Kamis, 25 April 2024 | 12:42
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Universitas Sulawesi Barat Mewujudkan Indonesia Emas 2045

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Universitas Sulawesi Barat Mewujudkan Indonesia Emas 2045
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Perguruan Tinggi (PT) harus mampu menghasilkan lulusan (alumni) yang sukses dan hidup bahagia di dunia serta akhirat kelak. Yakni alumni yang mampu menciptakan lapangan kerja atau bekerja dengan pihak lain, yang menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang berdaya saing tinggi, menghasilkan keuntungan (upah, gaji, salary) yang mensejahterakan dirinya dan pegawai lainnya secara berkelanjutan. 

Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dalam Orasi Ilmiah Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), Kuliah Perdana Mahasiswa Baru UNSULBAR (Universitas Sulawesi Barat) Tahun Akademik 2022 di Gedung Aula UNSULBAR, Rabu (17/8).

Tegasnya, pekerjaan dan kiprah kehidupan para alumni yang sukses juga turut bekontribusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia Emas, paling lambat pada 2045 dan mewujudkan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan, ‘a better and sustainable world’.  Sedangkan, alumni yang sukses dan bahagia hidup di dunia dan akhirat adalah mereka yang memilik Iman dan Taqwa (IMTAQ) yang kokoh dan dipraktekkan dalam kehidupan keseharian, menurut agama masing-masing. 

“Lebih dari itu, para alumni juga harus saling toleransi, saling menghormati, dan bekerjasama sinergis dengan pemeluk agama lain,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertema “Menyiapkan Mahasiswa Universitas Sulawesi Barat Yang Sukses Dan Mampu Berkontribusi Signifikan Dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045”.

Pada dasarnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, peran PT di dalam mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 adalah berupa: (1) lulusan yang unggul, (2) hasil penelitian (invensi dan inovasi) yang berguna bagi pembangunan ekonomi dan kehidupan bangsa Indonesia serta umat manusia, dan (3) perbaikan dan pengembangan kapasitas, etos kerja, dan akhlak masyarakat dan aparat pemerintah (ASN).

Melalui kegiatan Tri DARMA nya, yakni: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat. Dan,  di era dunia yang highly interconnected dan borderless, bercirikan VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous), Pemanasan Global dan kerusakan lingkungan yang kian masif dan meluas, dan ketimpangan sosial-ekonomi (kaya vs miskin) yang semakin melebar; PT dan segenap alumninya juga dituntut untuk berkontribusi signifikan untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, maju, sejahtera, adil, aman, damai, dan berkelanjutan.

Hasil penelitian dari PT mestinya menghasilkan: (1) informasi ilmiah sebagai dasar bagi pihak pemerintah, swasta (industri) maupun masyarakat dalam menyusun perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan atau bisnis; (2) invensi (prototipe) yang siap untuk dihilirisasi (scalled up) menjadi inovasi teknologi maupun non-teknologi; (3) publikasi ilimiah di jurnal ternama (terbaik) pada bidang ilmunya, baik di tingkat nasional maupun internasional; dan (4) semakin meningkatkan Iman dan Taqwa (IMTAQ) para peneliti dan manusia menurut agama masing-masing.

Adapun Pengabdian pada Masyarakat yang dilakukan oleh PT harus diarahkan untuk membantu masyarakat dan pemerintah setempat supaya lebih memiliki kompetensi dan kapasitas pembangunan serta berusaha (berbisnis), beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing sesuai koridor Pancasila.

“Saya berharap bahwa kebijakan Kemendikbudristek yang baru (sejak 2020) berupa “Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka” mampu menjadikan Perguruan Tinggi Indonesia menjadi a world-class university, dan para alumninya hidup sukses dan bahagia di dunia dan akhirat,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Apabila TRI DARMA dan peran Mondial (global) dapat dilaksanakan secara benar dan baik, sambungnya, maka UNSULBAR menjadi a World-Class University dan para alumninya menjadi insan-insan yang sukses serta bahagia hidup di dunia dan akhirat adalah sebuah kebiscayaan, dalam waktu yang tidak lama (2035). 

Menurut Salmi (2009), ungkapnya, ada tiga prasyarat sebuah PT bisa menjadi a World-Class University. Pertama, adanya mahasiswa, dosen, peneliti, dan tenaga non-akademik yang berkualitas unggul. Selain itu, melaksanakan program pendidikan internasional dan kolaborasi penelitian dengan PT serta Lembaga Penelitian di dunia (internationalization). 

Kedua, tata kelola PT yang baik dan kondusif (favorable governance) yang meliputi: kurikulum, metoda pengajaran (Pendidikan) dan penelitian, autonomy academic freedom, culture of excellence, strategic vision, dan leadership team. 

Ketiga adalah dana (anggaran) yang mencukupi untuk membangun infrastruktur dan sarana, membiayai kegiatan TRI DARMA, dan mensejahterakan seluruh dosen, peneliti, dan tenaga non-akademik secara berkeadilan dan berkelanjutan.

“Ke depan, UNSULBAR mesti membuka PRODI (Program Studi) dan Fakultas baru yang relevan dengan IPTEK dan expertise (keahlian) yang dibutuhkan untuk pembangunan bangsa dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas, paling lambat pada 2045,” imbuh Prof. Rokhmin Dahuri.

Program Studi atau Fakultas baru itu, jelasnya, antara lain adalah: Nano-Bioteknologi; Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Digital/Informasi; Material Baru (New Materials); Kelautan dan Kemaritiman; Pangan dan Kesehatan; Energi Baru dan Terbarukan; dan Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan, terutama yang terkait dengan Perubahan Iklim dan Bencana Alam. Coastal and Ocean Engineering, Energi Kelautan, Teknik Perkapalan, Manajemen Pelabuhan dan Logistik Maritim, Pariwisata Bahari, dan Industry 4.0 untuk Agro-Maritim. 

Mampu Berkontribusi Signifikan Bagi Terwujudnya Indonesia Emas 2045

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, profil alumni PT yang unggul dan Insya Allah hidupnya sukses serta bahagia adalah mereka yang memiliki karakter (ciri): (1) kompeten pada bidang IPTEK (PRODI) yang ditempuh selama kuliahnya; (2) memiliki kemampuan analisis, sintesis, kritis, kreatif, inovatif, dan memecahkan masalah (problem solving); (3) menguasai dan terampil teknologi digital (menggunakan komputer, HP, dan platform lainnya);

(4) memiliki soft skills (seperti dapat memelihara dan memompa motivasi diri, bisa bekerjasama, teamwork, disiplin, dan leadership);(5) menguasai sedikitnya satu bahasa asing (seperti Inggris, Arab, atau Mandarin); (6) memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship); (7) berakhlak mulia (jujur, amanah, fathonah/visioner, tabligh, berempati, kanaah, sabar, dan bersyukur); dan (8) beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Untuk memiliki profil dan karakter diri alumni seperti, maka mulai sekarang juga sebagai mahasiswa, adik-adik semuanya harus: (1)  rajin membaca, minimal 6 jam dalam sehari untuk meningkatkan kemampuan kognitif; (2) rajin dan cerdas melaksanakan pekerjaan laboratorium, praktek lapang, magang, dan kegiatan lain yang dapat meningkatkan kapasitas motorik (keterampilan dan keahlian);

(3) rajin menghadiri diskusi, lokakarya, seminar, konferensi, dan kegiatan akademis (keilmuan) lainnya yang dapat meningkatkan wawasan, ilmu dan pengetahuan serta membangun network kerjasama; dan (4) berdoa, beriman dan taqwa, dan dekat kepada Allah SWT, Tuhan YME ,menurut agama kita masing-masing.

Sebelumnya, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi saat ini hanya sekitar 36% (World Bank, 2021).  Artinya dari seluruh warga negara Indonesia berusia sebagai mahasiswa S1 atau Diploma (18 – 25 tahun), hanya 36 persen nya yang dapat kuliah di berbagai Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. “Dan, adik-adik mahasiswa baru UNSULBAR yang sekarang sedang mengikuti Orasi Ilmiah saya ini adalah bagian kecil dari 36% komponen bangsa yang sangat beruntung itu,” ujarnya.

Lebih dari itu, lanjutnya, penduduk usia muda atau remaja (15 – 24 tahun) di seluruh wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang saat ini tidak bekerja, tidak bersekolah, tidak kuliah, dan tidak sedang mengikuti pelatihan (training) atau youth “Not in Education, Employment, and Training” (NEET), jumlahnya mencapai 22,40 persen (BPS, 2022). “Artinya, dari 100 penduduk Indonesia usia muda, ada 22 – 23 orang yang nganggur, tidak bersekolah, dan tidak sedang ikut training,” katanya.

Sebagaimana kita maklumi, kata Prof. Rokhmin Dahuri, bahwa Pendidikan, terutama Pendidikan Tinggi dan Sekolah Vokasi berperan sangat penting dalam meningkatkan produktivitas, daya saing, kemajuan, dan kesejahteraan suatu bangsa (Altbach and Salmi, 2011). 

Selain itu, pendidikan juga dapat mempercepat transisi struktur angkatan kerja (working force) Indonesia yang saat ini secara dominan (62%) bekerja di sektor informal, ke struktur angkatan kerja yang sebagian besar bekerja di sektor formal, yang lebih produktif, efisien, berdaya saing, mensejahterakan, lebih ada kepastian, dan berkelanjutan (sustainable). “Pendidikan juga mampu memutus mata rantai pengangguran dan kemiskinan,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 ini.

Sebab, menurutnya, seorang yang telah lulus Perguruan Tinggi atau SMA/SMK pada umumnya memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian, pola pikir, dan etos kerja yang cukup untuk siap bekerja sebagai wirausahawan (entrepreneur) maupun berkerja sebagai ASP (Aparat Sipil Negara), karyawan BUMN, perusahaan swasta, Lembaga internasional, dan lapangan pekerjaan (profesi) lainnya.

Setiap insan, tak terkecuali para mahasiswa baru UNSULBAR ini, saya yakin mendambakan kehidupan yang sukses dan bahagia.  Keberhasilan dan kebahagiaan itu tentu akan membuat bahagia dan rasa bangga bagi orang tua beserta keluarga besarnya.  Lebih dari itu, sebagai warga negara dan warga dunia yang baik, segenap mahasiswa baru ini yang kelak akan menjadi alumni UNSULBAR yang sukses juga diharapkan turut berkontribusi signifikan bagi terwujudnya Indonesia Emas ( Indonesia yang maju, adil-makmur.

Serta berdaulat) paling lambat pada 2045, dan dunia yang lebih baik (for a better world) melalui buah pikirannya, prestasi  terbaiknya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau karyawan di perusahaan dan lembaga lainnya, lapangan kerja yang dia ciptakan sebagai wirausahawan (entrepreneur), inovasi, atau amal saleh lainnya.  Sebagai insan beriman, sukses dan kebahagiaan hidup itu bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak, sebagai penghuni surga-Nya, Allah Azza wa Jalla.

“Saya berharap Orasi Ilmiah ini dapat memberikan semacam perspektif, arah (direction), dan bekal bagi para mahasiswa baru untuk hidup sukses serta bahagia, dan bagi UNSULBAR yang sudah berkinerja baik supaya lebih cemerlang lagi, hingga menjadi a World-Class University (WCU) dalam waktu tidak terlalu lama,” imbuhnya.

Lanjutnya, untuk menjadi mahasiswa dan alumni UNSULBAR yang berhasil, dan UNSULBAR menjadi a WCU, para mahasiswa dan Civitas Aacademica UNSULBAR mesti memahami kondisi kehidupan dan status pembangunan bangsa kita saat ini, dan Peta Jalan (Road Map) Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas pada 2045.

Selain kondisi dan status pembangunan sekarang (existing development status), Peta Jalan Pembangunan Bangsa juga mesti mempertimbangkan potensi dan permasalahan pembangunan bangsa, dan dinamika peradaban global.

Pemahaman mengenai segenap informasi pembangunan bangsa dan dinamika peradaban gobal tersebut dapat dijadikan dasar bagi para mahasiswa UNSULBAR dan Civitas Academica UNSULBAR untuk mengidentifikasi dan memetakan kebutuhan pembangunan, jenis pekerjaan (profesi), profil atau karakteristik SDM (Sumber Daya Manusia), sistem pendidikan, riset, inovasi, dan informasi yang dibutuhkan untuk masa kini dan masa depan.

Potensi Pembangunan Indonesia

Dalam paparannya, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara-negara di dunia yang memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, sejahtera (adil-makmur), dan berdaulat. Modal dasar pertama adalah berupa jumlah penduduk yang besar, 276 juta (BPS, 2022), yang merupakan jumlah penduduk terbesar keemapt di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. 

Ini berarti sejatinya Indonesia memiliki potensi pasar domestik yang sangat besar (terbesar keempat di dunia).  Dari perspektif ekonomi dan bisnis, artinya segenap komoditas, produk, dan jasa yang dihasilkan (diproduksi) oleh berbagai perusahaan dan sektor ekonomi akan mudah dipasarkan di dalam negeri, dibandingkan dengan negara-negara lain dengan penduduk yang kecil. 

Lebih dari itu, mulai tahun 2020 hingga 2035 Indonesia mendapatkan ‘Bonus Demografi’, dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) lebih besar ketimbang jumlah penduduk berusia tidak produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun).  Artinya, bila pemerintah dan rakyat Indonesia mampu meningkatkan kualitas SDM dan menciptakan lapangan kerja bagi penduduk usia produktif tersebut; maka produktivitas, efisiensi, dan daya saing perekonomian Indonesia pun bakal melejit.  Dan, Indonesia Emas tercapai pada 2045 adalah sebuah keniscayaan.

Sebaliknya, bila pemerintah dan rakyat Indonesia gagal melakukan dua hal tersebut, maka bukan berkah ‘Bonus Demografi’ yang bakal kita peroleh, tetapi ‘Bencana Demografi’ yang diwarnai dengan banyaknya pengangguran, khususnya pengangguran terdidik serta merebaknya kriminalitas dan baragam penyakit sosial lainnya.  “Sehingga, Indonesia akan terjebak sebagai negara-berpendapatab menengah (middle-income trap), alias bakal gagal menjadi negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan RI,” ujarnya.

Kedua, sambungnya, adalah potensi SDA (Sumber Daya Alam) yang cukup melimpah, baik di wilayah daratan, apalagi di wilayah laut Indonesia (Lampiran-5).  SDA itu ada yang berupa SDA terbarukan (renewable resources) seperti ekosistem hutan, lahan pertanian, mangrove, terumbu karang, perikanan, dan material industri bioteknologi. Dan, ada juga yang berupa SDA tidak terbarukan (non-renewable resources) termasuk minyak, gas bumi, batubara, emas, tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), dan mineral lainnya. 

“Artinya, Indonesia memiliki potensi produksi (supply capacity) berbagai macam komoditas, produk, dan jasa yang dibutuhkan bukan hanya oleh bangsa Indonesia (pasar dalam negeri), tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain di dunia (pasar ekspor, global),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini.

Ketiga, secara geokonomi dan geopolitik, Indonesia berada di posisi yang sangat strategis, di jantung perdagangan global (Global Supply Chain System), diapit oleh dua Samudera (Pasifik dan Hindia) dan dua Benua (Asia dan Australia) (Lampiran-6).  Dimana sekitar 45% dari seluruh komoditas dan produk (barang) yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai ekonomi sekitar US$ 15 trilyun per tahun diangkut oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2018). 

Sayangnya, kita bangsa Indonesia bukannya memanfaatkan (to capitalize) posisi geoekonomi yang sangat strategis itu untuk memproduksi dan mengekspor berbagai produk, barang, dan jasa.  Sebaliknya, kita gunakan secara dominan sebagai media untuk mengimpor beragam komoditas, produk, barang, dan jasa dari bangsa-bangsa lain untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tak pelak, neraca perdagangan – RI sejak 2012 hingga 2019 selalu ‘minus’ (tekor), total nilai impor lebih besar ketimbang total nilai ekpsor.  Inilah penyebab utama dari kecilnya cadangan devisa kita, yang hanya sekitar US$ 120 milyar. 

“Bandingkan dengan negara kecil, tetangga kita Thailand yang saat ini punya cadangan devisa US$ 140 milyar.  Terbatasnya cadangan devisi ini berimbas pada rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang utama dunia lainnya,” ucapnya.

Keempat, Indonesia merupakan ‘swalayan potensi bencana alam’.  Sekitar 70% dari seluruh gunung berapi aktif terdapat di Indonesia (Lampiran-7).  Indonesia pun merupakan salah satu negara dengan potensi bencana tsunami tertinggi di dunia.  Demikian juga halnya, dengan bencana hidrometri, seperti banjir dan tanah longsor. 

Belum lagi dampak negatip akibat Pemanasan Global (Global Warming) seperti gelombang panas (heat waves), kebakaran lahan dan hutan, cuaca ekstrem, pola iklim yang tidak menentu, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), dan ledakan wabah penyakit.

Mengapa bencana alam, saya anggap sebagai hal positip bagi kemajuan bangsa Indonesia.  Karena, negara yang secara alam kaya raya (modal dasar pembangunan yang besar dan lengkap) ini, tetapi sudah 77 tahun merdeka, masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah, diyakini kualitas SDM nya masih rendah, terutama malas dan kurang produktif akibat sebagian besar pemimpin dan rakyat Indonesia menganggap tidak ada tantangan kehidupan yang serius. 

Dengan alam yang kaya raya dan kultur masyarakat yang ‘gotong royong’ (saling membantu), orang malas pun masih bisa makan dan hidup relative mudah.  Tidak seperti di negara bermusim empat (ada winter, semi, summer, dan gugur) dan di masyarakat kapitalis yang sangat egois dan cuek bebek. 

“Maka, hendaknya para pemimpin (elit) bangsa dan rakyat Indonesia menjadikan ‘swalayan bencana alam’ ini sebagai tantangan bersama (common challenge) untuk kita meningkatkan kualitas diri, sehingga kita mampu membantu bangsa tercinta ini lebih produktif, berdaya saing, maju, dan sejahtera secara berkelanjutan (sustainable),” tandasnya.

Status Pembangunan Indonesia

Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan.  Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen.  Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen.

Sayang, karena pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021). Ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia saat ini mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia (World Bank, 2021).

Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 276 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. 

“Artinya, hingga saat ini (sudah 77 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country).  Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945,” kata Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) itu.

Sementara itu, sambungnya, negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura dengan potensi pembangunan yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, tingkat kemakmurannya sudah jauh melampaui kita bangsa Indonesia. Bahkan Singapura dan Brunei Darussalam sudah dinobatkan sebagai negara makmur, dengan GNI per kapita 54.920 dolar AS dan 32.230 dolar AS. 

Tingkat kemajuan bangsa Indonesia, yang diukur atas dasar kapasitas IPTEK (UNESCO, 2014) (Lampiran-11), pun sampai sekarang masih berada di kelas-3 (technology-adaptor country), belum sebagai negara maju (technology-innovator country) atau kelas-1.  Technology-adaptor country adalah negara yang sekitar 70% kebutuhan teknologinya berasal dari impor, bukan dari hasil karya (inovasi) bangsa sendiri. Sebaliknya, negara maju (technology-innovator country) adalah negara yang lebih dari 70% kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh hasil karya bangsanya sendiri, bukan dari impor.

Disamping itu, Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia). 

Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 472.525/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27 juta orang atau 10,2% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021).  Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang atau 37% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2021). 

Dalam hal ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin), Indonesia merupakan negara terburuk ketiga di dunia, dimana 1% (satu persen) penduduk terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 45% total kekayaan negara. Yang terburuk adalah Rusia, dimana satu persen orang terkayanya memiliki total kekayaan sama dengan 58,2% kekayaan negara. 

Disusul Thailand, sekitar 54,6% (Oxfarm International, 2021).  Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Disisi lain, kata Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya yang tak kalah rumit adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).  Akibatnya, P. Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya.  Padahal, menurutnya, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahnnya (Odum, 1976; Clark, 1989). 

“Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah. Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing,” sebutnya.

Implikasi lainnya, terang Prof. Rokhmin Dahuri, adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021).  Ini menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing ekonomi Indonesia.

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur). 

Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%. “Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” katanya.

Namun, kata Prof. Rokhmin Dahuri, yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 71 tahun lalu.  Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021).

Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.  Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020).

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat.  Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan. 

“Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula.  Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’,” ucap Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Menurutnya, tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan.  Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. Dan, kita mengalami defisit pemimpin bangsa (di Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dari tingkat nasional hingga daerah) yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan. 

“Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya.  Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya,” tandasnya.

Namun, Prof. Rokhmin Dahuri mengingatkan, akar masalah (root cause) dari ketertinggalan bangsa kita adalah karena sejak awal Orde Baru, kita menganut sistem (paradigma) Kapitalisme (Mubyarto, 2004;  Sritua Arief dan Rizal Ramli dalam Ridwan, 2014). Bukan Pancasila.  Parahnya, kita kurang atau tidak mengambil sisi-sisi positip dari Kapitalisme, seperti kerja keras, disiplin, mencintai dan menguasai IPTEK serta inovasi.

Tetapi, justru kita praktekan nilai-nilai Kapitalisme yang negatip, seperti rakus, hedonis, hanya mengejar untung sebesar-besarnya (profit maximization), mengeksploitasi yang lain (terutama yang lemah), dan tidak mempercayai kehidupan akhirat.  Sejak awal Orde Baru sampai sekarang, perekonomian sebagian besar berbasis pada eksploitasi SDA, ekspor komoditas mentah, buruh murah, dan investasi asing. 

“Akibatnya, keuntungan ekonomi (economic rent) dari berbagai kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis kebanyakan lari ke Jakarta atau negara-negara asal investor asing (regional leakages). Negara dan rakyat Indonesia hanya menikmati sebagain kecil keuntungan ekonomi itu atau ‘remah-remah’ nya saja,” tukasnya.

Rektor UNSULBAR, Dr. Ir. H. Akhsan Djalaluddin, M.S 

Kehidupan Manusia Di Abad-21

Pada prinsipnya ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.

Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021). Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya. 

Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.

Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi. Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2015).

Namun saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja, padahal seharusnya pemanfaatan teknologi dan artificial intelligence dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat.

Ketiga, Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).

Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).

Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur.  Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global.  Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.

Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).

“Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019),” jelas Ketua Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan Seluruh Indonesia (ASPEKSINDO) itu.

Kelima, sambungnya, kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015).  Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut. 

Melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi nya: Pengajaran/Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat.  Kapasitas (knowledge, skills, expertise, dan attitude) yang dibutuhkan untuk mengarungi kehidupan di era VUCA dengan sukses dan bahagia adalah: kreativitas, inovatif, kemampuan beradaptasi, daya lenting (resillience), agility (kegesitan), kolaborasi (teamwork), positive thinking, entrepreneurship, dan iman dan taqwa menurut agama kita masing-masing.

Peta Jalan Pembangunan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045

Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu menerangkan, untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa.

Ada 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS. Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045  rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019).

Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technology-innovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). 

Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3.  Keenam, kedaulatan (ketahanan ) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat. 

Ketujuh, IPM mesti diatas 80.  Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosial-ekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Karena transformasi struktural ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara-bangsa untuk dapat lulus dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Maka, saya ingin sedikit mengelaborasi tentang proses transformasi struktural ekonomi.

Menurut United Nations (2008), “transformasi ekonomi struktural melibatkan realokasi faktor-faktor produktif dari pertanian tradisional ke pertanian modern, industri manufaktur, dan jasa; dan realokasi faktor-faktor produktif tersebut di antara kegiatan sektor manufaktur dan jasa. Ini juga berarti menggeser sumber daya (faktor produktif) dari sektor dengan produktivitas rendah ke tinggi. Hal ini juga terkait dengan kemampuan bangsa untuk mendiversifikasi struktur produksi nasional yaitu: untuk menghasilkan kegiatan ekonomi baru, memperkuat keterkaitan ekonomi dalam negeri, dan membangun kemampuan teknologi dan inovasi dalam negeri”.

Mengacu pada definisi dan pengertian tentang transformasi struktural ekonomi itu, maka untuk konteks Indonesia, transformasi struktural ekonomi mencakup enam elemen (proses) berikut.  Pertama, dari dominasi kegiatan eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable). 

Kedua, dari dominasi sektor impor dan konsumsi ke dominasi sektor investasi, produksi, dan ekspor.  Ketiga, modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

Keempat, revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Makanan Minuman, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya.  Kelima, pengembangan industri manufakturing baru, seperti mobil listrik, EBT (Energi Baru Terbarukan), Semikonduktor, Baterai, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan Industri 4.0.  Keenam, kelima proses pembangunan ekonomi tersebut mesti berbasis pada Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).

Di bidang lingkungan hidup, pertama adalah bahwa RTRW harus diimplementasikan secara serius dan konsisten di tingkat nasional, provinsi hingga ke Kabupaten/Kota. Kedua, pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus dikerjakan secara optimal, tidak melampaui potensi produksi lestarinya, dan ramah lingkungan. 

Ketiga, eksploitasi SDA tidak terbarukan (seperi minyak, gas, batubara, mineral, dan bahan tambang) mesti dilakukan secara ramah lingkungan, didahului dengan studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), pemantauan lingkungan, dan pengelolaan lingkungan.  Pastikan bahwa masyarakat setempat (lokal) dilibatkan sejak awal perencanaan proyek pembangunan, dapat bekerja di proyek pembangunan, dan mendapatkan keuntungan (berkah) langsung. 

Sebagian keuntungan harus dialokasikan untuk rehabilitasi lingkungan yang rusak, dan pengembangan berbagai kegiatan usaha ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan, sebelum masa tambang berakhir. Keempat, pengendalian pencemaran dengan tidak membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) ke lingkungan (seperti lahan darat, danau, sungai, dan laut).  Limbah B3 harus diolah (treated) dahulu di instalasi pengolahan limbah B3, sampai netral (tidak berbahaya).  Untuk limbah non-B3 boleh dibuang ke lingkungan, tetapi jumlah (laju) pembuangannya tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan alam untuk menetralisirnya.

Kelima, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem. Keenam, dalam mengubah (memodifikasi) bentang alam (landscape atau seascape), infrastruktur, gedung, kawasan pemukiman, kawasan industri. kawasan pertanian, dan ekosistem buatan manusia (man-made ecosystems) lainnya; kita mesti mengerjakannya berdasarkan prinsip dan prosedur ‘design and construction with nature’ atau sesuai dengan kondisi, struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat. Ketujuh, mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.

Di bidang sosial-budaya, kita mesti meningkatkan kinerja sektor Pendidikan supaya semua anak, remaja, dan orang dewasa mampu menyelesaikan pendidikannya, dari jenjang PAUD, SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi dengan kualitas Pendidikan yang terbaik, a world-class education.  Struktur tenagan kerja Indonesia yang saat ini terdiri dari 55% lulusan SLTP (18%) dan lulusan SD atau tidak tamat SD (37%), ke depan melalui perbaikan sektor Pendidikan, semua angkatan kerja minimal lulusan SLTP, seperti halnya di negara-negara maju dan makmur. 

Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi yang saat ini baru mencapai 36,3% pun bisa meningkat seperti di negara-negara maju dan makmur diatas 60%. Kinerja sektor Kesehatan mulai sekarang juga harus disempurnakan untuk menurunkan angka stunting anak-anak kita dari sekarang 24,4% menjadi 14% pada 2024, gizi buruk dari 17,7% menjadi 10%, dan berbadan kurus dari 10,2% menjadi 5%.  Kapasitas riset dan inovasi mulai sekarang juga harus ditingkatkan hingga seperti di negara-negara maju dan makmur. 

Pasalnya, kapasitas riset dan inovasi sangat menentukan produktivitas dan daya saing suatu bangsa.  Terakhir adalah perbaikan etos kerja dan akhlak bangsa melalui Pendidikan agama, budipekerti, contoh teladan dari orang tua dan tokoh masyarakat, dan penciptaan sistem sosial yang kondusif bagi tumbuh kembangnya insan-insan Indonesia yang beretos kerja unggul, berkahlak mulia, dan beriman dan taqwa kepada Tuhan YME menurut agama masing-masing.

Di bidang politik-hukum-keamanan, pertama yang mesti dibenahi adalah tata kelola pemerintahan yang hingga kini belum mencapai kinerja sebagaimana di negara-negara maju dan makmur. Praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) bukannya membaik, malah kian merajalela. Maka, prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) termasuk transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan melayani publik (rakyat) mesti dilaksanakan di setiap unit kerja pemerintah, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai desa.

“Hukum sungguh-sungguh harus ditegakkan secara tegas, keras, adil, tanpa pandang bulu, dan berwibawa. Jaminan rasa aman dan keadilan harus benar-benar hadir di tengah kehidupan masyarakat kita.  Sistem sosial budaya dan polhukam harus menciptakan masyarakat meritokrasi, yakni sistem kehidupan sosial yang memberikan penghargaan dan kepercayaan kepada setiap warga negara yang kompeten, beretos kerja unggul, berakhlak mulia, dan berprestasi untuk menduduki jabatan tinggi dan terhormat di pemerintahan, perusahaan swasta, dan Lembaga-lembaga lainnya,” katanya.

Sebaliknya, lanjut Prof.Rokhmin Dahuri bagi warga negara yang pemalas, etos kerjanya rendah, akhlaknya buruk, dan bikin masalah melulu mesti diberi hukuman (punishment), disinsentif, dan efek jera.  Selanjutnya, pemerintah berkewajiban untuk memperbaiki kompetensi, etos kerja, dan akhlak dari semua warga negara yang terkena masalah ini.  Dengan demikian, generasi mendatang akan berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dan berprestasi agar bisa hidup sukses, terhormat, dan bahagia.

“Stop praktik PILKADA, PILEG, PILPRES, dan PEMILU yang selama ini sangat dipenuhi oleh politik uang (money politics), yang mengakibatkan biaya sangat tinggi.  Sehingga, ujungnya lebih dari 70 persen Kepala Daerah terjerat kasus korupsi,” tegasnya.

Yang lebih mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, di tingkat nasional, kini negara dikuasai oleh oligarki (kerjasama elit politik dan konglomerat jahat) untuk merampok kekayaan negara dan ‘menjual negara’ ke pihak asing. Kini saatnya kita menyudahi demokrasi liberal dengan ‘one man, one vote’ nya. Dan, kemudian menerapkan demokrasi yang berlandaskan pada hikmah dan kebijksanaan melalui permusywaratan/perwakilan (Sila-4 Pancasila).

Kekuatan pertahanan nasional yang meliputi SDM, alusista, infrastruktur, dan anggaran harus ditingkatkan supaya berwibawa dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan kekuatan ekonomi, IPTEK, dan Hankam yang tangguh, berkelaas dunia; kita akan mampu melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, sekaligus turut menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

“Semua kebijakan dan program pembangunan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, sosial-budaya, dan polhukam diatas haruslah berdasarkan pada Pancasila, sebagai pengganti sistem Kapitalisme,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Ekonomi Hijau

Lahirnya paradigma Green Economy, sejak akhir 1980-an sejatinya merupakan response dan koreksi atas kegagalan paradigma ekonomi konvensional (Kapitalisme) seperti saya uraikan diatas. Menurut UNEP (2011) “Green Economy is one that results in improved human well-being and social equity, while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities” (Ekonomi Hijau adalah sistem ekonomi yang menghasilkan perbaikan kesejahteraan manusia serta pemerataan sosial, dan secara simultan mengurangi risiko (kerusakan) lingkungan dan kelangkaan ekologis).

Secara lebih operasional, Green Economy dapat kita maknai sebagai sistem ekonomi yang dibangun dan digerakkan oleh aktivitas manusia (produksi, transportasi, distribusi, dan konsumsi) yang mengemisikan sedikit CO2 (low carbon) atau tanpa karbon (zero-carbon emission), tanpa membuang limbah atau sedikit limbah (zero or low-waste), menggunakan SDA secara efisien dan tidak melampui kemampuan pulihnya, dan secara sosial hasilnya (pertumbuhan ekonomi atau kesejehteraan nya) dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia secara adil (socially inclusive) dan berkelanjutan (sustainable) (Dahuri, 2021). 

Ekonomi Digital

Sejak awal abad-21 (tahun 2000) dunia mengalami perubahan yang super cepat dengan lahirnya berbagai jenis teknologi yang berbasis pada teknologi digital, IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligent), Big Data, Blockchain, Cloud Computing, 3-D Printing, Augmented Realiyty dan Virtual Reality (METAVERSE), automasi, robotics, new materials, biotekonolgi, dan nanoteknologi. 

Tahun 2000 juga disebut sebagai awal dari Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) yang melahirkan berbagai jenis teknologi baru tersebut (Schwab, 2016).  Beragam teknologi baru itu telah dan akan menimbulkan perubahan dan disrupsi di hampir semua aspek (bidang) kehidupan manusia.

Disrupsi adalah terjadinya perubahan dalam suatu aspek kehidupan yang sangat fundamental dan berlangsung super cepat.  Disrupsi selalu diawali dengan inovasi teknologi maupun inovasi non-teknologi, yang memutus mata rantai berbagai jenis teknologi, metoda, pendekatan, dan cara lama, yang lahir sebelumnya (Adiningsih, 2019).

Inovasi Disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada,dan pada akhirnya menggantikan teknologi yang terlebih dahulu ada. Inovasi disruptif mengembangangkan suatu produk atau layanan dengan cra yang tidak diprediksi pasar, umumnya dengan menciptakan segmen konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama.

Sebagai negara yang bergerak ke arah digitalisasi atau disebut juga sebagai tranformasi digital di berbagai sektor pembangunan, Indonesia juga mengalami era disrupsi ini. Adalah hal yan lumrah, bahwa disrupsi itu selalu menghadirkan pihak-pihak yang menang dan diuntungkan (winners) dengan adanya disrupsi tersebut, dan ada pihak-pihak yang kalah (lossers).

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang sangat luas dan memiliki jumlah penduduk usia produktif yang tinggi. Oleh karena itu, pengaruh dan dampak disrupsi sangat beragam. Di wilayah Indonesia bagian barat, pengaruh dan dampak disrupsi cenderung lebih signifikan dan positif dibandingkan dengan di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.

Meski demikian, Indonesia membuka diri terhadap banyak opsi dalam memasuki era digital karena akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa. Indonesia dapat memanfaatkan perkembangan baru ini untuk keuntungan semua rakyat. Memang perubahan-perubahan kerena transformasi digital belum banyak dipahami saat ini. Namun, apabila dapat diantisipasi dengan lebih baik, cepat, dan sigap, Indonesia dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraa rakyat, baik di wilayah barat, tengah, maupun timur. 

Untuk itu, ungkapnya, selain di aspek rantai pasok (supply chain) seperti Gojek, Gofood, dan Hallodoc, penemuan dan aplikasi inovasi teknologi digital juga harus dilaksanakan di sub-sistem eskplorasi, produksi, dan manufacturing (pengolahan) di semua sektor pembangunan, seperti Kelautan dan Perikanan, Pertanian, Kehutanan, ESDM (Energid an Sumber Daya Mineral), Industri Manufaktur, dan Pariwisata. “Supaya produktivitas, produksi, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan (sustainability) dari semua sektor itu dapat meningkat secara ramah lingkungan berkelanjutan (sustainable),” jelasnya.

Pancasila Sebagai Ideologi Dunia

Untuk mencegah dunia dari kehancuran, jelas Prof. Rokhmin Dahuri, maka masyarakat dunia harus memperbaiki Sistem Kapitlisme secara fundamental atau mencari alternatif paradigma pembangunan yang mampu mengatasi sejumlah permasalahan kemanusiaan diatas. Karena, paradigma pembangunan utama lainnya, Komunisme telah mati sejak 1989 bersamaan dengan runtuhnya Emporium Uni Soviet, maka Pancasila dapat menjadi paradigm alternatif menuju dunia yang lebih baik, sejahtera, berkeadilan, damai, dan berkelanjutan. 

Dalam perspektif Pancasila, manusia dan alam semesta adalah makhluk ciptaan Tuhan YME.  Selain homo sapiens dan homo economicus (makhluk ekonomi), manusia juga homo religiosa (makhluk beragama).  Manusia tidak hanya tersusun oleh jasad-fisik (jasmani), tetapi juga oleh ruh (rohani).  Maka, kepuasan dan kebahagiaan insan Pancasilais tidak hanya berupa terpenuhinya kebutuhan jasmani, harta, jabatan, popularitas, dan atribut-atribut duniawi lainnya, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan spiritual. 

Seorang Pancasilais juga mengimani bahwa kehidupan di dunia ini sifatnya hanya sementara.  Setelah kematian, manusia akan meninggalkan dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang sebenarnya dan abadi.  Semua harta-benda, jabatan, istri dan anak keturunan yang dicintainya tidak menyertainya ke alam kubur dan akhirat.  Hanya selembar kain kafan dan amal perbuatannya yang setia menemaninya ke alam akhirat untuk menghadap Tuhan yang menciptakannya.  Bergantung pada iman dan amal-salehnya, manusia akan menggapai kebahagiaan (surga) atau siksaan (neraka) di akhirat kelak.

Dengan world view diatas, maka seorang Pancasilais dalam menjalankan kehidupan, baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat (bangsa) pasti akan dilandasi dengan keimanan dan niat ikhlas karena Tuhan YME.  Berperilaku adil dan beradab baik untuk bangsanya sendiri maupun masyarakat dunia. 

Mengutamakan persaudaraan, toleransi , dan persatuan, ketimbang perpecahan, apalagi perang. Mengedepankan azas musyawarah – mufakat yang dilandasi oleh hikmah dan kebijaksanaan di dalam  proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan  voting dan pemilihan langsung.  Dan, dia pasti akan berbagi kelebihan (harta, IPTEK, dan kekuasaan) kepada sesama yang membutuhkan secara berkeadilan. 

“Bila Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat  serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila, maka ia akan menjadi a role model, dan Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan,” sebut Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional dari Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Dalam sambutannya, Rektor UNSULBAR, Dr. Ir. H. Akhsan Djalaluddin, M.S mengucapkan bahwa penerimaan mahasiswa baru tahun ini pertama kali dilaksanakan di kampus baru. Selama penerimaan mahasiswa baru sejak tahun 2013-sekarang dilakukan di depan komplek Masjid Ilaikal Mashir di Pasanggrahan.

“Alhamdulillah, pada perioden 2022-2023, kita melaksanakan di kampus kita sendiri. Meskipun saya memohon maaf termasuk kepada mahasiswa baru kita belum bisa menerima secara ruling sepenuhnya bagi sejumlah 3500 lebih mahasiswa baru yang kita terima. Karena keterbatasan tempat kita baru memiliki gedung auditorium mini ini yang baru bisa menampun 1000 orang,” ujarnya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, karena UNSULBAR memiliki 8 fakultas maka setiap fakultas mengirimkan 100 orang saja, terutama yang telah vaksin paling sedikit 2 kali. “Sehingga kita semua terhindar dari penularan Covid-19 yang saat ini masih ada di sekitar kita,” ucapnya.

Lebih lanjut, Rektor UNSULBAR menyampaikan, saat ini telah menerima mahasiswa baru kurang lebih 3500 orang yang diterima melalui tiga seleksi yaitu, SNPN, SDN PPN, dan seleksi mandiri. “Alhamdulillah, pada tahun ini penerimaan terbesar yang biasanya di tahun-tahun sebelumnya hanya kurang lebih 2000-2500 orang. Tapi tahun ini karena kita memiliki beberapa ruang kuliah, dan Insya Allah bisa ditempati secara ruling pecan depan,” ungkap Dr. Akhsan.

Rektor juga menerangkan, UNSULBAR telah membuka pendidikan guru sekolah dasar, dan cukup banyak peminatnya. Dalam waktu dekat sedang proses penerbitan untuk program studi pendidikan dokter di UNSULBAR.

“Harapan kita pada semester awal 2022-2023 kita bisa menerima mahasiswa program studi pendidikan tersebut dengan program apirmasi. Kita juga sedang 2 tahun menerima 10 mahasiswa dari Papua dan NTT untuk tahun ajaran ini,” jelasnya.

Dr. Akhsan berharap mahasiswa bisa bekerjasama dengan baik, berkolaborasi hingga selesai studi di Universitas ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. “Saya mengingatkan mahasiswa baru bahwa Covid-19 belum pulang di kampungnya, masih ada di sekitar kita. Untung saja kita semua sudah melaksanakan vaksin sehingga terjadi kekebalan menyeluruh. Mudah-mudahan kita bisa terhindar,” imbuhnya.

 

 

 

Komentar