Jumat, 19 April 2024 | 14:04
NEWS

Seminar ICMI Orda Kab Cirebon

Prof. Rokhmin Dahuri: Kedaulatan Pangan di Ciayumajakuning Kunci Kemajuan Bangsa

Prof. Rokhmin Dahuri: Kedaulatan Pangan di Ciayumajakuning Kunci Kemajuan Bangsa
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Kabupaten Cirebon menggelar Sarasehan Kemandirian Pangan dengan tema “Model Kolaborasi Pentahelix Untuk Kemandirian Pangan Wilayah Ciayumajakuning” di Auditorium Kampus 1 UGJ Cirebon, Senin, 26 Desember 2022.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk sharing dan diskusi terarah yang bertujuan untuk menelaah potensi daerah dan menumbuhkan kesadaran seluruh stakeholder yang berada di wilayah Ciayumajakuning akan pentingnya kemandirian pangan.

Dalam kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, bahwa pangan adalah hak azasi manusia, karena menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, kualitas SDM, dan kemajuan suatu bangsa. “You are, what you eat,” ujarnya lewat paparannya bertema ”Pengembangan Kolaborasi Pentahelix Untuk Mewujudkan  Kedaulatan Pangan Di Wilayah Ciayumajakuning”.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menyatakan, kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa! Seiring dengan pertambahan penduduk permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Namun, sayangnya suplai pangan global cenderung menurun.

Hal ini akibat: (1) demand semakin meningkat karena pertambahan penduduk; (2) supply kian terbatas akibat alih fungsi lahan, Global Climate Change (GCC), dan kerusakan lingkungan lainnya; (3) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; dan (4) mafia pangan.

Kemudian akibat pandemi Covid-19, menurut FAO pada tahub dunia menghadapi krisis pangan. Seiring dengan pertambahan penduduk, permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Lalu, kekurangan/kelangkaan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik, kejatuhan Rezim Pemerintahan.

Prof. Rokhmin Dahuri pun menegaskan, para pejabat dan pemangku kepentingan di Indonesia juga harus memandang dan melihat sektor pangan untuk kemajuan suatu bangsa. Menurutnya, pangan  jangan dianggap hanya sektor ekonomi tetapi juga sektor kehidupan, bahwa semakin tinggi hubungan tingkat konsumsi protein hewani (daging & seafood) dan kemajuan ekonomi bangsa.

Disamping itu, kekurangan pangan dapat memicu gejolak politik kejatuhan Rezim Pemerintahan. Oleh karenanya, kata dia, semua elemen bangsa harus all out. Prof. Rokhmin Dahuri juga mengingatkan pidato Proklamator RI Bung Karno yang berbicara tentang kedaulatan pangan dalam pidato pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952 di Bogor. "Menurut beliau [Soekarno], urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa,” ungkapnya.

Bahkan, sambungnya, menurut penelitian FAO suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). “Seharusnya kita tidak tiap tahun impor gandum, beras, sagu dst,” tandas Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan ini.

Mengutip Kementan, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sektor pertanian/pangan (pertanian, kehutanan, dan perikanan) menyerap sekitar 36% total angkatan kerja (130 juta orang, usia 15 – 64 tahun), dan menyumbangkan sekitar 20% PDB.

Ada empat indikator kinerja kedaulatan pangan nasional. Yakni, produksi pangan, khususnya bahan pangan pokok lebih besar dari konsumsi nasional; setiap warga Negara di seluruh wilayah NKRI mampu mendapatkan bahan pangan pokok yang bergizi, sehat, dan mencukupi sepanjang tahun; serta petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha sejahtera. “Tidak kalah pentingnya, semua hal di atas itu harus berkelanjutan (sustainable),” tuturnya.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“Berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Menurut data UNICEF, Indonesia masih menjadi negara dengan nilai prevalensi stunting yang tinggi (31,8%). Dari nilai ini Indonesia masih kalah dibanding dengan negara tetangga seperti Malaysia (20,9%) dan Filipina (28,7%)

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB),” ujar Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu menyatakan mengutip FAO.

Atas dasar perhitungan tersebutnya, lanjutnya, ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022).

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Bahkan, jelas Prof. Rokhmin Dahuri, dalam Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61.

Pada 2017-2019, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2019 diurutan ke-50 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN. Pada Juli 2021,Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah.

Penyebab ketertinggalan Indonesia secara internal, jelasnya, antara lain: 1. Belum ada “Road Map Pembangunan Nasional yang Komprehensif, Tepat, dan Benar” yang dilaksanakan secara berkesinambungan; 2. Kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, etos kerja, nasionalisme, dan akhlak) relatif rendah;

Lalu, 3. Sistem politik demokrasi liberal (Kapitalisme) yang sarat dengan politik uang dan kemunafikan, lemahnya dan ketidakadilan penegakkan hukum , dan KKN massif; 4. Belum ada pemimpin yang capable, negarawan, IMTAQ kokoh, dan ikhlas membangun bangsa.

Sedangkan secara eksternal yaitu: 1. Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang; 2. Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat, Pandemi, dan konflik geopolitik ; dan 3. Pertarungan ideology.

Kemudian, sambungnya, bentuk ketertinggalan lainnya, Nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (‘jago kandang’).

"Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat dan Pandemi Pertarungan ideologi," sebut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Tak hanya itu, Nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (‘jago kandang’). Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal).

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," katanya.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2021), yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. 

Menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2,15 dolar AS/orang/hari atau 63 dolar AS (Rp 984.360)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2021sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.

“Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%,” ungkapnya.

Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, ternyata  kekayaan  4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T), sebutnya, sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015).

“Sekarang, menurut Institute for Global Justice,  175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Itu yang namanya oligarki yang berkolaborasi dengan politikus nakal,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, jelasnya, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. Sementara, trend naiknya proporsi angkatan kerja di sektor informal.

Kontribusi sektor industri manufakturing menurun, tetapi menurut Bank Dunia dan IMF, rata-rata pendapatan perkapita belum mencapai US$ 12.161 (high-income country = negara makmur).

Kemudian, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia berada di peringkat Ke 63 Dunia. Neraca Perdagangan Komoditas Pangan 17 Tahun terakhir tanpa perkebunan.

“Kenyataan yang terjadi adalah ekspor yang relatif stabil dan impor pangan yang terus meningkat sejak tahun 2013 hingga 2017. Defisit neraca perdagangan komoditi pangan terus meningkat dan tahun 2017 mencapai 10,86 milyar US$,” sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Dari data impor 6 komoditas di atas, terangnya, secara volumetrik cenderung mengalami peningkatan dari 20,6 Juta Ton (2017) menjadi 22,2 juta ton (2020).

Ironi Impor Pangan Negera Maritim Dan Agraris Terbesar

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan definisi Undang-undang Pangan (UU No 18, 2012). Yaitu: Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Sedangkan definisi Ketahanan Pangan, terangnya, kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU no. 18/ 2021).

Menurut FAO (2016), ketahanan pangan adalah kondisi dimana individu atau rumah tangga menerima akses secara fisik ataupun ekonomi untuk mendapatkan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga dan tidak berisiko kehilangan keduanya.  Menurut Oxfam (2001), ketahanan pangan adalah kondisi ketika setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat.

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, dengan posisi Strategis Ciayumajakuning posisi geografisnya strategis (akses ke Jakarta dan Bandung serta akses ke Semarang dan Yogyakarta) memiliki potensi.

Sektor Pangan Ciayumajakuning, meliputi: 1. Tanaman pangan, 2. Hortikultura, 3. Perkebunan, 4. Peternakan, 5. Kehutanan, 6. Kelautan dan Perikanan. Perikanan tangkap di PUD Ciayumajakuning , meliputi: 12 Wilayah Sungai,10 Danau/Situ/Waduk/Embung, Rawa, dan Genangan Air Lainnya.

Sedangkan 6 Wilayah Sungai Ciayumajakuning meliputi: Ciberes, Cilalanang, Cimanuk, Cipanas, Cisanggarung, dan Citanduy. Sementara 3 Danau/Situ/Waduk/Embung terluas di Ciayumajakuning diantaranya: 1. Telaga Remis, 2. Telaga Biru Cicerem, dan 3. Balong Keramat Darmaloka.

“Total potensi lahan perikanan budidaya Ciayumajakuning sebesar 122.000 ha, dimana tingkat pemanfaatan hingga 2020 baru 20,39%, dengan dominan dari jenis budidaya Air Tawar,” ungkap Ketum Paguyuban Dulur Cirebonan (Ciayumajakuning) itu.

Sedangkan, jelas Prof. Rokhmin Dahuri. tantangan dan permasalahan sektor pangan di Ciayumajakuning antara lain: Pertama, Mayoritas buruh tani, peternak dan nelayan masih miskin.

Kedua, Sebagian besar usaha (bisnis) di sektor pangan masih tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) Integrated Supply Chain Management System (hulu – hilir), (3) teknologi terbaik (tepat – guna) dan mutakhir, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (RTRW, pengendalian pencemaran, dan konservasi biodiversity). Akibatnya: produktivitas rendah, kurang efisien, gagal panen, komoditas dan produk kurang berdaya saing, petani dan nelayan miskin, dan kurang sustainable (berkelanjutan).

Ketiga, Hampir semua perusahaan pangan besar dan modern (korporasi) yang menerapkan keempat prinsip diatas yang sangat jaya, berdaya saing, menguntungkan (kaya), dan world class, itu ‘egois’ (rendah Nasionalisme nya), tidak bekerjasama dengan UMKM bidang pangan.

Keempat, Porsi keuntungan (profit margin) terbesar dalam usaha (bisnis) di sektor pangan itu bukan dinikmati oleh petani dan nelayan (usaha on-farm), tetapi oleh pengusaha industri pengolahan dan pemasaran.

Kelima, Hilirisasi (industri pengolahan) komoditas pangan masih rendah, sebagian besar bahan pangan dijual (ekspor) dalam bentuk raw materials (bahan mentah). Akibatnya: nilai tambah (added value) nya rendah, kurang menghasilkan multiplier effects, kurang tahan lama, dan sukar didistribusikan.

Keenam, Luas lahan pertanian dan luas lahan usaha (garapan), khususnya di sektor tanaman pangan, hortikultur, dan peternakan, semakin menyusut akibat alih fungsi untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan penggunaan lahan (land use) lainnya.

“Akibatnya luas lahan pangan dan luas lahan usaha pangan (land to man ratio) semakin menurun, economy of scale tidak terpenuhi, volume produksi terancam, dan petani dan nelayan (usaha on-farm) miskin,” ujarnya.

Ketujuh, Kebanyakan UMKM bidang pangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan (membeli) sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, obat-obatan, BBM) yang berkualitas, harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi.

Kedelapan, Produksi bibit dan benih unggul, dan pakan berkualitas, masih rendah, tidak mencukupi.  Padahal, lebih dari 60% keberhasilan usaha pangan ditentukan oleh bibit dan benih unggul serta pakan.  Di usaha aquaculture (perikanan budidaya) dan peternakan, 60% biaya produksi untuk pakan.

Kesembilan, Tidak ada jaminan (kepastian) pasar dengan harga yang sesuai nilai keekonomian (menguntungkan petani dan nelayan) bagi komoditas hasil panen petani dan nelayan UMKM. Kesepuluh, Infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian (pangan), baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai.

Kesebelas, Mafia pangan, yang inginnya hanya impor pangan untuk meraup keuntungan maksimal, tanpa peduli dengan kedaulatan pangan nasional dan kesejahteraan petani dan nelayan Indonesia. Keduabelas, Alokasi kredit perbankan untuk sektor pangan masih rendah, suku bunga tinggi, dan persyaratan terlalu ketat.

Ketigabelas, Pada umumnya kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) relatif masih rendah, dan mengalami ‘penuaan’ (aging-agricultural population). Keempatbelas, Kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, RTRW, dan iklim investasi) kurang kondusif dan atraktif.

Disisi lain, Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah penyuplai beras yang potensial di Indonesia. Ironisnya, gabah hasil panen harganya sangat anjlok. “Akibatnya hasil yang diperoleh petani di Kabupaten Cirebon tidak sesuai dengan biaya operasional yang dikeluarkan,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan cara peningkatan produktivitas dan produksi onfarm komoditas pangan berkelanjutan. Antara lain: 1. Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang Sektor Pangan (luas lahan pertanian, produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, neraca stok pangan, ekspor, impor, profil produsen pangan, dll).

2. Mempertahankan lahan pertanian dan perikanan yang ada, tidak dialihfungsikan untuk kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan penggunaan lahan lainnya. Melalui implementasi RTRW secara konsisten sesuai dengan UU No. 41/2009, penetapan lahan pertanian abadi, dan Reforma Agraria.

3. Dengan menggunakan tekonologi mutakhir (bibit & benih unggul, pakan berkualitas, pupuk, pengendalian hama & penyakit, manajemen kualitas air, teknologi budidaya, biotechnology, nanotechnology, digital/Industry 4.0 farming and aquaculture) dan manajamen agribisnis yang tepat, kita tingkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability seluruh unit usaha produksi pangan yang ada saat ini. 

Smart Agriculture diperkirakan mencapai 62 Milyar Yuan (134 Trilyun Rupiah). Hal ini juga seiring dengan berkembangnya teknologi di sektor pertanian seperti pengembangan aplikasi drone, peralatan self-driving, dan pemupuk otomatis.

Estimasi Nilai Market Smart Agriculture di Cina pada 2016 -  2020 diperkirakan mencapai 62 Milyar Yuan (134 Trilyun Rupiah). Hal ini juga seiring dengan berkembangnya teknologi di sektor pertanian seperti pengembangan aplikasi drone, peralatan self-driving, dan pemupuk otomatis.

“Di Shanghai, China, lahan sawah tidak lagi digarap secara langsung oleh petani melainkan dengan kecerdasan buatan yang bekerja otomatis menanam padi di lahan sawah,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Selain itu, mesin pertanian nir-awak dapat mengefisienkan penggunaan benih padi hingga 2 kg dan meningkatkan hasil panen hingga mencapai 10 kg pada lahan seluas 667 m², dibanding dengan pertanian tradisional.

Bonirob merupakan teknologi pertanian untuk mengenali dan membasmi hama/gulma tanpa bahan kimia yang digerakan menggunakan panel surya.

Sebuah Drone yang berfungsi untuk mengangkut pestisida, herbisida, dan pupuk secara efisien. Selain itu, Drone ini mampu mengangkat beban sampai 10kg dan mencakup area 4000-6000 m2  dalam waktu 10 menit.

Ashura merupakan inovasi teknologi pertanian dari IPB University yang membantu meningkatkan kapasitas dan produktivitas panen.

Robot Rippa adalah robot otonom lain yang bisa membuat hidup lebih mudah bagi petani. Rippa digunakan untuk meningkatkan keseragaman tanaman dan volume tanaman pada saat panen dengan dosis yang benar

Sorbem adalah sistem penerangan yang menggunakan tenaga listrik dari tanah dan menyala dan mati secara otomatis (sensor cahaya). Sorbem merupakan teknologi yang ramah lingkungan dan mudah digunakan. Selain itu, sorbem merupakan energi berkelanjutan.

4. Pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) untuk usaha produksi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, dan perikanan di luar Jawa dan lahan-lahan terlantar di P. Jawa, dengan spesies (komoditas) yang cocok dengan kondisi agroklimat setempat.  Pendeknya, kedepan tidak ada sejengkal lahan pun dibiarkan terlantar.  Semua lahan sesuai dengan RTRW harus diusahakan untuk memproduksi komoditas pangan secara produktif, efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable).

5. Diversifikasi budidaya dengan spesies (varietas) pangan yang baru melalui domestikasi dan pengembangan bibit dan benih unggul dengan teknologi pemuliaan (genetic engineering) dan nanoteknologi. Hal ini sangat mungkin, karena Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas kelautan tertinggi di dunia, dan biodiversitas terestrial tertinggi kedua di dunia.  Prioritaskan budidaya tanaman pangan lokal sumber karbohidrat non-beras: sorgum, sagu, porang, tales, ganyong, suweg,dll.

Diverifikasi pertanian berkelanjutan bisa jadi solusi krisis pangan. Antara lain, Pertama, Kerawanan pangan dan gizi dapat diatasi dengan diverifikasi sumber pangan, memperbaiki pasokan dan produksi bahan pangan yang lebih bergizi.

Kedua, Perlu peningkatan integrasi rantai pasok dari pertamian menjadi pangan yang lebih bernilai dan ramah lingkungan. Ketiga, Perlu peningkatan produksi pangan yang berkelanjutan agar pangan tetap tersedia di tengah SD pertanian (pupuk dan energy) yang mengalami keterbatasan.

Kerawanan pangan dan gizi dapat diatasi dengan diversifikasi sumber pangan, memperbaiki pasokan dan produksi bahan pangan yang lebih bergizi. Perlu peningkatan integrasi rantai pasok dari pertanian menjadi pangan yg lebih bernilai dan ramah lingkungan.

Perlu peningkatan produksi pangan yang berkelanjutan agar pangan tetap tersedia di tengah SD pertanian (pupuk dan energi) yang mengalami keterbatasan.

Potensi luas hutan untuk tanaman pangan adalah 54 juta ha (Hutan Produksi untuk Pengusahaan Skala Besar). Jika 20% luas lantai hutan digunakan untuk budidaya tanaman pangan  akan menghasilkan: Ubi kayu, Garut, Ganyong, Talas, Kimpul, Ubi jalar, Jagung.

6. Supaya petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya bisa hidup lebih sejahtera, maka setiap unit bisnis pangan harus memenuhi skala ekonominya.  Yakni besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, minimal 375 dolar AS (Rp 5,6 juta)/orang/bulan (Bank Dunia, 2022).

Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 1,5 ha (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 ha (Kementan, 2010), dan usaha budidaya udang Vaname 360 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).  Menerpakan Integrated Supply Chain Management System.  Menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai pasok.  Dan, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable).

7. Revitalisasi seluruh infrastruktur pertanian (bendungan dan saluran irigasi, dan pelabuhan perikanan)  dan infrastruktur dasar (jalan, listrik, air bersih, telkom dan internet, dan pelabuhan umum) yang ada, dan kita bangun yang baru sesuai dengan kebutuhan di setiap wilayah.

8. Konservasi ekosistem hutan dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) terpadu untuk menjaga stabiliast dan kontinuitas aliran (debit) sungai sebagai sumber air irigasi pertanian, mencegah banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

9. Pengendalian pencemaran yang disebabkan oleh sektor pertanian itu sendiri maupun sektor-sektor pembangunan lainnya (industri manufaktur, pertambangan dan energi, pemukiman, dll).

10. Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim, dan bencana alam lain. Tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, umbi-umbian, dll): bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll.

Peningkatan volume produksi sarana produksi pertanian dan perikanan yang top quality, harga bersaing, dan mencukupi kebutuhan usaha onfarm secara berkelanjutan, antara lain: 1. Tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, umbi-umbian, dll): bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll.

2. Hortikultura: bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll. 3. Perkebunan: bibit dan benih unggul, pupuk (organik dan non-organik), pestisida, obat-obatan, alsintan, dll.

4. Peternakan: bibit dan benih unggul, pakan berkualitas unggul dan harga bersaing, growth stimulant, obat-obatan, alsintan, dll. 5. Perikanan budidaya: bibit dan benih unggul, pakan berkualitas unggul dan harga bersaing, growth stimulant, obat-obatan, alsintan, dll.

6. Perikanan Tangkap: kapal ikan, alat penangkapan (fishing gears), mesin kapal dan suku cadangnya, energi (diesel, bensin, solar panel, dan lainnya), alat bantu penangkapan ikan (GPS, fish finder), dan perbekalan melaut.

Mengingat konsumsi beras per kapita Indonesia tertinggi di dunia (sekitar 110 kg), rata-rata konsumsi beras per kapita dunia hanya 50 kg (FAO, 2020), konsumsi beras yang sehat < 60 kg per kapita (Puslitbang Gizi, 1999).

“Maka, harus ada kebijakan dan program prioritas nasional untuk mengurangi konsumsi beras hingga 60 kg per kapita, dan secara simultan diversifikasi konsumsi pangan non-beras: sagu, sorgum, umbi-umbian, tales, dll,” ujarnya.

Karena, menurutnya, Indonesia merupakan importir gandum terbesar keduaa di dunia (rata-rata 12,5 juta ton/tahun) yang menghamburkan devisa cukup besar (US$ 4 milyar/tahun), padahal sagu dan komoditas pangan lokal lainnya sudah bisa dibuat mie. Kurangi dan kemudian stop impor gandum, dan secara simultan perkuat dan kembangkan industri pengolahan bahan baku non-gandum (sagu, ubi kayu, porang, dll) menjadi mie.

Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi sekitar 800.000 ekor/tahun dan puluhan ribu ton daging sapi/tahun perkuat dan kembangkan usaha peternakan sapi, dan tingkatkan konsumsi ikan per kapita nasional, karena Indonesia memiliki potensi produksi ikan terbesar di dunia (115 juta ton/tahun) dan baru dimanfaatkan sekitar 20% nya. 

Sejak 2009 – sekarang Indonesia produsen perikanan terbesar di dunia (25 juta ton/tahun), setelah China (100 juta ton/tahun). Indonesia merupakan bangsa dengan food wastage terbesar kedua (20%) di dunia, setelah Arab Saudi (FAO, 2022). Harus ada kebijakan dan program prioritas untuk kurangi food wastage (food loss dan food waste) secara signifikan.

Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan semua komoditas pangan semaksimal mungkin, kecuali beberapa komoditas pangan tertentu.  Supaya produk olahan pangan Indonesia kompetitif di tingkat global. Lakukan bench marking dengan negara-negara produsen pangan olahan terbaik di dunia (Jepang, Korsel, Thailand, Singapore, Australia, Canada, AS, Uni Eropa, dan Turki).

Hilirisasi Industri Agro mendorong industri hilir berbasis produk pertanian selain untuk memperoleh nilai tambah, juga dimaksudkan untuk: menciptakan multiplier effects, menciptakan lapangan kerja, dan menampung migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian onfarm ke sektor industri pengolahan pertanian.

Negara dengan bonus demografi berupa pertumbuhan kelas berpendapatan menengah, juga akan sangat diuntungkan dengan adanya industri hilir yang kuat.

Kinerja Hilirisasi Komoditas Pangan Lokal

Padi dan Palawija

Komoditas pangan selain padi adalah palawija yang terdiri dari jagung, ubi-ubian (ubikayu, ubijalar, talas, dan taro), dan kacang-kacangan (kacang tanah, kacang hijau, kedelai).

Produk hilir beras : tepung beras dan bihun; Jagung : pakan ternak, jagung manis kaleng, minyak jagung dan corn flake; Ubikayu : tepung tapioka, keripik dan mocaf (modified cassaca flour); Ubijalar : keripik; Talas : kueh lapis talas, dan keripik; Taro : keripik; Kacang tanah : kacang goreng/sangrai, minyak kacang, dan peanut butter; Kacang hijau : kueh dan juice; Kedelai : susu kedelai

Sudah banyak produk olahan palawija yang masuk gerai pasar swalayan, antara lain corn flake, keripik ubikayu, keripik ubijalar, keripik taro, berbagai produk kacang tanah, juice kacang hijau, dan susu kedelai.

Semua produk tersebut merupakan makanan ringan (snack), yang bisa dikonsumsi di rumah, di dalam kendaraan dan dimana saja. Industri penghasil produk tersebut sudah berkembang di Indonesia, namun skala produksi nasionalnya masih terbatas.

Sayuran

Di Indonesia sangat banyak jenis sayuran yang ditanam, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Dua jenis sayuran yang sering menggoyang laju inflasi adalah cabai merah dan bawang merah.

Kedua jenis sayuran ini lebih banyak dikonsumsi masyarakat dalam bentuk segar, walaupun ada juga yang diolah menjadi cabai kering dan bawang kering. Sayuran tomat juga banyak yang diolah menjadi saos tomat.

Di gerai pasar swalayan banyak ditemui berbagai jenis sayuran segar berkualitas yang dikemas secara baik, seperti brokoli, kol, paprika, cabai merah, cabai hijau, caisim, wortel, jamur tiram, baby corn, dan lain-lain.

Jenis sayuran kacang polong kaleng, jamur kaleng, kacang polong kaleng, dan juice sayur, juga dapat ditemui di gerai-gerai pasar swalayan.

Jenis kedelai Edamame kaleng dan baby corn kaleng bahkan diekspor ke negara-negara lain.

Buah-Buahan

Jenis buah-buahan di Indonesia, seperti halnya sayuran, juga sangat banyak yang ditanam. Produk-produk olahan yang sering dijumpai di gerai-gerai pasar swalayan adalah buah-buahan di dalam kaleng, antara lain nenas, leci, rambutan, klengkeng, peach, anggur, fruit cocktail (berisi beberapa jenis buah), dan berbagai juice buah (sunkis, mandarin, apel, mangga).

Nenas kaleng produksi PT Giant Pineaple Coy di Lampung sudah terkenal dan lebih ditujukan untuk pasar ekspor. PT Buafita juga sudah memproduksi berbagai jenis juice buah.

Produk olahan pisang lebih banyak dalam bentuk keripik, dan tepung pisang untuk bahan baku makanan bayi.

Namun sayangnya, buah-buahan kaleng tersebut (selain nenas kaleng) adalah barang impor, utamanya dari Thailand, dan bahan baku juice buah juga barang impor, padahal produksi buah di Indonesia sangat banyak, kecuali apel dan anggur.

Sapi Potong (Sistem Agribisnis Hilir – Pengolahan dan Pemasaran): Tergantung preferensi konsumen, Hampir 60% produksi daging diserap industri pengalengan dan pengusaha bakso, Kulit diserap oleh industri tas dan sepatu, Kelembagaan peternak → produsen, bandar, pemotong (konsumen jagal), Pasar cenderung monopsoni atau oligopsoni.

Industri Olahan Produk Perikanan terdiri: RL : carraginan, dodol, manisan, saus , creefs, Tortilla, dsb. Garam : industri, konsumsi, farmasi, Kesehatan dan Kosmetik. Ikan : fish ball, asap cair, pindang , abon , nugget , krupuk kulit ikan dan berbagai produk lainnya. Crustacea (Udang - kepiting) : fillet, tepung canting, creeps canting, cithosan, kerupuk udang, keripik rebon, terasi dsb. Mollusca (Kerang-kerangan) : creefs kerang , ballado kerang. Teripang : produksi collagen alginate. Mangrove : tepung, brownis, stick, chips, dan pangan olahan lainnya.

Untuk penguatan dan pengembangan pemasaran di dalam negeri maupun ekspor, maka perlu dilakukan, antara lain: 1. Dengan meningkatkan kinerja sub-sistem sarana produksi, produksi (on-farm), dan industri pengolahan  diyakini setiap komoditas dan produk olahan pangan Indonesia akan memiliki daya saing yang tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi (supply) mampu memenuhi kebutuhan serta selera (preference) konsumen (pasar) dalam negeri maupun ekspor.

2. Dengan berbagai cara (promosi, insentif, dll), kita berupaya semaksimal mungkin agar semua komoditas dan produk olahan pangan nasional mampu menguasai pasar domestik. 3. Dengan berbagai cara (promosi, diplomasi, insentif, dll), kita lakukan penguatan dan pendalaman pasar ekspor di negara-negara pelanggan lama (existing importers), dan pengembangan pasar ekspor ke negara-negara baru (emerging importers).

Sedangkan, dalam penguatan dan pengembangan sistem logistik pangan nasional yaitu: 1. Pembangunan atau penyempurnaan Sistem Logistik Pangan Nasional, sehingga aliran (distribusi) komoditas dan produk pangan olahan serta sarana produksi dari sentra produksi ke sentra pasar (domestik dan pelabuhan ekspor) akan lebih cepat, lancar, mudah, murah, efisien, dan aman.

2. Revitalisasi dan pengembangan infrastruktur dan fasilitas penyimpanan bahan pangan (gudang, cold storage, pabrik es, dll) sesuai kebutuhan di setiap wilayah NKRI. 3. Revitalisasi dan pengembangan sarana transportasi (distribusi) komoditas dan produk pangan olahan serta sarana produksi yang dapat menjangkau seluruh wilayah NKRI. 4. Revitalisasi dan pengembangan konektivitas digital sebagai bagian integral dari Sislogpangnas.

Sedangkan kebijakan politik ekonomi  yang kondusif antara lain: 1. Kebijakan ekspor – impor pangan harus mengutamakan “national interest” (Kedaulatan Pangan Nasional); 2. Kurangi dan stop subsidi input usaha onfarm, khususnya tanaman pangan pokok, dan ganti “double subsidy” untuk output pertanian.

3. Perlu skim kredit perbankan khusus untuk sektor pangan, terutama yang belum kompetitif, dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak (bench marking dengan negara-negara pertanian utama lainnya);  4. Iklim investasi dan ease doing business yang kondusif.

Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat tersebut mengungkapkan strategi Pengembangan Kolaborasi Pentahelix Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan Di Wilayah Ciayumajakuning. Antari lain: Pertama, Membangun Korporasi Bisnis Pangan Terintegrasi (Pasca Produksi – Produksi on-farm – Industri Pengolahan – Pemasaran) yang menggabungkan sejumlah UMKM produksi on-farm berbasis satu jenis komoditas (seperti beras, jagung, bawang, buah, sayur, udang, ikan, dan ayam) di dalam satu kawasan.

Kedua, Mengundang investor besar (korporasi), seperti BUMN, BUMD, Swasta Nasional, atau MNC (Multi National Corporation) untuk membangun industri pengolahan pangan di daerah (Kabupaten atau Kota) dan bermitra secara win-win dengan UMKM produsen pangan (petani dan nelayan).  Core business Korporasi: pembelian komoditas pangan dari petani dan nelayan, penjualan sarana produksi, pengolahan komoditas pangan, dan pemasaran.  Korporasi bisa berusaha di on-farm, tetapi dengan volume produksi < 50% kapasitas pengolahan industri (pabrik) nya.

Ketiga, Mengundang investor besar (korporasi), seperti BUMN, BUMD, Swasta Nasional, atau MNC (Multi National Corporation) untuk membangun Industri Pengolahan Pangan Terintegrasi, yang dari hulu sampai hilir dikerjakan sendiri, di daerah (Kabupaten atau Kota).  Penduduk setempat sebagai pegawai (Direksi, Manager, atau staf) dan pekerja di on-farm maupun off-farm, dengan gaji atau upah yang mensejahterakan mereka secara berkelanjutan.  Upah Minimum = US$ 375 (Rp 5,6 juta)/bulan, ditambah tunjangan-tunjangan lainnya.

 

Komentar