Minggu, 28 April 2024 | 09:56
NEWS

Debat Perdana Capres 2024, INFID Nilai Komitmen HAM 3 Capres Masih Normatif

Debat Perdana Capres 2024, INFID Nilai Komitmen HAM 3 Capres Masih Normatif
Debat Perdana Capres 2024

ASKARA – Debat resmi perdana tiga calon presiden (capres) RI selama lebih dari 2 jam dinilai belum memberikan jawaban dan komitmen konkret mengenai pemenuhan HAM. Debat pertama ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum RI pada Selasa (12/12/2023) malam. 

Debat pertama ini membahas mengenai pemerintahan, hukum, hak asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, peningkatan layanan publik, dan kerukunan warga. 

Menanggapi debat tersebut, Program Officer HAM & Demokrasi INFID Ari Wibowo menilai ketiga paslon cenderung memberikan jawaban-jawaban naratif, normatif dan belum menyentuh aspek alternatif kebijakan dan regulasi. 

"Padahal, praktek pemenuhan HAM di seluruh sektor sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang merujuk kepada adanya kebijakan dan regulasi yang konkret, baik di tingkat nasional maupun daerah," kata Ari kepada para wartawan, Kamis (14/12).

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan, beber Ari, menekankan secara berulang untuk menghadirkan aspek keadilan dari negara dan jaminan perlindungan HAM dari negara. 

Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto, tutur Ari, menyebut dirinya akan mempertaruhkan jiwa dan nyawanya untuk membela demokrasi dan HAM dalam visi misinya. 

Sementara Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo, sebut Ari, beberapa kali menyatakan ketegasannya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan mengedepankan kebijakan afirmatif dan dialog partisipatif. 

Ganjar, lanjut Ari, juga sempat menyebutkan perlu kembalinya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) yang mengatur tentang hak korban pelanggaran HAM.

Ketiga Capres dinilai Ari tidak banyak menyampaikan gagasan pemenuhan HAM pada sektor yang lebih luas dan gagasannya cenderung seputar isu pelanggaran HAM yang berhubungan dengan penghilangan nyawa dan kasus orang hilang.

"Padahal, dalam Indeks HAM 2023 dari SETARA Institute dan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) menunjukkan bahwa terjadi penurunan skor indeks HAM yaitu 3,2 (2023) dari sebelumnya 3,3 (2022) pada rentang skala 0-7,00. Rendahnya skor ini juga terlihat pada aspek pemenuhan HAM di sektor hak sipil politik, serta hak ekonomi, sosial, dan budaya," tegas Ari.

Ari mengatakan, langkah pemenuhan hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) tidak terbahas dengan mendalam.

"Padahal, Indeks HAM 2023 SETARA Institute dan INFID menunjukan penurunan skor KBB, dari sebelumnya 3,7 pada 2022 menjadi 3,4 di 2023. Capres Anies dalam debat mengklaim kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan izin pendirian rumah ibadah dengan jumlah tertinggi, namun hasil fact check masih didominasi pada izin rumah ibadah agama mayoritas," ungkap Ari.

Ari berpendapat, turunnya skor pemenuhan hak KBB ini menunjukkan semakin lekatnya iklim intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran KBB lainnya. 

"Penolakan pendirian beberapa tempat ibadah seperti Gereja Elim Kristen Indonesia di Kota Medan, Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Rhema Sandubaya di Mataram, Gereja Manunggal Kasih Pancasila di Semarang, Masjid Yayasan Imam Syafii di Jember, Gereja Wesleyan Indonesia El Shaddai di Tegal, hingga pembakaran balai pengajian milik Muhammadiyah di Bireun, Aceh adalah beberapa dari potret banyaknya hak KBB yang belum terlindungi oleh negara," urai Ari.

Ari meyakini, belum direvisinya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 (PBM 2 Menteri) menjadi akar dari masih masifnya gangguan terhadap pendirian rumah ibadah.
 
"Di lingkungan pendidikan, pembatalan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang pembebasan penggunaan pakaian di sekolah melanggengkan kasus pemaksaan atribut keagamaan di berbagai tingkat pendidikan, di antaranya pemaksaan pemakaian jilbab di SDN Jomin Barat Cikampek Karawang hingga penggundulan siswi karena tidak menggunakan dalaman hijab di Jawa Timur," papar Ari.

Menurut Ari, komitmen-komitmen konkret dalam menghadirkan regulasi yang inklusif untuk menjawab permasalahan ini belum terlihat dari ketiga capres, sehingga belum ada terobosan baru pemenuhan HAM yang tersampaikan dalam debat kemarin.

Ari juga melihat ketiga capres juga belum ada yang secara gamblang menekankan komitmennya untuk mengupayakan pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan pembentukan regulasi dalam bentuk ratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT). 

"Penurunan skor paling telak yakni hak atas tanah pada Indeks HAM 2023 sebesar -1,5 dibanding Indeks HAM 2019 dan -0,3 dibanding pada Indeks HAM 2022 menjadi implikasi dari masih menjalarnya konflik agraria. Pada banyak kasus terkait konflik agraria, banyak berujung pada intimidasi, kriminalisasi, bahkan korban pada pejuang HAM dan Lingkungan. Selain itu, gagasan konkret dalam pemenuhan, perlindungan, dan pemulihan cepat hak para Pembela HAM dan Lingkungan juga tidak dibahas sepanjang sesi debat," imbuh Ari.

Oleh karenanya, tukas Ari, INFID menuntut seluruh paslon memiliki prioritas penegakan HAM dalam programnya, di mana langkah-langkah afirmatifnya tertuang secara konkret, gamblang, dan terukur. 

Ari mengingatkan, presiden mendatang merupakan aktor kunci lahirnya regulasi dan sistem pemerintahan yang berperspektif HAM yang lebih baik. 

"Maka, kepiawaian Capres dalam memetakan masalah dari hulu ke hilir, pada level daerah hingga pusat, dan melihat serta mengambil kebijakan yang tepat sangatlah vital sehingga komitmen penegakan HAM harusnya bukan hanya terangkai dalam pesan-pesan naratif dan normatif semata, namun menjangkau kepada penjabaran strategi yang dapat dipertanggungjawabkan perwujudannya dan ditagihkan komitmennya," pungkas Ari Wibowo.

Komentar