Sunni, khalifah atau sultan memiliki otoritas politik temporal, sementara ulama mempertahankan otoritas dalam interpretasi agama, hukum Islam, dan pengawasan moral terhadap penguasa. Sistem ini memungkinkan fleksibilitas yang luar biasa dalam beradaptasi dengan berbagai konteks politik dan budaya. Ketika kekhalifahan Abbasiyah melemah, berbagai dinasti lokal dapat muncul tanpa mengganggu struktur keagamaan yang sudah mapan.

Pragmatisme Sunni terlihat dalam pengembangan empat madzhab fiqh utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) yang memberikan pilihan metodologi hukum sesuai dengan kebutuhan regional dan kultural. Tidak ada satu otoritas sentral yang memaksakan interpretasi tunggal, melainkan konsensus ulama (ijma) yang menjadi mekanisme legitimasi. Sistem ini memungkinkan Islam Sunni menyebar ke berbagai wilayah dengan adaptasi lokal yang fleksibel.

Konsep "politik adalah seni yang mungkin" berkembang dalam tradisi Sunni, yang memungkinkan kerjasama dengan berbagai sistem politik selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Hal ini memungkinkan ulama Sunni untuk tetap mempertahankan pengaruh moral dan keagamaan tanpa harus terlibat langsung dalam perebutan kekuasaan politik.

Struktur Kepemimpinan Syiah: Idealisme dan Sentralisasi

Berbeda dengan Sunni, tradisi Syiah mempertahankan konsep kepemimpinan yang menggabungkan otoritas spiritual dan temporal dalam institusi Imamah. Syiah percaya bahwa kepemimpinan umat harus berada di tangan Imam yang memiliki legitimasi ilahiah melalui garis keturunan Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah, putri Nabi Muhammad.

Konsep Imam dalam Syiah bukan sekadar pemimpin politik, melainkan guide spiritual yang memiliki otoritas dalam interpretasi agama, hukum, dan kehidupan sosial-politik. Imam dipercaya memiliki pengetahuan esoterik (ilm laduni) dan kemampuan interpretasi yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Struktur ini menciptakan hierarki kepemimpinan yang lebih sentralisasi dibandingkan dengan sistem Sunni.

Dalam konteks modern, konsep wilayat al-faqih yang dikembangkan oleh Ayatollah Khomeini merupakan adaptasi prinsip kepemimpinan Syiah. Faqih (ahli hukum Islam) yang memiliki kompetensi dan otoritas moral dapat menjalankan fungsi kepemimpinan Imam dalam masa ghaybah (ketidakhadiran) Imam Mahdi. Sistem ini tetap mempertahankan prinsip persatuan otoritas keagamaan dan politik.

Idealisme Syiah terlihat dalam penekanan pada keadilan sosial dan resistensi terhadap ketidakadilan. Konsep mazlumiyyah (kultur penderitaan) yang berakar dari tragedi Karbala menciptakan etos perlawanan terhadap otoritas yang dianggap tidak legitimate. Hal ini membuat Syiah cenderung lebih kritis terhadap status quo dan lebih berani melakukan resistensi terhadap ketidakadilan.

Implikasi Demografis: Mayoritas vs Minoritas

Perbedaan pendekatan kepemimpinan ini memiliki implikasi langsung terhadap pola penyebaran dan penerimaan kedua tradisi. Islam Sunni, dengan karakteristik pragmatisnya, lebih mudah diterima oleh berbagai kelompok dan budaya karena fleksibilitasnya dalam adaptasi.

Pragmatisme Sunni memungkinkan akomodasi terhadap praktik budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Sistem madzhab yang beragam memberikan pilihan metodologi yang sesuai dengan kebutuhan regional. Struktur kepemimpinan yang desentralisasi juga memungkinkan penyebaran tanpa ketergantungan pada otoritas sentral yang mungkin sulit diakses.

Sebaliknya, idealisme Syiah dengan tuntutan loyalitas yang lebih ketat terhadap garis keturunan tertentu dan interpretasi yang lebih rigid menciptakan barrier entry yang lebih tinggi. Struktur hierarkis dan sentralisasi otoritas juga membutuhkan infrastruktur institusional yang lebih kompleks untuk penyebaran yang efektif.

Namun, karakteristik ideologis Syiah juga menciptakan kohesi internal yang kuat dan komitmen yang mendalam di antara penganutnya. Meskipun jumlahnya minoritas, pengaruh Syiah dalam isu-isu keadilan sosial dan perlawanan terhadap ketidakadilan seringkali melebihi proporsi demografisnya.

Validitas dan Komplementaritas

Pertanyaan tentang kebenaran atau kesesatan salah satu tradisi perlu didekati dengan hati-hati. Argumen bahwa 90% umat tidak mungkin sesat memiliki logika sosiologis tertentu, namun kebenaran teologis tidak selalu ditentukan oleh mayoritas. Yang lebih penting adalah memahami bahwa kedua tradisi merupakan respons valid terhadap tantangan berbeda dalam sejarah Islam.

Uji contemporary, khususnya dalam menghadapi ketidakadilan dan agresi seperti yang terjadi di Palestina dan Lebanon, menunjukkan bahwa resistensi Syiah terhadap ketidakadilan memiliki basis moral yang kuat. Hezbollah di Lebanon dan dukungan Iran terhadap Palestina menunjukkan konsistensi antara idealisme teoretis dengan praksis politik.

Di sisi lain, kemampuan adaptasi Sunni memungkinkan Islam berkembang di berbagai konteks budaya dan politik tanpa kehilangan esensi spiritualnya. Fleksibilitas ini penting untuk kelangsungan dan relevansi Islam dalam dunia yang terus berubah.

Sintesis Modern: Pembelajaran dari Kedua Tradisi

Dalam konteks tantangan modern, umat Islam mungkin membutuhkan sintesis dari kekuatan kedua tradisi. Pragmatisme Sunni dalam hal adaptasi dan fleksibilitas dapat dikombinasikan dengan idealisme Syiah dalam hal keadilan sosial dan resistensi terhadap ketidakadilan.

Sunni dapat belajar dari komitmen Syiah terhadap keadilan sosial dan keberanian dalam melawan ketidakadilan. Sementara Syiah dapat belajar dari fleksibilitas Sunni dalam beradaptasi dengan realitas politik yang kompleks tanpa mengorbankan prinsip moral.

Kedua tradisi juga dapat saling melengkapi dalam menghadapi tantangan eksternal seperti islamofobia, kolonialisme, dan ketidakadilan global. Persatuan dalam menghadapi musuh bersama dapat menjadi jembatan untuk dialog dan kerjasama yang lebih konstruktif.

Kesimpulan

Dikotomi pragmatisme Sunni versus idealisme Syiah bukan sekadar perbedaan metodologis, melainkan cerminan dari dua pendekatan fundamental terhadap kepemimpinan dan otoritas dalam Islam. Trauma historis Mihna membentuk sikap Sunni yang lebih pragmatis dan desentralisasi, sementara Syiah mempertahankan idealisme dan sentralisasi otoritas yang berakar dari konsep Imamah.

Perbedaan ini memiliki implikasi langsung terhadap pola penyebaran, struktur internal, dan respons terhadap tantangan kontemporer. Namun, daripada melihatnya sebagai kompetisi zero-sum, lebih produktif memahami kedua tradisi sebagai respons komplementer terhadap kompleksitas kehidupan umat Islam.

Sunni menyediakan stabilitas dan adaptabilitas yang diperlukan untuk kelangsungan Islam dalam berbagai konteks, sementara Syiah menyediakan kritik moral dan komitmen terhadap keadilan yang diperlukan untuk menjaga Islam tetap relevan sebagai kekuatan transformatif. Dalam menghadapi tantangan global modern, sintesis antara pragmatisme dan idealisme mungkin menjadi kunci untuk revitalisasi peradaban Islam yang inklusif dan berkeadilan. 

Komentar