Silaturahmi dan Buka Puasa Bersama MD KAHMI & ICMI Bogor: Menyikapi Pendidikan Karakter Dalam Perubahan Zaman

ASKARA - Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD KAHMI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bogor menggelar acara silaturahmi dan buka puasa bersama di kediaman anggota DPR RI 2024 - 2029, Prof. Rokhmin Dahuri MS Jl. Brawijaya 6, Vila Indah Pajajaran, Bogor, Kamis, 6 Maret 2025.
Acara silaturahmi dan buka puasa bersama ini menjadi momen yang penuh makna, mengingatkan kita akan pentingnya kebersamaan, kepedulian, dan semangat berbagi di bulan Ramadhan. Para peserta, yang terdiri dari tokoh masyarakat, akademisi, serta anggota KAHMI dan ICMI, saling bertukar pandangan dan memperkuat komitmen untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.
Setelah berbuka puasa bersama dan melaksanakan salat Maghrib berjamaah, acara dilanjutkan dengan Shalat Tarawih yang diimami oleh Ustadz Sihabudin, seorang Qori Internasional. Para tamu kemudian disuguhi tausiyah inspiratif dari dua tokoh nasional, yaitu H. Anies Rasyid Baswedan, S.E., M.P.P., Ph.D dan Dr. K.H. Jazilul Fawaid, Al Hafidz, S.Q., M.A (Anggota DPR RI).
Pesan Kebersamaan
Acara dimulai dengan sambutan hangat dari tuan rumah, Prof. Rokhmin Dahuri, yang menyampaikan rasa syukur atas kesempatan untuk berkumpul bersama dalam suasana penuh berkah. Prof. Rokhmin Dahuri mengaku sangat berbahagia bisa bersilaturahim dengan sesama aktivis ICMI dan KAHMI.
"Yang paling utama saya bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan yang telah menciptakan kita semua dan menurunkan pedoman hidup yang paling sempurna yaitu Alquran dan Alhadits. Kita juga bersyukur atas nikmat iman dan Islam, serta istiqomah dengan senantiasa diberikan jalan untuk bertakwa kepada-Nya," ungkapnya penuh syukur.
Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan hadits bahwa jika seorang muslim atau muslimah tidak memikirkan umat Islam setelah bangun tidur, maka Rasulullah SAW mengatakan mereka bukan umatku.
"Sayangnya, umat muslim di Indonesia sebagian besar sekular. Mereka menggunakan Islam hanya untuk ibadah mahdoh, seperti umrah seribu kali tapi tetap kikir, pembohong, dan menggunakan ijazah palsu," ujarnya.
Prof. Rokhmin Dahuri juga menguraikan ayat-ayat dari Alquran, termasuk Al-Maidah ayat 44 dan 47, yang menekankan pentingnya memutuskan segala urusan sesuai dengan ketentuan yang diturunkan Allah. Beliau menegaskan bahwa kapitalisme telah gagal dalam mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, dan tidak mampu mensejahterakan warga dunia.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu menambahkan bahwa kunci untuk memajukan Indonesia menjadi negara makmur ada pada firman Allah dalam QS Al-A'raf ayat 96. "Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Allah akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Allah), maka Allah siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
"Islam adalah rahmatan lil 'alamin. Kita sebagai umat Islam harus bangkit untuk memperbaiki dunia dengan Islam yang kaffah," tegas Prof. Rokhmin.
Pemimpin Perubahan
Ketua Umum ICMI Pusat dan Rektor IPB University, Prof. Dr. Arif Satria, menyampaikan pandangan yang sangat menarik mengenai kepemimpinan dan perubahan. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Arif Satria menekankan bahwa kepemimpinan memiliki dampak yang berbeda-beda, tergantung pada levelnya.
"Ada tiga level penting dalam kepemimpinan, yaitu memimpin diri sendiri, memimpin orang lain, dan memimpin perubahan," ujar Prof. Arif Satria.
"Memimpin diri sendiri adalah hal yang mudah, namun memimpin perubahan adalah hal yang baru, yang sangat cepat," ujar Prof. Arif. Menurut beliau, memimpin diri sendiri memang merupakan langkah awal yang krusial. Seorang pemimpin yang baik harus mampu mengendalikan dirinya terlebih dahulu, baik dari segi pengambilan keputusan, pengelolaan waktu, maupun sikap terhadap tantangan hidup. Namun, tantangan terbesar bagi setiap pemimpin adalah bagaimana memimpin perubahan, apalagi di era yang penuh dinamika seperti sekarang.
Ia menekankan bahwa memimpin diri sendiri mungkin relatif lebih mudah, tetapi memimpin perubahan adalah sebuah tantangan besar, terutama di era yang ditandai oleh percepatan perubahan global.
"Memimpin perubahan adalah sesuatu yang baru dan sangat cepat. Perubahan iklim telah menciptakan dampak luar biasa, begitu juga dengan dinamika global yang bergerak sangat cepat," ungkap Prof. Arif.
Prof. Arif menyampaikan bahwa salah satu tantangan global terbesar adalah pemborosan pangan. "Saat ini, sepertiga pangan dunia terbuang dan tercecer," ujarnya. Ia mengajak semua pihak untuk menyikapi masalah ini dengan aksi nyata, baik dalam skala kecil maupun besar.
Menurutnya, jika tidak mampu melakukan perubahan besar, perubahan diri sendiri adalah langkah awal yang dapat berdampak signifikan. "Lakukan perubahan dari diri sendiri agar kita menjadi pengikut perubahan yang baik, bahkan menjadi pelopor," tambahnya.
Di tengah perkembangan dunia yang begitu cepat, Prof. Arif menyampaikan keprihatinannya mengenai perubahan iklim yang berdampak besar pada kehidupan manusia, termasuk sektor pangan. "Perubahan iklim sangat luar biasa, begitu juga dengan perubahan global," kata beliau.
Dalam konteks ini, salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah masalah pemborosan pangan global. Saat ini, sepertiga dari pangan dunia terbuang dan tercecer tanpa manfaat. Oleh karena itu, perubahan besar harus dimulai, dan kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan hanya mengikuti tren.
Prof. Arif menegaskan pentingnya memulai perubahan dari tingkat yang paling mendasar, yaitu dari desa. "Indonesia ini akan melakukan perubahan dari desa," katanya. Dengan memberikan pelatihan kepada para dai—yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk sikap dan pola pikir masyarakat—kita dapat menciptakan perubahan yang berkelanjutan.
Para dai memiliki peran penting dalam mentransformasi masyarakat, bukan hanya dari segi pengetahuan agama, tetapi juga dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya perubahan untuk masa depan yang lebih baik.
"Indonesia akan melakukan perubahan dari desa. Salah satunya adalah dengan melakukan pelatihan para dai, karena mereka termasuk orang yang berpengaruh dalam memberikan inspirasi dan mendorong perubahan," tuturnya.
Lebih lanjut, Prof. Arif menekankan bahwa teknologi dan pengetahuan (IPTEK) serta nilai-nilai moral dan spiritual (IMTAK) harus berjalan beriringan dalam setiap perubahan yang kita lakukan. IPTEK dan IMTAK ini bukanlah hal yang terpisah, tetapi harus saling mendukung agar kita dapat menciptakan perubahan yang lebih holistik dan berkelanjutan.
"IPTEK dan IMTAQ adalah hal yang tersambung. Dengan keduanya, kita dapat menciptakan perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat sekaligus berlandaskan nilai-nilai spiritual," tegasnya.
Dengan semangat kebersamaan yang terjalin dalam acara ini, kita diingatkan untuk terus memimpin dengan hati, berpikir jauh ke depan, dan bergerak aktif dalam mengatasi tantangan global.
"Jika kita tidak melakukan perubahan besar, lakukan perubahan pada diri sendiri. Semoga dari setiap langkah kecil yang kita ambil, perubahan besar untuk kebaikan dapat tercipta, dimulai dari diri sendiri, dari desa, dan akhirnya untuk Indonesia yang lebih baik," tegasnya.
Membangun Komitmen
Dalam ceramahnya yang penuh hikmah, Jazilul Fawaid menyampaikan pesan penuh inspirasi tentang kemenangan pertama Rasulullah SAW dalam berjihad pada peristiwa Perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan. Peristiwa bersejarah ini, di mana pasukan Islam yang hanya berjumlah 313 orang berhasil mengalahkan 1000 pasukan kafir, diiringi dengan turunnya wahyu Al-Qur'an, menjadi simbol kekuatan yang datang dengan izin Allah.
“Mengapa kita menang?” tanya Jazilul Fawaid dengan penuh semangat. Beliau membandingkan kejadian ini dengan kisah Nabi Daud yang mengalahkan Goliat, yang juga merupakan contoh kemenangan kelompok kecil atas kelompok besar dengan izin Allah. "Saya membandingkan peristiwa ketika Daud melawan Goliat, ada potongan ayat yang berbunyi 'kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah'. Izin Allah akan turun jika kita disiplin dan punya manajemen yang baik. Selama itu tidak ada, meskipun kita berkumpul di lapangan."
Jazilul Fawaid menegaskan bahwa kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar terjadi karena disiplin dan semangat kuat umat Islam, meskipun dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadhan. Pasukan muslim menunjukkan bahwa dengan izin Allah, mereka dapat mengatasi tantangan besar meskipun dalam kondisi yang sulit.
"Pasukan muslim disiplin dan semangat yang kuat dari umat Islam menjadi kunci kemenangan mereka. Padahal itu terjadi pada bulan Ramadhan, saat mereka sedang berpuasa," tutur Jazilul Fawaid.
Jazilul Fawaid juga mengingatkan umat Islam Indonesia bahwa semangat kemerdekaan yang diraih pada bulan Ramadhan adalah bukti nyata kekuatan iman dan ketakwaan. Proklamator kemerdekaan pun menjalankan ibadah puasa saat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Beliau mengingatkan kita, umat Islam Indonesia yang juga merayakan kemerdekaan bangsa ini pada bulan Ramadhan, untuk menggali semangat yang terkandung dalam kedua peristiwa tersebut. "Proklamator kita berpuasa juga. Jadi, semangat kemerdekaan itu semangat Ramadhan," katanya.
Dengan berpuasa, kita diajarkan untuk menahan diri dan mengelola energi dengan bijak. “Ramadhan mengajarkan kita untuk berkata tidak pada sesuatu yang dibolehkan. Inilah komitmen yang perlu kita bangun dalam hidup sehari-hari," jelasnya.
Dalam ceramah tersebut, Jazilul Fawaid juga menekankan perbedaan antara puasa dan lapar. “Puasa itu bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga untuk meninggikan diri. Jika kita hanya bisa berkata ‘tidak’, namun tidak ada perubahan yang lebih baik, maka itu belum sepenuhnya memahami makna puasa,” ungkapnya.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa banyak orang yang berpuasa hanya mengalami lapar dan haus, namun nilai puasa yang sesungguhnya jauh lebih dalam. Puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh Allah, tidak bisa dipamerkan seperti ibadah lainnya.
Mengakhiri ceramahnya, Jazilul Fawaid menyampaikan betapa besar pengaruh Rasulullah SAW dalam mengubah masyarakat Arab yang sebelumnya berada dalam keadaan jahiliyah. "Dengan mengubah moralitas dunia menjadi moralitas akhirat, Rasulullah SAW tidak hanya memimpin dengan kata-kata, tetapi dengan teladan yang mampu membawa perubahan yang mendalam bagi umat manusia," tuturnya.
Membentuk Karakter Bangsa
Dalam ceramahnya, Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengajak semua pihak untuk melihat pentingnya pendidikan usia dini sebagai dasar pembentukan karakter bangsa. Dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sejak dini, diharapkan generasi mendatang akan tumbuh menjadi individu yang berakhlak mulia dan bebas dari korupsi. Pendidikan usia dini bukan hanya tanggung jawab swasta, tetapi juga memerlukan perhatian dan komitmen dari pemerintah.
Anis mengungkapkan kegelisahannya tentang fenomena korupsi yang marak terjadi, terutama di kalangan orang-orang dengan pendidikan tinggi. Ia mempertanyakan, mengapa banyak pejabat atau orang yang korup justru berasal dari kalangan yang berpendidikan tinggi.
"Korupsi ada di mana-mana. Tapi kenapa yang korupsi itu pendidikannya tinggi-tinggi? Universitas yang terkenal malah nyolong. Ini masalah luar biasa. Kenapa sekolah tinggi-tinggi malah korup?" ujar Anies.
Anies menyoroti bahwa pendidikan tinggi seringkali tidak menekankan nilai kejujuran dan tidak selalu berbanding lurus dengan karakter dan integritas. Bahkan, Anies menjelaskan bahwa banyak universitas yang tidak menekankan nilai kejujuran dan integritas dalam kurikulumnya.
Namun, ada satu hal yang menarik, yakni di Universitas Paramadina, terdapat mata kuliah Anti-Korupsi sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa.
"Di Universitas Paramadina, ada mata kuliah anti korupsi sebagai MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) wajib, satu-satunya di Indonesia," terangnya.
Anies Baswedan menekankan pentingnya pendidikan usia dini dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan di usia dini, dari 0 hingga 6 tahun, dianggap sebagai fase kritis dalam perkembangan moral dan karakter anak.
"Kenapa? Karena pendidikan yang penting adalah pendidikan usia dini, dari usia 0 hingga 6 tahun," jelasnya, merujuk pada penjelasan John Hartman, pemenang Nobel, yang menekankan bahwa fondasi karakter dibangun sejak usia dini.
Pendidikan usia dini, menurut Anies, adalah kunci utama dalam membentuk karakter bangsa. Seluruh pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang membentuk pribadi yang jujur, bertanggung jawab, dan memiliki integritas dimulai di pendidikan anak usia dini (PAUD).
"Seluruh pendidikan karakter itu adanya di TK. Bukan sekadar institusi TK-nya, tapi usia dini. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan usia dini yang baik akan memiliki dasar moral yang kuat dan nilai-nilai kejujuran yang tertanam sejak kecil," tegas mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu.
Anies mengungkapkan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan usia dini yang baik akan menghadapi konsekuensi di kemudian hari. "Pada usia senior, biaya kesehatan yang ditanggung olehnya akibat pada usia dini tidak mendapatkan pendidikan yang benar bisa sangat besar," tuturnya.
Namun, meskipun pendidikan usia dini memiliki peran yang sangat vital, Anies menyampaikan fakta yang mengejutkan bahwa saat ini, 96 persen penyelenggaraannya masih berada di tangan sektor swasta, sementara hanya 4 persen yang diselenggarakan oleh negara. Ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan usia dini yang berkualitas.
Anies menceritakan pertemuannya dengan mantan Mendikbud Daud Yusuf, yang menyatakan bahwa seorang menteri pendidikan idealnya menjabat selama 10 tahun untuk memastikan kesinambungan dan stabilitas kebijakan pendidikan.
"Jika Menteri Pendidikan diganti-ganti setiap saat, apalagi jika penggantian tersebut dilandasi kepentingan politik tertentu, maka kita akan terus-menerus kehilangan kesinambungan dalam pembangunan pendidikan," ujar Anies.
Banyak anak-anak yang tumbuh dalam iklim korupsi tanpa kesadaran akan bahaya dan dampak negatifnya. Sistem pendidikan saat ini, terutama di usia dini, perlu membekali anak-anak dengan kemampuan untuk menghadapi situasi yang tampak baik tapi tidak benar.
"Pendidikan usia dini adalah kunci untuk membangun bangsa yang berintegritas dan berkarakter kuat. Mari kita jadikan anak-anak kita sebagai generasi yang memiliki moralitas tinggi dan mampu membawa perubahan positif bagi Indonesia," tutup Anies Baswedan.
Komentar