Rabu, 09 Juli 2025 | 06:23
NEWS

Hendardi: Perpres 66/2025 Legitimasi Militerisme dalam Penegakan Hukum Sipil

Hendardi: Perpres 66/2025 Legitimasi Militerisme dalam Penegakan Hukum Sipil
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 (Dok Setpres)

ASKARA — Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengkritik keras terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia. Menurutnya, langkah Presiden Prabowo mengesahkan perpres tersebut justru memperkuat kecenderungan militerisme dalam sistem penegakan hukum sipil di Indonesia.

"Alih-alih menarik pasukan TNI yang telah dikerahkan untuk mengamankan institusi kejaksaan, Presiden malah mengeluarkan perpres yang justru melegitimasi tindakan tersebut," ujar Hendardi dalam pernyataannya, Minggu (26/5).

Ia menilai, Perpres 66/2025 bermasalah baik secara materiil maupun formil. Dari sisi materi muatan, perpres tersebut hanya merujuk Pasal 4 UUD 1945 tanpa mendasarkan pada Undang-Undang TNI maupun UU Kejaksaan. "Ini bentuk legalisme otokratis—pemanfaatan hukum untuk membenarkan tindakan kekuasaan semata," tegasnya.

Dari sisi prosedur, Hendardi menyebut perpres tersebut patut diduga tidak melalui mekanisme Program Penyusunan Perpres (Progsun) ataupun prosedur darurat yang sesuai. Ia menilai pembentukan perpres ini sebagai bentuk “jalan pintas” untuk melegalkan kerja sama antara TNI dan Kejaksaan yang hanya berdasar pada nota kesepahaman (MoU), bukan peraturan perundang-undangan.

“Tidak ada ancaman sistemik dan massif terhadap kejaksaan yang dapat dijadikan alasan kuat untuk mengeluarkan Perpres khusus,” jelasnya.

Lebih lanjut, Hendardi memperingatkan dua dampak serius dari pemberlakuan Perpres ini. Pertama, keterlibatan militer dalam pengamanan kejaksaan dapat membuka ruang pelibatan TNI dalam penegakan hukum sipil. Kedua, hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Kejaksaan, Polri, dan TNI, yang justru akan memicu gesekan antar-lembaga.

“Yang dibutuhkan bukan militerisasi hukum, tapi pembenahan integritas dan profesionalitas penegakan hukum itu sendiri,” ujar Hendardi. Ia menambahkan bahwa korupsi dan pelanggaran etik yang melibatkan aparat penegak hukum harus menjadi perhatian utama Presiden, bukan malah menarik militer ke dalam wilayah penegakan hukum sipil.

Hendardi menutup pernyataannya dengan menyerukan agar Presiden fokus pada peningkatan profesionalitas militer di bidang pertahanan, bukan memperluas peran militer di ranah sipil yang justru melemahkan demokrasi dan supremasi hukum.

 

Komentar