Rabu, 08 Mei 2024 | 23:09
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Unhas Menjadi A World-Class University

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Unhas Menjadi A World-Class University
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS memberikan orasi ilmiah pada kuliah umum di Universitas Hasanuddin (UNHAS), Kampus UNHAS, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 9 Februari 2023.

Salah satu hal yang dibahas oleh Prof Rokhmin Dahuri dalam orasi ilmiahnya adalah Pemetaan Kebutuhan Iptek Dan SDM Untuk Pembangunan Blue Economy Di Era Vuca (Volatile, Uncertain, Complex, And Ambiguous) Dan Perubahan Iklim Global.

Prof Rokhmin Dahuri mengawali kuliah umumnya dengan menjabarkan sejumlah persoalan bangsa Indonesia dan peluang Indonesia menjadi negara maju, adil, makmur dan berdaulat yakni dengan memanfaatkan potensi kekayaan alam dari sektor kelautan dan perikanan.

Salah satu hal penting yang digarisbawahi oleh Prof Rokhmin Dahuri adalah peningkatan peran Unhas dalam menghasilkan Inovasi Ipteks dan SDM menuju Indonesia sebagai PMD Dan Indonesia Emas 2045.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut mendorong Unhas untuk meningkatkan kapasitasnya menjadi a World-Class University untuk menghasilkan 3 output Tri Dharma Perguruan Tinggi.

“Untuk menghasilkan lulusan SDM unggul, invensi dan inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat yang mensejahterakan rakyat serta turut membangun Dunia yang lebihsejahtera, adil, damai, dan berkelanjutan (sustainable),” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri memberikan gambaran Umum Perguruan Tinggi Indonesia. Pada 2020 ada 4.593 Perguruan Tinggi, 8,48 Juta Mahasiswa terdaftar, 29.413 Program Studi, 312.890 Dosen.

Dari dua puluh Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia 2020 – 2022, menurut Kemenristek Dikti/Kemendikbud Ristek, pada tahun 2020 Universitas Hasanuddin menempati no 7, lalu pada tahun 2021 masuk no 14, kemudian pada tahun 2022 masuk nomor 13.

Peringkat Perguruan Tinggi menurut QS World University Rangkings (2022) universitas Hasanuddin pada peringkat 1001 – 1200. Semetara, pada Peringkat Perguruan Tinggi menurut QS Asian University Rangkings (2022) Universitas Hasanuddin pada 351-400.

Maka, sambungnya, Prof. Rokhmin Dahuri merekomendasikan untuk Unhas menjadi A World-Class University, antara lain: Pertama, Pendirian PRODI baru: (1) INDUSTRY 4.0, (2) SOCIETY 5.0, dan (3) “Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan” terutama “Science and Technology of Changing Planet”.

Kedua, penambahan Mata Kuliah baru yang wajib diikuti oleh semua PRODI: (1) Teknologi dan Ekonomi Digital (Digitalisasi, IoT, AI, Blockchain, Robotics, Big Data, Cloud Computing, dan Metaverse); (2) Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Ekonomi Pancasila.

Ketiga, Implementasi MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) semaksimal dan sebaik mungkin. Keempat, penambahan dan penguatan Dosen dan tenaga non-akademik berkelas dunia.

Kelima, renovasi dan pembangunan baru infrastruktur dan sarana Kampus, seperti Laboratorium yang lengkap, fasilitas gedung dan ruang belajar yang memadai, dukungan fasilitas perpustakaan dan sebagainya.

Keenam, semua komponen UNHAS (Dosen, Mahasiswa, Tenaga Non-Akademik, dan Pimpinan) mesti mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan bekerjasama secara sinergis. Ketujuh, peningkatan Kolaborasi Penta Helix: UNHAS – Pemerintah – Industri (Swasta) – Masyarakat – Media Masa. Kedelapan, Perbaikan tata kelola (governance) UNHAS.

“Kemudian kesembilan, Peningkatan anggaran: APBN, APBD, Donasi (nasional dan luar negeri), dan lainnya,” sebut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, Indonesia sebagai negeri terjajah secara politik-ekonomi berawal dari digantikannya UU No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan beberapa UU yang berwatak kapitalistis, yakni UU tentang Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan yang membebaskan investor asing dan konglomerat nasional untuk mengeksploitasi ESDM dan hutan secara besar-besaran, yang sebagian besar ‘economic rent’ nya dinikmati oleh korporasi asing/MNC (Freeport, Newmont, Cevron, Inpex, Korindo, dll), konglomerat Indonesia, dan pejabat komprador (OLIGARKI).

“Padahal, UUPA sangat berpihak pada rakyat, khususnya petani, dan anti kapitalis. Revolusi (demokrasi) Indonesia tanpa land reform, sama saja dengan gedung tanpa pondasi, sama saja pohon tanpa akar/batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.  Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk petani.  Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah (Pidato Presiden Soekarno, 1965),” tandasnya.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, gambaran Umum UMKM dalam Perekonomian Indonesia. Yakni:  Kredit Perbankan bagi UMKM dan Usaha Besar; Kredit perbankan untuk UMKM masih berkisar 20%. “Padahal, persentase jumlah unit usahanya 99,99%,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Selain itu, sambungnya, dominasi saham asing terhadap aset negara. Seperti, Operator Indosat, XL, Telkomsel Sektor kimia, industri otomotif, pertambangan, energi  dikuasai Qatar, Singapura dan Malaysia.

Lalu, barang-barang konsumsi seperti Sabun Lux :  Inggris, Pasta gigi Pepsodent: Inggris, Susu SGM: Belanda, Teh Sariwangi: Inggris, Rokok Sampoerna: USA, Aqua air mineral: Perancis. Sedangkan untuk Ritel Giant dan Hero: Malaysia, Circle K : USA, Air mineral aqua : Perancis

Disisi lain, kata Prof. Rokhmin Dahuri, populasi dunia diperkirakan akan tumbuh hingga hampir 10 miliar pada tahun 2050, meningkatkan permintaan pertanian – dalam skenario pertumbuhan ekonomi sedang – sekitar 50% dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan pendapatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah akan mempercepat transisi pola makan menuju konsumsi daging, buah-buahan dan sayuran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan sereal, membutuhkan pergeseran output yang sepadan dan menambah tekanan pada sumber daya alam (FAO, 2017).

Pertambahan penduduk menyebabkan permintaan akan produk pangan terus meningkat dan berdampak pada ketersediaan lahan. “Hampir 800 juta orang mengalami kelaparan kronis dan 2 miliar menderita defisiensi mikronutrien (FAO, 2017). Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk menjadi negara-bangsa   yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas),” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, pertama kali dalam sejarah NKRI pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10%. Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang. Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas.

Lalu, Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1. Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas global (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Secara ukuran ekonomi, lanjutnya, dari 200 negara PBB di dunia, Indonesia hanya 16 negara dengan PDB US$ > 1 trilyun.  Pada Juli 2021, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah.

Menurutnya, tantangan pembangunan utama Indonesia adalah bahwa sudah 77 tahun merdeka, tetapi status (pencapaian) pembangunannya baru sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country), atau Negara berpendapatan menengah kebawah dengan GNI (Gross National Income) per kapita hanya  3.870 dolar AS pada 2021 (Bank Dunia, 2021).

Hingga Juli 2022, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas. Jika dibandingkan dengan Thailand sudah 7,050, Malaysia 10,580, Brunei Darussalam 32,230, Singapura 54,920. “Ini harus segera diatasi, sebab dari sekitar 194 negara anggota PBB, sampai sekarang baru 55 negara (28 persen) yang telah mencapai status negara maju dan makmur,” tuturnya.

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 472.525/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2020 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni  pengeluaran Rp 504.469/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017).

Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Pada 2016, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016). Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.

Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015).

“Sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Institute for Global Justice.

Disamping itu, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB  menurut Pulau, Triwulan I dan II-2021 masih di dominasi oleh kelompok provinsi pulau jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-1 sebesar 58,70% dan tw-2 sebesar 57 %.

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur).

“Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” tandasnya.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri juga membeberkan sejumlah hal diantaranya menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%), dimana dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%).

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). “Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022),” terangnya.

Masalah lainnya, kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” tandasnya.

Disamping itu, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Indeks Pembangunan Manusia Hingga 2021, Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Prof Rokhmin Dahuri menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ad fakror internal, ada pula faktor eksternal,” katanya.

Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat itu menyebutkan, faktor internal tersebut yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) relatif rendah.

Kemudian, sistem politik demokrasi liberal (Kapitalisme) yang sarat dengan politik uang dan kemunafikan, keadilan dan penegakkan hukum buruk, dan KKN massif.

“Selain itu, belum ada pemimpin yang capable, negarawan, IMTAQ kokoh, dan ikhlas membangun bangsa,” ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Adapun kaktor eksternal, kata dia, antara lain keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang. “Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek  yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global,  pandemi Covid-19, dan pertarungan ideologi,” paparnya.

Prof Rokhmin menyayangkan,  hampir semua indikator yang terkait dengan nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (‘jago kandang’).

Sementara kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh ‘innovation-driven economy’ (O’Connor and Kjollerstrom, 2008; Altbach and Salmi, 2011; dan Guggenheim, 2012). Terlebih di dunia yang hyper interconnected dan  Globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition  inovasi adalah kunci untuk memenangi persaingan. “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” sebutnya.

Key Global Trends Yang Mempengaruhi Kehidupan Umat Manusia Di Abad-21

Pada prinsipnya ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.

Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021).

Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan  kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.

Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.

Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi.

Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016). Namun, hingga saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja (e-commerce dan e-government).

“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Ketiga, Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).

Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).

Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.

Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).

Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).

Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015). Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut.

Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Hingga 2022, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN

Penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan. Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.

Implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%. (UNCTAD dan UNDP, 2021).

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, 4 Pilar (Neo) Kolonialisme: Posisi Indonesia sebagai negeri terjajah secara politik-ekonomi, yaitu: Tempat Penanaman Modal Asing, Sumber Bahan Mentah, Sumber Buruh Murah, Tempat Pemasaran Hasil Produksi Negara Maju. “Surplus ekonomi Indonesia sebagian besar dinikmati oleh asing, pengusaha besar, dan penguasa komprador,” ujarnya.

Potensi Blue Economy

Indonesia, beber Prof. Rokhmin Dahuri, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang 77% wilayahnya (termasuk ZEEI) berupa laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia mengandung potensi ekonomi berupa SDA terbarukan, SDA tidak terbarukan, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang luar biasa besar, sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun atau 1,5 kali PDB Indonesia dan dapat menciptakan lapangan kerja bagi sedikitnya 45 juta orang (30% total angkatan kerja).

Sebelas (11) sektor Ekonomi Kelautan yang potensi nilai ekonominya US$ 1,4 trilyun/tahun itu dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (> 7%/tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), mengurangi ketimpangan ekonomi, mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah, dan memperkuat kedaulatan pangan, energi, farmasi, dan mineral.

Secara geoekonomi dan geopolitik, letak Indonesia sangat strategis, dimana sekitar 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai ekonomi rata-rata US$ 15 trilyun/tahun dikapalkan melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2016). 

Menurutnya, lautan global memberi umat manusia barang dan jasa ekosistem penting yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.

Lautan tidak hanya penting bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan lingkungan dan kelangsungan hidupnya (Noone et al., 2013). Yakni: 1. Ekonomi, 2. Rekreasi dan spiritual, 3. Keamanan dan pertahanan, 4. Ekologi.

5. Penelitian dan pendidikanSelat Malaka sebagai bagian dari ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika.  Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal/tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).  Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar/hari atau Rp 80,7 trilyun/tahun. 

“Malangnya, sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global. Landscape Geopolitik Saat Ini Indonesia Berada Diantara Persaingan Internasional Antara Kekuatan Besar (Great Power),” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Lautan, Universitas Bremen, Jerman itu.

Karena, menurutnya, lokasi Indonesia sangat strategis di wilayah Indo-Pasifik, yaitu: 1. Pintu masuk alur pelayaran, 2. Askes ke pasar dan 3.  Akses ke sumber daya di kawasan Indo-Pasifik.

ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) yang secara kontinu bergerak bolak-balik dari Samudera Pasifik ke S. Hindia berfungsi sebagai ‘nutrient trap’ (perangkap unsur-unsur hara)  Sehingga, perairan laut Indonesia merupakan habitat ikan tuna terbesar di dunia (the world tuna belt), memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi, dan potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut terbesar di dunia, sekitar 12 juta ton/tahun (13,3% total MSY ikan laut dunia) (Dahuri, 2004; KKP, 2021; dan FAO, 2022).

Sebagai bagian utama dari ‘the World Ocean Conveyor Belt’ (Aliran Arus Laut Dunia) dan terletak di Khatulistiwa, Indonesia secara klimatologis merupakan pusat pengatur iklim global, termasuk dinamika El-Nino dan La-Nina (NOAA, 1998). 

Kondisi oseanografi, geomorfologi, dan klimatologi NKRI menjadikan Indonesia sebagai pusatnya energi kelautan dunia yang terbarukan (renewable), seperti arus laut, pasang surut, gelombang, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang potensinya mencapai 10.000 megawatts, dan sampai sekarang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen.

SDA dan ruang pembangunan di daratan semakin menipis atau sulit untuk dikembangkan.  Padahal, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya belinya, permintaan akan SDA, ruang pembangunan, dan jasa-jasa lingkungan bakal semakin berlipat ganda  Laut sebagai ‘development space’: kota, pemukiman, dan kegiatan ekonomi.

Suatu negara-bangsa akan lulus dari jebakan negara-mengah menjadi maju, makmur, dan berdaulat, bila ia mampu mengembangkan keunggulan kompetitif berdasarkan pada keunggulan komparatif nya (Porter, 2013). Bagi Indonesia, keunggulan komparatif utamanya adalah geokonomi, SDA, dan jasa-jasa lingkungan kelautan. 

Sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Emporium Inggris, Amerika Serikat, dan akhir-akhir ini China adalah karena ketiga negara adidaya tersebut menguasai lautan, baik secara ekonomi maupun hankam.  Maka, tepat yang dinubuatkan ahli strategi pertahanan dunia, AT. Mahan (1890), ‘who rules the waves, rules the world’.  Siapa yang menguasai lautan, dia akan menguasai dunia.

Blue Economy

Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru pada dasarnya muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme): Sebelum Pandemi Covid-19; 2 miliar orang miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.

Ekonomi Hijau adalah salah satu yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sementara secara signifikan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (UNEP, 2012). “Pada dasarnya Blue Economy merupakan penerapan Green Economy di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012),” terangnya.

Sedangkan Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut (World Bank, 2016).

Blue Economy adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir. Ini mencakup berbagai sektor-sektor ekonomi mapan (established sectors) dan sektor-sektor ekonomi yang baru berkembang (emerging sectors) (EC, 2020). Blue Economy juga mencakup manfaat ekonomi kelautan yang mungkin belum bisa dinilai dengan uang, seperti Carbon Sequestrian, Coastal Protection, Biodiversity, dan Climate Regulator (Conservation International, 2010).

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik hijau, (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan (3) pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. (PEMSEA, 2011; UNEP, 2012).

Sedangkan perbedaan antara Red/Brown Economy, Green Economy, dan Blue Economy adalah Karakteristik dan Prinsip-Prinsip Ekonomi Biru efisiensi alam, Bebas Sampah & Sistem siklus produksi, Inklusivitas Sosial, Inovasi dan adaptasi

Beberapa Efek EkonomiEkonomi Kelautan (Marine Economy) yaitu  kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2021.

Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau atau 30 persen total angkatan kerja Indonesia. Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

“Namun, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  lebih besar dari 30 persen,” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.Estimasi Nilai Ekonomi Sektor- Sektor Ekonomi Kelautan Indonesia.

Prof. Rokhmin Dahuri juga sebagai Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidamg Kelautan dan Perikanan menjelalskan isu dan tantangan pembangunan  Blue Economy Indonesia. Yaitu: 1. Kecuali sektor ESDM, usaha di sektor-sektor kelautan lainnya (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan pariwisata bahari) dilakukan secara tradisional (low technology & management) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan SD, produktivitas, dan efisiensi usaha (bisnis) pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

2. Investasi dan bisnis sektor kelautan yang besar (korporasi), modern, dan sangat menguntungkan (ESDM, Kawasan Industri, Properti, dll) pada umumnya kurang nasionalismenya  Sebagian besar profit nya dibawa ke Jakarta atau negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak.

3. Kecuali perikanan tangkap, tingkat pemanfaatan sektor-sektor ekonomi kelautan lainnya belum optimal (underutilized)  Kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah (15%).

4. Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga (Rantai Nilai) Perikanan sangat marginal  Nelayan dan Pembudidaya terjebak dalam Kemiskinan Struktural.

5. Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya  Kemiskinan Struktural.

Kontirbusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials).  Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).

Kontirbusi sektor perikanan 2,74% terhadap PDB hanya dihitung dari bahan baku (raw materials).  Bila dimasukkan produk olahannya (ikan kaleng, ikan fillet, bandeng presto, breaded shrimp, dan surimi-based products), kontribusinya sekitar 6% (Bappenas, 2014).

Sedangkan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Nasional terus meningkat. Total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 12,54 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 80% atau 10,03 juta ton.

6. Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. 7. Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain.

8. Kecelakaan dan keamanan di laut. 9. Dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain.

10 Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. 11. Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.

Namun, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa). Maka, sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘lower-middle income country’, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Cita-Cita Kemerdekaan – RI).

Secara ekonomi, Indonesia Emas 2045 akan terwujud, bila kita mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja), inklusif (mensejahterakan seluruh rakyat secara adil), ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable). Pertumbuhan ekonomi dengan lima sifat (ciri) diatas (butir-3) hanya dapat diwujudkan melalui implementasi Ekonomi Hijau, Ekonomi Digital, dan Ekonomi Spiritual (Pancasila).

Selain kebijakan pembangunan ekonomi yang benar dan tepat, infrastruktur yang mumpuni, dan Iklim Investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) yang kondusif; SDM unggul dan kapasitas inovasi merupakan kunci utama untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Perguruan Tinggi (PT) memegang peran yang paling sentral dan strategis di dalam membangun SDM unggul dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia.

“Untuk itu, Perguruan Tinggi (UNHAS) harus terus meningkatkan kapasitasnya (jadi a World-Class University) untuk menghasilkan 3 output utamanya/TRI DARMA: lulusan SDM unggul, invensi dan inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat yang mensejahterakan rakyat.  Serta turut membangun Dunia yang lebihsejahtera, adil, damai, dan berkelanjutan (sustainable),” imbih Prof. Rokhmin Dahuri.

Komentar