Sabtu, 20 April 2024 | 11:00
NEWS

FGD Outlook Industri Pangan Nasional 2023

Prof. Rokhmin Dahuri: Kebijakan Pembangunan Perikanan Ciptakan Kedaulatan Pangan

Prof. Rokhmin Dahuri: Kebijakan Pembangunan Perikanan Ciptakan Kedaulatan Pangan
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA - Isu ketahanan pangan nasional menjadi sangat penting di tengah berbagai tren dan tantangan yang juga dihadapi oleh sektor pangan nasional. Kementerian BUMN sebagai kepanjangan tangan Pemerintah berusaha mewujudkan ketahanan pangan melalui ketersediaan, keterjangkauan, mutu, dan stabilisasi melalui sejumlah BUMN yang terlibat dalam komoditas pangan.

ID Food selaku Holding BUMN yang fokus pada bidang pangan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Outlook Industri Pangan Nasional 2023” di Jakarta, Selasa Oktober 2022. Salah satu narasumber adalah Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.

Dalam makalahnya yang mengangkat tema  “Kebijakan Pembangunan Perikanan Dalam Menciptakan Kedaulatan Pangan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Kesejahteraan Rakyat Secara Berkelanjutan”, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan, untuk mengatasi segenap permasalahan dan tantangan pembangunan Sektor KP (kelautan dan perikanan) pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya, dengan menggunakan inovasi teknologi dan manajemen profesional (modern).

“Kemudian meningkatkan pendayagunaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan ketahanan pangan, daya saing, pertumbuhan ekonomi inklusif, dan kesejahteraan rakyat secara ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” ujarnya.

Lebih lanjut Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, dari 200 negara PBB di dunia hanya 16 negara dengan PDB US$ lebih dari 1 trilyun. Status Pembangunan Beberapa Negara ASIA  berdasarkan GNI (Gross National Income) per kapita (dolar AS) pada 2021. Sayangnya, pada Juli 2021, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah.

“Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017),” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun.  Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun.  Bahkan Bank Dunia mengungkapkan, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin.

“Sekitar 0,2%, menurut KPA, penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional. Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” sebut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.

Prof Rokhmin memaparkan sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Sedangkan perbandingan pertumbuhan ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan  koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 472.525/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2020 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk).

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS.

Yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya (a lost generation).

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Ironisnya, sambung Prof. Rokhmin Dahuri, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.

Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020). Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS yakni pengeluaran Rp 470.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.

“Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian pocopoco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan,” katanya.

Permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Selanjutnya, Prof Rokhmin Dahuri menjabarkan, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB menurut Pulau, Triwulan I dan II-2021 masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-1 sebesar 58,70% dan TW-2 sebesar 57 %.

Sementara itu, klasifikasi negara berdasarkan indeks pencapaian teknologi, Indonesia juga masih berada di kelas ketiga atau kategori Technology Adoptor Countries menduduki peringkat-99 dari 167 negara. Indonesia juga menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia.

Yang memprihatinkan Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1 persen orang terkaya sama dengan 45 persen kekayaan Negara , sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%.

“Ketimpangan sosial ini, akan berdampak buruk terhadap kohesifitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim investasi dalam negeri,” kata Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu.

Disisi lain, Prof Rokhmin Dahuri menerangkan, saat ini Indonesia terus terjebak dalam negara dengan pendapatan menengah kebawah (Trap Middle Income Country) yaitu Klasifikasi Negara menurut Tingkat Pendapatan Versi Bank Dunia (dolar AS) dimana data terbaru pada Juli 2021 ini, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah dengan tingkat pendapatan 3.870 USD jauh dibawah Malaysia yang mencapai 10.580 dan Thailand yang mencapai 7.050.

Indeks Pembangunan Manusia Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020.

Kemudian, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, untuk lapangan kerja 45 juta orang atau 30% total angkatan kerja Indonesia. Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Kebijakan dan Program Pembangunan Perikanan Tangkap

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan tentang rincian Kebijakan dan Program Pembangunan untuk 5 subsektor: (1) Perikanan Tangkap; (2) Perikanan Budidaya; (3) Industri Pengolahan (Manufakturing) Hasil Perikanan; dan (4) Industri Bioteknologi Perairan.

Pertama, untuk menjamin volume ikan hasil tangkapan dengan keuntungan yang mensejahterakan nelayan dan secara simultan menjaga kelestarian (sustainability) stok ikan di laut, maka mulai sekarang kita harus mengatur jumlah kapal ikan beserta teknologi (alat) tangkapnya yang boleh beroperasi di setiap WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) NKRI. Berdasarkan pada kemiripan karakteristik dan dinamika oseanografi, geologi, dan klimatologi nya; wilayah perairan laut NKRI, termasuk ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dibagi menjadi 11 (sebelas) WPP.

Di setiap WPP terdapat 9 jenis stok (kelompok) ikan, yang teridiri dari: (1) ikan pelagis besar, (2) pelagis kecil, (3) demersal, (4) ikan karang, (5) udang Penaeid, (6) lobster, (7) kepiting, (8) rajungan, dan (9) cumi-cumi.  Untuk menangkap setiap kelompok jenis ikan diperlukan teknologi penangkapan ikan (kapal ikan dan alat tangkap) tertentu.  Contohnya, alat tangkap yang cocok untuk menangkap jenis ikan pelagis besar (seperti tuna, cakalang, marlin, dan setuhuk) antara lain adalah longline (rawai tuna), pole and line, dan handline dengan kapal ikan ukuran besar diatas 30 GT.

Untuk ikan pelagis kecil (seperti tembang, kembung, sardin, layang, malalogis, dan tenggiri) adalah jaring insang (gill nets), payang, dan pukat cincin (purse seine).  Untuk ikan demersal (dasar) adalah bubu, gill net dasar, cantrang, dan pukat ikan. Untuk udang Penaeid adalah jaring kantong (trammel net) dan pukat harimau (trawlers). 

Jumlah kapal ikan dengan alat tangkap tertentu tersebut yang boleh beroperasi di setiap WPP adalah 80% MSY dari jenis stok ikan tertentu dibagi dengan fishing power/catchability (kemampuan menangkap ikan per satuan waktu). Untuk kelompok jenis stok ikan di WPP tertentu yang mengalami overfishing, jumlah kapal ikannya harus dikurangi sampai 80% MSY.  Sebaliknya, bagi kelompok jenis stok ikan yang masih underfishing, seyogyanya ditambah kapal ikannya hingga mencapai 80% MSY.

Untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan tangkap, kita harus mulai menggunakan ”Smart Fisheries (e-Fisheries)”, khususnya untuk armada perikanan menengah sampai super modern. Untuk mencegah konflik antar pelaku usaha, berlakukan zonasi kegiatan usaha penangkapan ikan berdasarkan pada jenis usaha, ukuran kapal ikan, dan alat tangkap seperti disajikan pada Tabel berikut.

Untuk menunjang pelestarian stok ikan, perlu diberlakukan kawasan konservasi laut (Marine Protected Area) sebagai tempat pemijahan dan asuhan (spawning and nursery grounds) berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Di dalam kawasan konservasi laut (KKL), tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan ekstraktif lainnya.

Luas KKL sedikitnya 30% dari total luas WPP. Pencemaran baik yang berasal dari aktivitas manusia di darat maupun di laut harus dikendalikan.  Limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dilarang dibuang ke laut dan ekosistem alam lainnya.  Beban pencemaran (pollution load) limbah non-B3 (seperti limbah organik dan nutrien) yang dibuang ke laut dan ekosistem perairan lainnya tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi ekosistem perairan termaksud.

“Stop perusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan ekosistem pesisir lainnya. Lakukan restorasi terhadap ekosistem-ekosistem pesisir yang terlanjur rusak.  Perlu juga dilakukan restocking dan stock enhancement secara terukur di wilayah perairan yang stok ikannya mengalami overfishing atau kepunahan jenis (species extinction),” tegas Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Kedua, lanjutnya, memerangi IUU fishing baik oleh nelayan asing maupun nelayan nasional secara tuntas.  Dengan cara membenahi perizinan usaha penangkapan ikan; melaksanakan MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) system; penegakkan hukum di laut (termasuk penenggelaman kapal ikan ilegal); mencukupi prasarana dan sarana penegakkan hukum di laut; meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum; dan memperbanyak armada kapal ikan modern nasional untuk menangkap ikan sesuai potensi lestari (80% MSY) di wilayah-wilayah perairan laut yang selama ini dijarah oleh nelayan asing.

Ketiga, meningkatkan kesadaran dan kapabilitas nelayan untuk melakukan Best Handling Practices terhadap ikan hasil tangkapannya.  Dengan cara memberikan penyuluhan, pelatihan, dan insentif atau disinsentif secara terencana dan berkesinambungan. Keempat, merevitalisasi pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan yang ada supaya memenuhi segenap persyaratan standard nasional maupun nasional.

Kembangkan Pelabuhan Perikanan Samudera dan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang ada sebagai kawasan industri perikanan terpadu (berisi berbagai jenis industri hulu dan hilir perikanan) berkelas dunia.  Bangun pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan yang baru sesuai dengan kebutuhan.  Untuk mendistribusikan jenis-jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi serta harus dipasarkan dalam keadaan hidup, segar atau beku (seperti kerapu, udang, tuna, cakalang, kakap, lobster, dan abalone), setiap pelabuhan perikanan harus dilengkapi dengan armada mobil berpendingin.

Kelima, bagi armada kapal ikan yang operasi di lautnya lebih dari dua minggu (modern dan super modern), harus ada kapal pengangkut untuk bolak-balik mengangkut ikan hasil tangkapan, BBM dan perbekalan melaut lainnya, dan pergantian ABK (crew change).

Kapal angkut ikan juga mesti disediakan sesuai kebutuhan untuk mengangkut ikan dari sentra produksi penangkapan ikan (seperti Laut Arafura, Laut Sulawesi, ZEEI Samudera Pasifik, dan ZEEI Samudera Hindia ke) P. Jawa dan daerah-daerah pasar ikan domestik lainnya serta pelabuhan dan bandara pengekspor. Kapal angkut, mobil pengangkut ikan berpendingin merupakan bagian Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) untuk menjamin stabilitas sistem rantai pasok dan harga ikan.

Keenam, pemerintah melalui BUMN, perusahaan swasta, atau Koperasi harus menyediakan semua sarana produksi perikanan tangkap dengan jumlah yang mencukupi dan harga relatif murah bagi nelayan di seluruh wilayah NKRI.  Ketujuh, pemerintah melalui BUMN, perusahaan swasta, atau Koperasi mesti menjamin pasar bagi semua jenis ikan hasil tangkapan nelayan berapapun volume (berat) nya dan kapan saja, dengan harga sesuai nilai keekonomian.

Kedelapan, pemerintah harus menyediakan matapencaharian alternatif (seperti budidaya perikanan, peternakan, pertanian, dan home industry) bagi nelayan pada saat mereka tidak melaut akibat cuaca buruk atau paceklik ikan.  Pemerintah juga harus memberikan pelatihan dan capacity building bagi nelayan, supaya mereka mampu mengerjakan matapencaharian alternatif tersebut.

Kesembilan, jika di suatu daerah dijumpai sistem bagi hasil antara pemilik kapal dan ABK tidak atau kurang adil, maka pemerintah harus memfasilitasi perundingan untuk menyepakati sistem bagi hasil yang saling menguntungkan (adil).

Kesepuluh, infrastruktur dan konektivitas antara pelabuhan perikanan, pemukiman nelayan dengan lokasi pasar dalam negeri, pelabuhan dan bandara ekspor, dan daerah lain harus bagus.  Kesebelas, pemerintah harus membantu nelayan memiliki rumah sendiri dalam kawasan pemukiman yang bersih, sehat, asri, nyaman, dan aman.  Keduabelas, pemerintah melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan program lainnya harus membantu keluarga nelayan menjadi sehat, cerdas, dan berakhlak mulia.

Ketigabelas, dalam rangka mitigasi dan adaptasi Perubahan Iklim Global, mulai sekarang para nelayan harus mulai mengurangi penggunaan BBM, digantikan dengan energi surya, angin, dan energi terbarukan lainnya. 

Keempatbelas, harus ada skim kredit khusus untuk usaha perikanan tangkap dan nelayan dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan relatif lunak, seperti di Thailand, Vietnam, China, dan negara perikanan lainnya.  Akhirnya, seluruh kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi kemajuan sektor perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan.

Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin juga memaparkan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. Sampai sekarang, kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu, pemanfaatan Bioteknologi Kelautan Indonesia masih sangat rendah (< 10% total potensinya).

Banyak produk industri bioteknologi kelautan yang bahan baku (raw materials) nya dari Indonesia diekspor ke negara lain, negara pengimpor memprosesnya menjadi beragam produk akhir (finished products) seperti farmasi, kosmetik, dan healthy food and bevareges lalu diekspor ke Indonesia.  Contoh: gamat, squalence, colagen, minyak ikan, dan Omega-3.

Sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan, alias miskin.

Ternyata, lanjut Prof Rokhmin Dahuri, seluruh Indonesia  jumlah total Armada Perikanan Laut Nasional ada 936.249 unit. Perahu Motor Tempel sebanyak 427.309 unit (sekitar 46 persen). Sedangkan Perahu Tanpa Motor sebanyak 192.653 unit (21 persen)  dan Kapal Motor (KM) jumlahnya 316.249 unit (34 persen). “Proporsi KM >30 GT jumlahnya hanya 4.313 (1,36% total KM). Tetapi kalau dibandingkan dengan jumlah kapal ikan seluruh Indonesia (936.249 unit) presentasinya hanya 0,46%,” sebutnya.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu menyampaikan, bahwa karena Indonesia sebagai negara Kepulauan terbesar di dunia dengan 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada) dan memiliki sekitar 3 juta hektar lahan pesisir mestinya Indonesia menjadi produsen udang budidaya terbesar di dunia.

Namun, faktanya menurut FAO (2022) pada 2021 justru Ekuador menjadi produsen udang budidaya terbesar di dunia, sekitar juta ton. Padahal garis pantainya hanya 2.300 km dan luas tambaknya hanya 220.000 ha. Diikuti China dengan 860.000 ton (15.000 km garis pantai, India 700.000 ton (7500 garis pantai), Vietnam 600.000 ton (3200 km garis pantai), dan Indonesia 550.000 ton.

Sebab itu,  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)  menargetkan produksi udang budidaya meningkat menjadi dua  juta ton pada 2024 yang terdiri dari 80 persen  udang Vanammei dan 20 persen  udang Windu. “Nilai ekspor udang pun diharapkan bakal meningkat 250 persen  pada 2024 dari 2021,” ungkap Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Disamping itu, menurut Prof Rokhmin Dahuri, kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Nasional hanya sekitar 2,8% di tahun 2020. Sementara ikan tangkapnya hanya 1,4% dibandingkan dengan perikanan budidaya. Sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (BAP = Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen.

Pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik.  Padahal, sekitar 60% biaya produksi untuk pakan ikan.

Pasokan induk (broodstocks) dan benih berkualitas unggul (SPF, SPR, dan fast growing) masih terbatas.  Padahal, benih menentukan 50% keberhasilan usaha budidaya (FAO, 2018).

Pada umumnya lokasi industri (pabrik) pengolahan hasil perikanan jauh dari sentra produksi (penangkapan dan budidaya) komoditas ikan, dan tidak ada kerjasama antara unit industri pengolahan hasil perikanan dengan produsen komoditas ikan (pembudidaya dan nelayan)  Sehingga, kepastian dan kontinuitas pasokan (supply) komoditas (raw materials) ikan ke pabrik pengolahan ikan menjadi rendah.

Selain itu, Inovasi produk olahan dan kemasan ikan yang bernilai tambah tinggi masih relatif rendah. Kemampuan pemasaran komoditas dan produk olahan ikan Indonesia masih kalah dengan negara-negara pesaing, seperti Thailand, Vietnam, dan China.

Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran.

Sehingga, tidak ada kepastian pasar komoditas ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi. Pada umumnya, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar 4 bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain). Akibatnya, banyak yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi (60%).

Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan.  Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik.  Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir.  Ini karena banyaknya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.

Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborne deases) menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengeluaran rumah tangga.

Pada umumnya asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran. Prevalensi penyakit gula dan stroke cukup tinggi menurunkan produktivitas dan menaikkan pengeluaran keluarga (Kemenkes, 2014).

Tak hanya itu, kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijakana (“lebih besar pasak dari pada tihang”). Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. Lalu Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain. Kemudian, kecelakaan dan perampokan di laut.

Selanjutnya, dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencan alam lain. Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya.

Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif. Suku Bunga Pinjaman Negara Asean, 2020. Kebijakan Dan Program  Peningkatan Pendapatan Nelayan

Peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable). “Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan,” ungkap Prof. Rokhmin Dahuri.

Selanjutnya, modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan//bulan. Pengembangan 5.000 kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan  2.000 Kapal Ikan Modern dengan ukuran > 200 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas).

Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing. Prinsip Utama Pengaturan. Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan tetap baik, dan harga jualnya tinggi  Seperti penggunaan Palkah Berpendingin, Cool Box, RSW, dll.

Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety). Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system.

BUMN, KOPERASI atau SWATA menyediakan (menjual) sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI. Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri).

Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya)  supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini.

Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan. Pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus untuk nelayan, denga bunga relatif murah (3% per tahun) dan persyaratan relatif lunak. Penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan. Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing.

Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement. Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lain: kapal ikan dengan energi surya, dll.

Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.

Kebijakan Dan Program Pengendalian Pengeluaran Nelayan

Pemerintah membantu membangun kawasan pemukiman nelayan yang bersih, sehat, cerdas, produktif, aman, dan indah. Sehingga, nelayan beserta anggota keluarga bisa hidup dan tumbuh kembang dengan sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia.

Penyuluhan dan pendampingan manajemen keuangan keluarga agar nelayan dan anggota keluarganya bisa hidup ‘tidak lebih besar pasak dari pada tihang’  seperti pembatasan jumlah anak, gemar menabung, dan lainnya. Selain kerja cerdas dan keras sebagai nelayan, mereka harus meningkatkan iman, taqwa, dan doa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).  

Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. Pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Peran dan fungsi budidaya non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota perairan lainnya; (5) pariwisata berbasis akuakultur; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Mutiara laut selatan telah memenuhi 43% mutiara dunia, Senyawa bioaktif yang diekstraksi dari biota laut untuk Industri Farmasi dan Kosmetik Sebagai Mega-Keanekaragaman Hayati Laut Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia.

Semua unit usaha pada program-1 (Revitalisasi), program-2 (Ekstensifikasi), dan program-3 (Diversifikasi) harus sesuai atau menerapkan: (1) economy of scale; (2) Integrated Supply Chain Management System (Pra-produksi, Produksi, Industri Pengolahan, dan Pemasaran); (3) teknologi mutakhir yang tepat (Best Aquaculture Practices, Industry 4.0); dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Best Aquaculture Practices: (1) induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing); (2) pakan berkualitas dan cara pemberian yang tepat dan benar; (3) pengendalian hama & penyakit; (4) menajemen kualitas air; (5) pond design & engineering; dan (6) biosecurity. Industry 4.0 technologies: Big Data, IoT, AI, Drone, Cloud Computing, dan Nanotechnology  “Precision, Efficient, Competitive, and Sustainable Aquaculture”.

Prinsip pembangunan berkelanjutan: (1) RTRW yang melindungi kawasan budidaya perikanan; (2) laju (intensitas) budidaya < Daya Dukung Lingkungan mikro (kolam) maupun makro (kawasan); (3) pengendalian pencemaran supaya lingkungan perairan tetap suitable dan sustainable untuk usaha aquaculture; dan (4) konservasi biodiversity pada tingkat spesies, ekosistem, dan genetik.

Pastikan bahwa semua unit usaha akuakultur harus menghasilkan keuntungan bersih yang mensejahterakan pelaku usaha, dengan pendapatan bagi karyawan (buruhnya) > US$ 300 (Rp 4,5 juta/karyawan/bulan). US$ 300 dihitung berdasarkan garis kemiskian versi Bank Dunia (2010): US$ 2/orang/hari atau US$ 60/orang/bulan.  Rata-rata ukuran keluarga akuakultur 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak), dan pada umumnya yang bekerja hanya ayah.

Dengan sebagian besar masalah lingkungan yang sekarang telah diselesaikan atau dengan solusi yang sudah dekat, ada masalah dalam meningkatkan operasi budidaya laut. Saat ini, bahkan Perkebunan Kampachi hanya memiliki beberapa lusin kandang untuk dirawat. Tetapi karena penangkapan ikan yang berlebihan membunuh populasi ikan liar, kita akan semakin bergantung pada ikan yang dibesarkan secara budaya untuk mendapatkan protein. Ini akan membutuhkan pengaturan budidaya laut yang lebih besar dan terorganisir dengan lebih baik

“Saat ini, beberapa selungkup dalam operasi tertentu dapat dipelihara, diperiksa, dan dipanen oleh tim kecil penyelam scuba yang dikirim ke lokasi kerja dengan perahu motor setiap minggu. Tetapi ketika operasi semacam itu memiliki ratusan selungkup, atau ribuan, itu tidak akan berhasil. Kehadiran berawak permanen di lokasi akan dibutuhkan, seperti yang diilustrasikan di atas,” jelas Prof. Rokhmin Dahuri.

Revitalisasi dan pembangunan baru Broodstock Centers dan Hatcheries untuk momoditas unggulan (Udang Vaname, Lobster, Kerapu, Kakap, Bandeng, Nila, Patin, Udang Galah, Rumput Laut, dan lainnya) untuk menjamin produksi induk dan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) dengan harga relatif murah dan produksi (supply) mencukupi untuk seluruh wilayah NKRI, kapanpun dibutuhkan.

Revitalisasi dan pengembangan industri pakan nasional: (1) berbahan baku lokal dengan daya cerna tinggi; dan (2) formulasi pakan yang tidak hanya berdasarkan pada kandungan (level) protein dan lemak, tetapi lebih kepada profil (persyaratan) nutirisi yang dapat secara spesifik memenuhi kebutuhan biota perairan yang dibudidayakan  Sehingga, kita mampu memproduksi pakan ikan/udang yang berdaya saing tinggi: kualitas unggul (top quality), harga relatif murah, dan volume produksi dapat memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Ini sangat penting dan urgen !!!.  Sebab, sekitar 60% total biaya produksi untuk pakan.

Yang berikut,  peningkatan produksi growth stimulant, obat-obatan, ALSINTAN (kincir air tambak, KJA, automatic feeder, alat pemantau dan pengukur kualitas air, dan lainnya) yang berdaya saing tinggi (QCD) untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor secara berkelanjutan.

Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Perikanan Budidaya Nasional yang menghubungkan semua mata rantai pasok (Sarana Produksi – Produksi – Industri Pengolahan – Pemasaran) secara lebih efektif, efisien, dan aman.

Aplikasi teknologi Industri 4.0 baik pada subsistem (mata rantai pasok) produksi (on-farm), subsistem industri pengolahan dan pemasaran (subsistem hilir), subsistem sarana produksi (subsistem hulu) maupun rantai pasok (supply chain) nya. Contoh: Sound (Acoustic) - based Feeding System, IoT and AI water quality monitoring, dan digital site selection for aquaculture production.

 

Komentar