Jumat, 19 April 2024 | 23:21
OPINI

Indonesia Patut Malu Pada Qatar, Hancurkan Potensinya Sendiri

Indonesia Patut Malu Pada Qatar, Hancurkan Potensinya Sendiri
Pembukaan Piala Dunia 2022 di Qatar (int)

Oleh: Dr. Masri Sitanggang

Indonesia patut malu pada Qatar. Dengan teguh pada nilai-nilai Islam, Qatar mampu megangkat harkat martabat bangsa dan agamanya menumbangkan kesombongan Barat.  Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,  lebih memilih menjadi perpanjangan tangan Barat  mengerdilkan Islam, menghancurkan potensi besar yang dimilikinya.

Piala dunia 2022 telah membuka mata dunia  tentang banyak hal. Bukan saja aspek persepakbolaan, melainkan peradaban manusia secara luas. Aku barharap Indonesia juga ikut membuka mata, pikiran dan hati.  Qatar, patut dijadikan cermin bila Indonesia memang sungguh ingin besar dan maju.  

Luas negara Qatar cuma 2 kali propinsi bali. Penduduknya hanya 2,6 jutaan jiwa. Usianya pun masih terbilang sangat muda. Merdeka dari Inggeris pada tahun 1971. Meski di bawah tekanan opini buruk yang dilancarkan Barat –karena menerapkan syariat Islam,  Qatar mampu mengalahkan negara besar yang disebut “maju”, Amerika Serikat, dalam perebutan  tuan rumah pesta bergengsi empat tahunan: piala dunia 2022. Hebat !

Qatar menuai banjir pujian. Pesta piala dunia 2022 Qatar diakui dunia sebagai pesta terbaik dan termewah yang pernah ada. Menariknya, kekaguman dan pujian  tidak terbatas pada apa yang berkaitan dengan sepak bola, tepapi menyentuh  banyak sisi  utama kehidupan manusia.

Ayat suci al-qur’an yang dibaca pada acara pembukaan pesta dan suara azan yang dikumandangkan di setiap waktu shalat, telah menggetarkan hati ribuan penggemar bola yang datang dari berbagai negara. Ditambah aktivitas shalat berjemaah di masjid yang transparan dan pesan-pesan rasulullah yang dilukis di tempat-tempat umum membuat mereka terpikat pada Islam. Layanan masyakat Qatar di luar stadion –seperti misalnya memberi minuman dan makanan lezat gratis— membuat tetamu itu merasa diperlakukan sebagai saudara terhormat. Demonstrasi mengenakan hijab, dinikmati tetamu wanita non muslim sebagai sebuah pesta fashion yang menyenangkan. Ini benar-benar semacam pesta keluarga dunia yang tidak ada warna kulit, ras dan asal negara.

Hasilnya, selama pesta piala dunia itu saja, seribuan tamu masuk Islam. Ribuan lagi menyatakan tertarik untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Yang pasti, dari banyak testimoni, diketahui mereka tersadar bahwa mereka keliru. Selama ini mereka memiliki pandangan sangat negatip tentang Arab dan Islam. Kesan kasar, terbelakang, rasis, intoleran, radikal, ekstrim dan teroris yang ada di benak mereka akibat propaganda media dan pemimpin-pemimpin negara Barat, sama sekali tidak tergambar di negara Islam Qatar. Yang mereka temui justeru sebaliknya : ramah, akrab, kekeluargaan, damai, cinta dan kasih sayang, saling menghormati, memuliakan tamu dan  lain sebagainya yang jesteru tidak mereka dapatkan bahkan di negara mereka sendiri.  Mereka kemudian ramai-ramai membantah opini negatip tentang Islam yang gencar ditiupkan media Barat dan menyebutnya sebagai kesalahan fatal Barat akibat kecemburuan.

Wal hasil, Qatar tidak perlu repot melayani berbagai tuduhan yang ditebar media Barat. Tentang buruknya kemanan, tidak menghormati hak azasi manusia berkaitan dengan meninggalnya pekerja asing selama proses pembangunan stadion dan perlakuan terhadap wanita atau dilarangnya minuman beralkohol atau juga –yang paling keras, menolak LGBTQ dengan segala atributnya, justeru dilawan dengan keras oleh suporter bola dari Barat sendiri.

Qatar, kata mereka, lebih aman dari negara mereka sendiri. Banyak suporter wanita menyatakan merasa sangat-sangat nyaman karena tidak ada seorang pun yang jahil mengganggu, tidak seperti biasanya pesta bola dunia. Dari situ mereka memahami arti menutup aurat dan melarang alkohol, yang di negara mereka menjadi sumber gangguan keamanan. Bahkan berkenaan dengan LGBTQ, dikatakan, mestinya negara-negara pendukung LGBTQ itulah yang harus belajar menghormati hak-hak orang lain. Menghormati hukum dan budaya orang lain.  Dalam hal ini hukum dan budaya tuan rumah, Qatar.

Sejumlah jurnalis, yang coba mewawancarai suporter dengan maksud  mecari sisi negatip Qatar, malah dipermalukan oleh respondennya. Yang diwawancarai reporter FOX dan media Israel, misalnya, malah tegas membela Qatar dan mengeritisi jurnalis itu. Jurnalis tv Israel lebih tragis lagi. Banyak yang menolak diwawancarai seketika mengetahui reporter itu dari media Israel. Beberapa kejadian,  suporter luar Arab, Inggeris misalnya,  malah berteriak “free palestine” atau “save palestine” ketika diwawancarai. Satu sindiran keras, bahwa justeru Israel lah  yang sedang menginjak-injak --dan  oleh kerana itu mesti belajar menghormati, hak azasi manusia.

Soal LGBTQ, pemerintah diwakili menteri energi Qatar menjawab singkat ketika ditanya reporter tv Barat: 
“bukan saya yang bilang, tapi hukum Islam lah yang tidak menerima LGBTQ. Hukum kami berdasarkan hukum agama kami. Konstitusi kami berdasarkan agama kami. Kami bangga sebagai muslim dan kami tidak akan mengubah konstitusi demi apa dan siapa pun. Bila ada orang yang tidak suka dengan pendirian kami, mereka punya pilihan, anda punya hak untuk tidak datang.”

Pemerintah Qatar tegas menyatakan, LGBTQ adalah perilaku menyimpang. Jika perilaku menyimpang kemudian dianggap sebagai hak azasi, maka akan banyak sekali penyimpangan yang harus dibela.

Qatar  berani tegak menunjukkan identitas dirinya sebagai negara Islam. Negara mungil ini berhasil membalikkan opini dunia tentang Islam. Ia telah membuka kesadaran dunia tentang kejahatan media dan pemimpin-pemimpin Barat yang menyimpan kebencian kepada Islam. Pada saat yang sama,  Qatar mempertontonkan keagungan ajaran Islam dan budaya Islam.

Demikianlah, sehingga werleman, dua pekan sebelum piala dunia berakhir, berkata : “piala dunia masih tersisa dua pekan lagi, tapi pemenangnya sudah sangat jelas, yakni agama Islam”. Jurnalis australia yang tidak bergama ini megaku tidak pernah merasa dekat dengan Islam kecuali setelah mengalami suasana di Qatar. Ia pun mengecam media dan pemimpin-pemimpin Barat atas apa yang mereka lakukan selama ini. 

Indonesia patut merasa malu bila berkaca pada Qatar.  Negara yang 26 tahun lebih tua dan luasnya 500 kali dari Qatar ini, belum mampu menjadi tuan rumah pesta dunia dan belum mampu pula mengirim kesebelasan ikut berlaga. Tidak adakah, setidaknya, 30-an orang saja dari 275 juta penduduk Indonesia yang bisa ditempa untuk menjadi duta sepak bola ke pesta piala dunia?  Ada apa dengan persepakbolaan kita ?

Sebagai negara berpenduduk 87.2  % Islam dan merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, mestinya Indonesialah yang patut menjalankan peran seperti yang dilakukan Qatar itu. Indonesialah  mestinya jadi motor penggerak dan pelopor  dunia Islam melawan Islamophobia. Indonesilah seharusnya yang mempertontonkan kemulian Islam sebagai agama _rahmatan lil ‘alamin._ Ya, Indonesia mestinya menjadi pemimpin dunia Islam.

Tetapi itu tdak terjadi. Banyak event internasional di Indonesia, tidak sekali pun Indonesia menunjukkan identitas “negara muslim terbesar di dunia” yang kemudian menghasilkan sesuatu seperti yang dihasilkan Qatar. Padahal, negara ini berfalsafahkan pancasila, di mana nilai-nilai ketuhanan menjadi akar tunggangnya. Bahkan,  berkaitan isu anti Islamophobia pun Indonesia  seperti kehilangan suara.  Anti Islamophobia justeru disuarakan seorang wanita dari Amerika Serikat.

Ada apa dengan Indonesia ?

Selama ini Indonesia berkaca pada negara-negara Barat dan China yang dicitrakan sebagai “negara maju”.  Indonesia percaya akan citra itu, sehingga menjadikannya sebagai standar kemajuan dan, mungkin, role model pembangunan. Artinya,  sistem nilai dan alat ukur kemajuan masyarakat dan negara mengikuti sistem nilai dan alat ukur negara-negara tersebut. Bahasa kasarnya, dalam membangun negara, Indonesia menggunakan kaca mata Barat dan cihna. Karena itu, sadar atau tidak, Indonesia menempatkan diri di deretan belakang dalam lingkup tatanan peradaban mereka.

Karena yang dipakai adalah kaca mata Barat dan China, maka, sukar dihindari kalau kemudian banyak petinggi Indonesia  memandang Islam sebagai sesuatu yang buruk dan perlu mendapat perlakuan tertentu. Persis seperti pandangan dan sikap pemimpin negara- negara Barat dan China.  Jadi, alih-alih ingin memerangi Islamophobia dan menunjuknan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin kepada dunia –seperti  yang diperankan Qatar, Indonesia malah mengidap Islamoponbia berat dan ikut memberi warna kelam pada umat Islam. 

Saksikanlah bagaimana penanganan radikalisme-terorisme Islam di Indonesia. Entahlah, apakah ada negara lain yang melakukan hal itu seheboh Indonesia ?

Ada program deradikalisasi, yang sulit dibedakan dengan deIslamisasi. Islam di Indonesia didorong untuk memiliki cirinya sendiri yang tidak sama dengan di Arab. Maka dilahirkanlah “Islam Nusantara”.  Entahlah apa pula kitab rujukan Islam model ini selain Qur’an dan Sunnah Nabi?

Arab dicitrakan  sebagai keras, tebelakang dan tidak menggambarkan Islam yang benar. Hal-hal yang berbau Arab dijadikan bahan ejekan dan direndahkan.  Julukan kadrun dan kearab-araban adalah bagian dari pencitran buruk itu. Entahlah apakah mereka bermaksud agar umat Islam melepaskan cintanya dari rasulullah yang Arab itu, kitabnya yang berbahasa Arab dan kiblatnya ke Arab dls. Yang pasti, dan ini yang aneh, pengusung Islam nusantara  tidak pernah mengolok-olok dengan menyebut “kebarat-bartaan” dan “kechina-chinaan” kepada yang menggandrungi budaya Barat dan China.   

Bersamaan dengan Islam nusantara, diluncurkan pula gagasan moderasi agama, yang sesungguhnya dimaksud adalah moderasi Islam. Entah menyangkut ajaran dan keyakinannya, entah menyangkut pemaknaan  ajarannya; yang pasti, dapat diduga moderasi agama Islam dimaksudkan untuk membangun pemahaman dan sikap berIslam yang disesuaikan situasi lingkungan.  Berislamlah dengan menerima lingkungan sosial, bagimanpun adanya.

Dapatlah dimengerti kemudian megapa di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini suara azan sering dipersoalkan, disebut sebagai mengganggu ketentraman lingkungan. Azan, yang di Qatar, menggetarkan jiwa orang untuk mendekat pada Islam, di sini bahkan dianalogikan dengan suara gonggongan anjing.

Jadi, bagaimana gambaran wajah Indonesia bila bercermin pada Qatar yang disebut Barat tidak maju itu ? Di mana sesungguhnya posisi Indonesia ?

Tidak jelas. Di kelompok negara Barat dan China yang  disebut sebagai “negara maju”, Indonesia ada di deretan belakang dan tidak termasuk negara maju. Di banding  negara kecil yang sebut tidak maju seperti Qatar, Indonesia pun jauh tertinggal di belakang. 

Para pemimpin Indonesia harus membuka mata, pikiran dan hati. Fenomena Qatar dan cepatnya pertumbuhan Islam di dunia saat ini serta bangkitnya anti Islamophobia harus disikapi dengan tepat.
Indonesia punya potensi luar biasa besar, melampaui potensi negara-negara muslim lainnya. Jumlah penduduk muslim  Indonesia (87,2%), sehingga membangun Islam dan umat  Islam, sesungghnya adalah membangun Indonesia. Menghancurkan Islam dan umat Islam, adalah menghancurkan bangsa dan negara Indonesia.

Status Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, dan kekayaan alamnya yang melimpah, adalah sebahagian modal yang luar biasa untuk Indonesia bisa memimpin dunia, setidaknya dunia Islam.

Kesalahan kita selama ini adalah : kita ingin menjadi seperti orang lain, bukan menjadi diri sendiri; untuk itu kita hancurkan potensi berharga kita yang  (potensi itu) tidak miliki orang lain.

Wallahu a’lam bisshawab

Komentar