Rabu, 24 April 2024 | 05:37
NEWS

Webinar Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Prof. Rokhmin Dahuri: Blue Economy Punya Potensi Besar Menuju Kedaulatan Pangan

Prof. Rokhmin Dahuri: Blue Economy Punya Potensi Besar Menuju Kedaulatan Pangan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (UNIKA)

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, ada banyak permasalahan dan tantangan mengembangkan sektor kelautan dan perikanan menjadi andalan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diantaranya seperti sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.

Permasalahan lainnya, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale).

“Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin,” kata Prof Rokhmin Dahuri, saat memberikan sambutan kunci (keynote speech) pada Webinar Hari Pangan se-Dunia  "Quo Vadis Blue Economy Kelautan Indonesia untuk Ketahanan Pangan Nasional“ dilaksanakan oleh Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang secara daring pada Kamis, 20 Oktober 2022

Selanjutnya adalah sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen.

Dalam paparanmya bertema “Blue Economy Untuk Kedaulatan Pangan Nasional Dan Feeding The World“, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik.  Padahal, sekitar 60% biaya produksi untuk pakan ikan.

Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. “Sehingga, tidak ada kepastian pasar komoditas ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi,” jelasnya.

Sementara itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling azasi, karena sangat menentukan status gizi, kesehatan, dan kecerdasan seorang insan.  ”You are what you eat, (Anda adalah apa yang Anda makan),” kata Prof Rokhmin Dahuri.

Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif - a lost generation. Dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju, sejahtera, dan berdaulat.

Bahkan kelangkaan dan meroketnya harga bahan pangan acap kali menimbulkan instabilitas politik yang berujung pada pelengseran Kepala Negara, seperti yang terjadi di Haiti, Pakistan, Meksiko, Argentina, Nigeria, Mesir, dan Tunisia ketika negara-negara tersebut dilanda krisis pangan pada tahun 2008. 

Karena itu, sangatlah tepat bila Presiden RI pertama, Soekarno, saat berpidato pada Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952. Bung Karno, katanya, berbicara tentang kedaulatan pangan. "Menurut beliau [Soekarno], urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa,” ungkapnya.

Pernyataan itu kemudian terlegitimasi oleh hasil penelitian FAO yang mengungkapkan bahwa suatu negara dengan pen­duduk lebih besar dari 100 juta orang, tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

“Padahal, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama),” tutur Prof. Rokhmin Dahuri.

Lalu, ungkapnya, suplai pangan global cenderung menurun karena: (1) berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan pertanian ke land uses lainnya; (2) Global Climate Change (GCC); (3) pencemaran dan kerusakan lingkungan; (4) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; dan (5) mafia pangan.

Kemudian, menurut FAO, akibat pandemi Covid-19, perang Rusia vs. Ukraina, dan ketegangan geopolitik lain, dunia menghadapi krisis pangan akibat penurunan produksi pupuk, energi, dan pangan serta terganggunya rantai pasok global.

“Maka, seiring dengan pertambahan penduduk dunia  permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. Selanjutnya, akibat kekurangan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik kejatuhan Rezim Pemerintahan,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang itu.

Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan alasan, seiring dengan pertambahan penduduk dunia permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. dan daya beli (kualitas hidup)-nya, maka, permintaan (demand) terhadap bahan pangan, sandang (serat), bangunan (rumah dan gedung), farmasi, kosmetik, energi, bahan tambang, mineral, bahan (komoditas) lainnya, ruang hidup (living space).

Menurut penelitian FAO suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama). “Seharusnya kita tidak tiap tahun impor gandum, beras, sagu dst,” tandasnya.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama).

“Ada empat aspek dalam penilaian indeks ketahanan pangan dimana dari keempat aspek tersebut indeks ketahanan pangan indonesia pada tahun 2021 berada di peringkat ke 69 dunia dengan indeks meliputi keterjangkauan 74,9, ketersediaaan 63,7, kualitas dan keamanan 48,5, dan sumber daya alam 33,0,” ujarnya.

Status Gizi Bangsa Indonesia

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan empat indikator kinerja kedaulatan pangan nasional. Yakni, produksi pangan, khususnya bahan pangan pokok lebih besar dari konsumsi nasional; setiap warga Negara di seluruh wilayah NKRI mampu mendapatkan bahan pangan pokok yang bergizi, sehat, dan mencukupi sepanjang tahun; serta petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha sejahtera. “Tidak kalah pentingnya, semua hal di atas itu harus berkelanjutan (sustainable),” tutur Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Yang mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Maka, dengan kualitas SDM semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.

“berdasarkan laporan Kemenkes dan BKKBN, bahwa 30.8% anak-anak kita mengalami stunting growth (menderita tubuh pendek), 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi. Dan, penyebab utama dari gizi buruk ini adalah karena pendapatan orang tua mereka sangat rendah, alias miskin,” sebutnya.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, kata UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Tak heran, bila kapasitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) bangsa Indonesia hingga kini baru berada pada kelas-3 (lebih dari 75 % kebutuhan teknologinya berasal dari impor). Sementara menurut Unesco suatu bangsa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas Iptek-nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75 % kebutuhan Iptek-nya merupakan hasil karya bangsa sendiri.

Ekonomi Biru sendiri atau Blue Economy adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut (World Bank, 2016).

Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru, terang Prof. Rokhmin Dahuri, muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme): 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.

Sedangkan menurut definisi Prof. Rokhmin Dahuri, Ekonomi Biru adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia. 

“Berdasarkan pada definisi tentang “pangan” tersebut maka, sektor-sektor Blue Economy yang menghasilkan bahan dan produk olahan pangan adalah: Perikanan Tangkap (Capture Fisheries), Perikanan Budidaya (Aquaculture), Industri Pengolahan Hasil Perikanan, dan Industri Bioteknologi Perairan,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan definisi pangan (UU No.18/2012 tengan Pangan). “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman”.

Maka sektor pangan pada ranah bisnis BUMN pangan ada tujuh, yakni: 1. Tanaman Pangan (Beras, Jagung, Kedelai, Umbi-Umbian, dll), 2. Hortikultur (Buah-buahan, Sayuran, Rempah-rempah, Tanaman Obat, Tanaman Hias), 3. Perkebunan (Sawit (CPO), Kopi, The, Tebu/Gula, Kakao, Vanila, dll), 4. Peternakan (Sapi, Unggas, Kerbau, Domba, dll), 5. Komoditi dari Hutan (Madu, Kopi , dll), 6. Perikanan Budidaya (Laut, Payau, Tawar/Darat, dll), dan 7. Perikanan Tangkap (Laut, PUD (Danau, Bendungan, Sungai), dll).

Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan infrastruktur hijau, teknologi dan praktik, mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap ekonomi berkelanjutan. pembangunan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis (PEMSEA, 2011; UNEP, 2012).

“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menegaskan bahwa, Sampai sekarang, pemanfaatan Bioteknologi Kelautan Indonesia masih sangat rendah (< 10% total potensinya).

Adapun Domain Bioteknologi Kelautan menurutnya meliputi; Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota perairan untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kedua,  Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. Ketiga, Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. Keempat, Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi.

“Selain itu, banyak produk industri bioteknologi kelautan yang bahan baku (raw materials) nya dari Indonesia diekspor ke negara lain dan negara pengimpor memprosesnya menjadi beragam produk akhir (finished products) seperti farmasi, kosmetik, dan healthy food and bevareges lalu diekspor ke Indonesia.  Contoh: gamat, squalence, colagen, minyak ikan, dan Omega-3,” tandasnya.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, ada banyak permasalahan dan tantangan mengembangkan sektor kelautan dan perikanan menjadi andalan dalam mewujudkan ketahanan pangan diantaranya seperti sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.

Permasalahan lainnya, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). “Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin,” kata Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale)  Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin.

Pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik.  Padahal, sekitar 60% biaya produksi untuk pakan ikan.

Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. Sehingga, tidak ada kepastian pasar komoditas ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi.

Pada umumnya, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar 4 bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain). Akibatnya, banyak yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi (60%).

Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan.  Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik.  Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir.  Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.

Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborbe dieases)  menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengeluaran rumah tangga.

Pada umumnya asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran  Prevalensi penyakit gula dan stroke cukup tinggi menurunkan produktivitas dan menaikkan pengeluaran keluarga (Kemenkes, 2014).

Kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijakana (“lebih besar pasak dari pada tihang”).

Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing.

Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain.

Kecelakaan dan perampokan di laut.

Dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain.

Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya.

Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah.

Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman, menegaskan bahwa dibutuhkan strategi pembangunan Blue Economy untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah antara lain; Pertama, Penyusunan Big Data yang interaktif dan dinamis berdasarkan data yang absah, akurat (presisi), dan kuantitasnya mencukupi tentang semua aspek penting tentang Sektor Perikanan (produktivitas, produksi, konsumsi pangan, demand, ekspor, dll) sebagai dasar dalam perencanaan, implementasi, dan MONEV pembangunan, investasi, dan bisnis perikanan.

Kedua, Revitalisasi semua unit usaha perikanan atau blue food (perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan) yang ada saat ini (existing business units) supaya lebih produktif, efisien (profitable), berdaya saing, dan berkelanjutan (sustainable). Revitalisasi ini dapat berhasil dengan menerapkan: (1) Economy of Scale, (2) Integrated Supply Chain Management System, (3) teknologi mutakhir di setiap rantai pasok (seperti teknologi-teknologi Industry 4.0), dan (4) prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Ketiga, Pengembangan usaha perikanan tangkap untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan (laut dan PUD) yang status penangkapan ikannya masih underfishing (total hasil tangkapan ikan/produksi < MSY = Maximum Sustainable Yield) sampai total produksinya = 80% MSY atau MSY.

Keempat, kurangi intensitas penangkapan ikan (jumlah kapal dan nelayan) untuk jenis-jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang sudah overfishing.

Kelima, Pengembangan usaha perikanan budidaya di wilayah-wilayah perairan laut, lahan pesisir (tambak), dan perairan tawar/darat (sungai, danau, bendungan, sawah, kolam, akuarium, dan wadah lainnya) yang baru (belum ada usaha aquaculture) dengan menerapkan 4 jurus manajemen bisnis pada butir-2.

Keempat,Diversifikasi usaha perikanan budidaya dengan spesies/varietas biota (organisme) perairan yang baru, dengan menerapkan 4 jurus manajemen bisnis pada butir-2.

Kelima, Penguataan dan pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan, sehingga produk olahannya berdaya saing tinggi (QCS = top Quality, low Cost, and sufficient and sustainable Supply).

Keenam, Penguataan dan pengembangan Industri Bioteknologi Perairan, sehingga produk olahannya berdaya saing tinggi (QCS = top Quality, low Cost, and sufficient and sustainable Supply).

Untuk perikanan tangkap, saat ini potensi Lestari Sumber Daya Ikan Perairan Laut Indonesia menurut WPP total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 12,54 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 80% atau 10,03 juta ton.

“Negara kita juga memiliki potensi besar perikanan tangkat dari perairan darat. Pada 2010-2018, produksi perikanan tangkap perairan darat terus meningkat (rata-rata 9,1% per tahun),” jelasnya.

Adapun untuk sub sektor perikanan budidaya, Prof Rokhmin yang juga Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menegaskan bahwa Potensi dan Pemanfaatan Lahan Perikanan Budidaya di Indonesia, Peluang pengembangan lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di Indonesia masih sangat leluasa. Indonesia juga sejak tahun 2009, merupakan peringkat ke-2 sebagai produsen akuakultur terbesar dunia

“Hingga Triwulan III-2021, produksi perikanan budidaya mencapai 12,25 juta ton dengan dominasi masih dari komoditas Rumput Laut (58%). Jika dibanding tahun 2020 pada periode yang sama, produksi perikanan budidaya hingga Triwulan III-2021 naik 6%, dimana kelompok ikan naik 36%, sementara rumput laut turun -8%,” ujar Duta Besar Kehormatan Jeju Island dan Busan Metropolitan City itu.

 

Komentar