Protes Mahasiswa Terhadap Pembangkangan Konstitusi Sia-sia, Toh Semua Paslon Pilkada Dikendalikan Parpol?
Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
ASKARA - Berjuang dalam demokrasi, baik didalam sistem atau melalui protes jalanan itu sia-sia. Baru saja, kita menyaksikan kesia-siaan itu.
Lihatlah, awalnya rakyat bersuka ria dengan putusan MK, karena turunnya batas ambang pencalonan Pilkada. Di Pilkada Jakarta dengan DPT 8,2 juta, syarat itu turun hingga hanya 7,5 %. Berharap, dengan turunnya batas ambang ini, calon Kepala Daerah bisa muncul sesuai kehendak rakyat. Artinya, rakyat berdaulat menentukan pemimpin.
Namun, tiba-tiba wakil rakyat di DPR malah hendak menganulirnya. DPR membahas RUU Pilkada, yang isinya mengembalikan syarat pencalonan kembali menjadi 20 % jumlah kursi atau 25 % dari total perolehan suara.
Hampir saja disahkan di paripurna. Namun, karena gelombang protes mahasiswa, DPR mundur. Tak jadi mengesahkan RUU Pilkada, dan menyatakan akan patuh pada putusan MK.
Setelah putusan MK dijadikan pedoman oleh KPU untuk pencalonan, ternyata faktanya bukan rakyat yang berdaulat tetapi tetap oligarki dan partai politik. Pilkada Jakarta adalah contoh kongkritnya.
Kedaulatan rakyat itu tidak ada, hanya mitos, meskipun sudah ada putusan MK, meski sudah ada demo mahasiswa menolak RUU Pilkada, meski akhirnya KPU menjadikan putusan MK sebagai syarat pencalonan.
Lihatlah ! Anies Baswedan yang banyak dikehendaki maju Pilkada, tetap tak bisa maju. Karena kendali pencalonan bukan ada pada rakyat, tetapi tetap ditangan Parpol.
Meski sudah turun 7,5 % dan PKS bisa mengusung calon sendiri, PKS tetap bersama KIM Plus. PKS terkunci di sejumlah Pilkada, yang berkolaborasi dengan KIM Plus.
Dan boleh jadi, PKS harus membayar harga tidak mencalonkan Anies dalam Pilkada sebagai syarat bergabung di Pemerintahan Prabowo Gibran. PKS tak jadi mengusung Anies, yang awalnya menyatakan kendala keterbatasan kursi (hanya punya 18 kursi dari 22 kursi yang di persyaratkan).
PDIP pun, di injury time mem-PHP Anies. Tak jadi mengusung Anies, malah mengusung Paslon PORNO (Pramono - Rano). Pramono pun mengakui, telah mendapat restu Jokowi. Jadi, tetap saja Parpol dan penguasa yang punya peran, bukan rakyat.
Sementara PKB dan NasDem tetap konsisten bersama PKS, ikut mendukung calon KIM Plus yaitu Paslon RAKUS (RK-Suswono). PKB yang dikabarkan akan mengusung Anies bersama Hanura dan Partai buruh, buru-buru mengklarifikasi bahwa hal itu tidak benar.
Akhirnya, Pilkada Jakarta akan diikuti oleh Paslon PORNO, Paslon RAKUN dan satu lagi pembegal KTP Paslon DRAKUN (Dharma Pongruken - Kun Wardhana).
Fenomena Parpol mengendalikan Paslon, itu terjadi di semua Pilkada. Tak ada calon maju, kecuali atas restu Parpol dan oligarki. Sementara rakyat, tak punya kendali untuk menentukan calon pemimpin.
Lalu, apa gunanya putusan MK? Apa gunanya demo mahasiswa?
Hanya menguntungkan PDIP. Tidak menguntungkan rakyat.
Putusan MK dan demo mahasiswa, hanya menyebabkan PDIP bisa mengusung Paslon sendiri, setelah sebelumnya di isolasi oleh KIM plus. Sementara rakyat, tak punya kendali untuk menentukan calon.
Rakyat hanya dijadikan kerbau yang dicucuk hidungnya, untuk datang ke TPS dan memilih calon yang sudah ditetapkan parpol. Itulah hakekat demokrasi, tak ada kedaulatan rakyat. Yang berdaulat adalah parpol dan oligarki yang menyokong modal mereka.
Komentar