Buruknya Kualitas Udara Jakarta, Kado Istimewa HUT ke-495?
ASKARA - Jelang HUT ke-495 Jakarta mendapat kado yang tak istimewa. Pasalnya, kualitas udara Jakarta menjadi yang terburuk.
Lembaga data kualitas udara, IQ Air menempatkan kualitas udara Jakarta pada posisi pertama sebagai kota dengan kualitas terburuk, pada Senin (20/6) lalu.
Kualitas udara di Jakarta mencapai indeks 160 menurut lembaga data kualitas udara, IQ Air.
Sementara indeks kualitas udara berdasarkan standar Amerika Serikat (AQ AS) menggolongkan indeks 151 hingga 200 merupakan kategori udara yang tidak sehat.
Konsentrasi "particulate matter" (PM) 2.5 mencapai 14,6 kali lipat di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Untuk diketahui PM 2.5 merupakan polutan pencemar udara yang paling kecil dan berbahaya bagi kesehatan tubuh. Bisa menyebabkan gangguan infeksi saluran pernafasan dan paru-paru dalam jangka waktu panjang.
Jika menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardivaskular seperti penyakit jatung koroner.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko mengungkapkan, sejumlah faktor yang mempengaruhi peningkatan PM2.5 sehingga kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat atau buruk.
Penyebab pertama adalah konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal seperti transportasi dan residensial, serta kawasan industri dekat Jakarta.
Kedua, emosi dalam kondisi tertentu dipengaruhi parameter meteorologi yang terekam alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5. Ketiga, disebabkan oleh pergerakan polutan udara seperti PM2.5 yang juga dipengaruhi pola angin.
“Tingginya konsentrasi PM2.5 dibandingkan hari-hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat atau gelap,” ujar Urip Haryoko, dalam keterangannya, Minggu (26/6).
Tak tinggal diam, Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan sejumlah upaya. Gubernur DKI Jakarta bahkan telah menggagas program Jakarta Langit Biru sebagai upaya perbaikan kualitas udara.
Program tersebut dituangkan dalam Instruksi Gubernur DKI Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Juga tidak segan memberikan sanksi pada perusahaan pelaku pencemaran. Namun semua kebijakan tersebut belum sepenuhnya berhasil.
Kata Anies, pihaknya akan melakukan berbagai langkah-langkah mengurangi emisi di kota Jakarta, salah satunya menggunakan transportasi umum.
“Kita lakukan langkah-langkah mengurangi emisi di kota ini dengan transportasi umum yang dibangun dan alhamdulillah peningkatan penumpangnya tinggi sekali,” ujar Anies Baswedan, pada Rabu (22/6).
Sementara itu, Kadis Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto menyarankan masyarakat untuk menguji emisi kendaraanya secara rutin.
Menukil laporan voi.id, Anies Baswedan memandang sumber polusi udara di Jakarta bukan hanya berasal dari kawasan ibu kota, melainkan juga di daerah penyangga. Begitu pula dengan pencemaran udara di Jakarta yang juga akan menyebar ke daerah luar.
Memang membenahi Jakarta tidak bisa hanya dilakukan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Harus melibatkan kota-kota satelit di sekeliling Jakarta. Jabodetabek atau Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi harus terintegral.
Tapi, apapun alasannya Pemprov DKI memang harus mencari formulasi yang tepat agar kualitas udara di Jakarta membaik. Pembatasan kendaraan ganjil genap, selain mengurangi kemacetan juga untuk mengurangi polusi udara. Termasuk pergub yang dikeluarkan. Tapi sepertinya itu tidak cukup.
Mungkin publik masih ingat, saat pandemi-COVID-19 lagi parah-parahnya dan pembatasan dilakukan secara ketat, udara di Jakarta mendadak cerah.
Mungkin salah satu yang perlu dipikirkan bagaimana agar langkah Pemprov DKI Jakarta untuk mengurangi kendaraan pribadi berhasil memaksa masyarakat untuk menggunakan transportasi publik.
Jika mau ekstrem, jika sekarang pembatasan ganjil genap hanya untuk 26 ruas jalan mungkin bisa diperluas.
Soal emisi kendaraan bermotor benar-benar dijalankan secara tegas. Karena salah satu sumber polusi yang cukup besar berasal dari asap kendaraan bermotor. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah memperbanyak paru-paru kota. Ruang terbuka hijau mesti ditambah.
Mengutip dari situs jakarta.go.id, DKI Jakarta memiliki kawasan hutan lindung seluas 44,76 hektare berupa hutan payau/bakau, hutan konservasi mencapai 227,34 hektare dan Taman Nasional Kepulauan Seribu seluas 108.039,50 hektare, serta hutan kota seluas 181,28 hektare yang tersebar di 69 lokasi per 2015.
Dengan anggaran APBD mencapai lebih dari Rp82 triliun, rasanya tidak berat bagi Pemprov DKI untuk menambah hutan kota.
Hutan kota bukan hanya menjadi paru-paru kota tapi juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau. Tempat masyarakat melakukan interaksi. Tempat masyarakat berkumpul, berolahraga dan rekreasi.
Komentar