Membaca Pembiayaan Operasional Pemerintah Daerah Melalui Lensa Diskursif

Oleh: Muhammad Gufron Rum
Head of R&D Nusantara Foundation, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Politik dan Pemerintahan UGM
ASKARA - Raja Ampat dikenal luas sebagai surga biodiversitas Indonesia Timur, simbol eksotisme tropis yang memukau dunia. Gugusan daratan yang dihubungkan oleh hamparan laut menyajikan panorama yang dianggap sebagai sepotong surga di Indonesia. Namun, di balik citra itu, struktur fiskal daerah ini menyimpan persoalan yang kerap menjadi perdebatan, terutama terkait tingginya alokasi belanja operasional.
Dalam lima tahun terakhir (2019–2023), struktur keuangan daerah Raja Ampat menunjukkan tren yang konsisten: komponen belanja operasional mendominasi lebih dari 60 persen total anggaran setiap tahun. Tak sedikit pihak yang menganggap hal ini sebagai indikasi pemborosan, bahkan kegagalan dalam mengarahkan anggaran ke pembangunan. Tetapi, benarkah besarnya belanja operasional selalu mencerminkan inefisiensi?
Tulisan ini ingin mengajukan pandangan alternatif: bahwa masalah sesungguhnya bukan terletak pada besaran nominal belanja operasional, melainkan pada cara kita memaknainya—yang kerap mengabaikan dimensi spasial, institusional, dan epistemik di baliknya.
Pada 2019, belanja daerah Raja Ampat tercatat sebesar Rp1,43 triliun, yang kemudian menurun menjadi Rp1,21 triliun pada 2020 akibat pandemi COVID-19. Sejak 2021, angka ini kembali meningkat bertahap, mengikuti pemulihan fiskal nasional. Dalam komposisinya, belanja operasional—yang mencakup gaji pegawai, pengadaan barang dan jasa, serta perjalanan dinas—terus mendominasi.
Kritik terhadap hal ini seringkali bersifat linier: jika porsi belanja operasional tinggi, maka pembangunan dianggap mandek. Namun, pendekatan semacam ini terlalu menyederhanakan realitas. Ia gagal membaca dua hal penting: pertama, lanskap geografis dan tantangan logistik pelayanan publik di wilayah kepulauan; dan kedua, logika birokrasi yang didesain untuk wilayah daratan, tetapi dipaksakan bekerja dalam konteks ruang yang sangat berbeda.
Belanja operasional di Raja Ampat tidak bisa dilepaskan dari warisan institusional pasca-pemekaran dari Kabupaten Sorong. Struktur birokrasi yang dibangun mengadopsi model kabupaten konvensional, lengkap dengan perangkat vertikal dan OPD yang mengikuti kerangka kerja administratif nasional. Padahal, Raja Ampat adalah kabupaten kepulauan dengan luas total 67.379,60 km²—hanya 7.559,60 km² berupa daratan, sisanya adalah perairan. Kabupaten ini terdiri atas 610 pulau, terbagi ke dalam 24 distrik dan 117 kampung, sebagian besar hanya dapat dijangkau lewat jalur laut.
Dalam konteks seperti ini, biaya untuk menjalankan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, dan pengawasan keuangan otomatis meningkat drastis. Sayangnya, sistem perencanaan dan penganggaran kita tidak dirancang untuk membaca kerumitan semacam ini.
Untuk menghindari jebakan generalisasi, kita perlu membaca belanja operasional dalam tiga dimensi: performa, performatif, dan eksternalitas.
Dimensi performa mengacu pada fungsi administratif dari anggaran—berapa rupiah dikeluarkan untuk layanan tertentu dan apakah sesuai dengan output-nya.
Dimensi performatif berkaitan dengan bagaimana anggaran membentuk cara kerja birokrasi—apakah, misalnya, perjalanan dinas menciptakan kerja lintas-pulau dan hubungan pelayanan yang fungsional, atau hanya menjadi rutinitas administratif.
Eksternalitas berbicara tentang dampak tak langsung—apakah anggaran itu menghasilkan kepercayaan publik, pemerataan pelayanan, dan keberlanjutan sosial.
Ambil contoh seorang guru di Distrik Ayau yang harus menyeberang laut selama berjam-jam untuk mengajar di pulau terpencil. Tunjangan transportasi dan akomodasi yang diterimanya tentu masuk dalam belanja operasional. Tapi itu bukan pemborosan—melainkan representasi konkret dari performa dan eksternalitas pelayanan pendidikan.
Sebaliknya, jika seorang pejabat melakukan perjalanan ke Jakarta untuk menghadiri seminar yang bisa diakses secara daring, maka itu adalah bentuk performa tanpa performativitas, bahkan tanpa eksternalitas. Sayangnya, sistem pencatatan anggaran belum mampu membedakan secara rinci antara dua praktik ini. Di sinilah letak krusialnya reformasi: bukan pada pemangkasan nominal, melainkan pada pemaknaan ulang dan pelacakan yang lebih fungsional terhadap setiap pos anggaran.
Namun, realitas di lapangan justru mengungkapkan ironi. Baru-baru ini, puluhan guru dari berbagai wilayah di Raja Ampat mendatangi DPRK untuk menuntut hak-hak dasar mereka yang belum dibayarkan—mulai dari Tunjangan Profesi Guru (TPG) Triwulan IV Tahun 2024, Tambahan Penghasilan (TPP), hingga insentif bagi guru honorer TK dan PAUD.
Dalam pembacaan saya, mereka tidak hanya menuntut pembayaran, tetapi mengajukan gugatan moral terhadap sistem yang gagal mengenali dan mengadministrasikan keberadaan mereka secara layak. Dalam kesempatan yang sama, pihak DPRK menyatakan bahwa anggaran telah tersedia sejak awal tahun. Namun, Dinas Pendidikan menyebut lonjakan jumlah guru PPPK sebagai penyebab kekurangan anggaran.
Bagi saya, ini bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan persoalan epistemik yang lebih dalam: sistem penganggaran kita tidak mampu membaca kenyataan, bahkan untuk kebutuhan dasar tenaga pengajar.
Kontradiksi antara performa dan performativitas dalam kasus ini menjadi pengingat penting: belanja operasional harus dilacak secara berlapis dan multidimensional. Dalam pembacaan ini, struktur belanja operasional bukan sekadar angka, tetapi manifestasi dari logika pengambilan keputusan, struktur sosial, dan konteks geografis yang spesifik. Dengan kata lain, anggaran tidak dapat dilepaskan dari politik makna.
Dalam pendekatan policy as discourse (Stone, 2002; Bacchi, 2009), anggaran bukan hanya instrumen teknis, melainkan pernyataan politis negara tentang siapa yang dianggap penting dan apa yang dihargai dalam pembangunan (the problem represented to be).
Ketika pembacaan pada belanja operasional direduksi hanya menjadi simbol inefisiensi tanpa melihat konteks, maka yang terjadi adalah technocratism blindspot, yakni jebakan teknokratisme yang mengabsolutkan angka tanpa mempertimbangkan kondisi geografis, kapasitas kelembagaan, dan dinamika sosial-politik lokal (Luft & Ingham, 1995). Dalam jebakan ini, efisiensi menjadi mantra tunggal, sementara pertanyaan mendasar tentang siapa yang dilayani, bagaimana pelayanan dilakukan, dan dalam ruang hidup seperti apa kebijakan dijalankan justru dikesampingkan.
Maka, bukan hanya anggaran yang kehilangan makna sosialnya, tetapi juga praktik pembangunan itu sendiri menjadi semakin jauh dari prinsip keadilan spasial dan keberpihakan struktural.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa tingginya anggaran operasional di Raja Ampat merupakan refleksi dari logika pengambilan keputusan yang seharusnya dibaca secara berlapis. Solusinya bukan pemangkasan mekanis, melainkan rekonstruksi dari sisi epistemik—yakni cara berpikir yang sensitif dan peka terhadap dimensi performativitas dan eksternalitas.
Dengan begitu, kita juga memerlukan sistem pencatatan yang mampu membedakan antara performa dan performativitas, serta alat evaluasi yang mengukur eksternalitas sosial dari setiap rupiah yang dibelanjakan. Nantinya, anggaran operasional tak lagi dipandang secara parsial, melainkan dapat merefleksikan pelayanan publik yang adil, kontekstual, dan bermakna.
Komentar