ASKARA - Sejumlah anggota di Komisi IV mendorong pembentukan Panitia Kerja (Panja) Perunggasan guna mengatasi sengkarut persoalan yang telah berulangkali terjadi dan dikeluhkan para peternak rakyat, baik peternak broiler maupun layer.

Sengkarut persoalan itu diantaranya yakni tentang tingginya harga sarana produksi peternakan, namun harga jualnya cenderung murah. Contohnya, seperti harga jagung yang kini sudah menyentuh angka Rp. 6.400 - Rp 6.500.

Anggota Komisi IV DPR Slamet menyampaikan, sengkarut permasalahan perunggasan merupakan masalah klasik yang semestinya bisa diselesaikan pemerintah dengan cepat.

"Panja ini menjadi solusi sebagai hak pengawasan dari DPR untuk kita lakukan," kata Slamet usai rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Para peternak yang tergabung ke dalam Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), di komisi IV DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/9). 

Wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Sukabumi Jawa Barat itu menyampaikan, dengan adanya panja, maka Komisi IV DPR RI dapat mengurai dengan detail permasalahan tata niaga perunggasan, seperti masalah pakan ternak, produksi, dan sinkronisasi data.

Selain itu, Panja juga memiliki memiliki kewenangan untuk memanggil sejumlah stakeholder, seperti Kementerian Pertanian, Bulog, Badan Pangan Nasional (Bapanas), PT Berdikari, dan ID Food dan pihak-pihak lain.

"Ya, nanti kita urai tadi beberapa permasalahan yang disampaikan peternak itu kita cari tahu kepada pemerintah seperti ini. Itu yang akan kita urai penyebabnya," kata Slamet.

"Kita urai tadi beberapa permasalahan yang disampaikan peternak itu kita cari tahu kepada pemerintah seperti ini, jagung tidak ada, harganya tinggi, HAP tidak sesuai dilapangan, itu yang akan kita urai penyebabnya," sambung dia.

Selain itu, kata Slamet, Panja Perunggasan juga membuka peluang untuk merekomendasikan revisi peraturan perundangan yang kurang berpihak kepada peternak rakyat seperti Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 

"Termasuk nanti, kita lihat di panja ada hal yang harus direvisi ya kita revisi, karena memang di UU (Nomor 18 tahun 2019) itu ada klausul yang memperbolehkan perusahaan itu bergerak dari hulu ke hilir, Ini sumber kematiannya disitu," tegas dia.