Prof. Rokhmin Dahuri: Sektor Kelautan dan Perikanan Berjasa Bagi Kemajuan Provinsi Lampung

ASKARA - Sektor Kelautan dan Perikanan (KP) dianggap berperan (berjasa) signifikan bagi kemajuan dan kesejahteraan suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Provinsi, atau Negara), bila ia mampu memproduksi komoditas, produk olahan, dan jasa KP untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor serta menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang: (1) tinggi (rata-rata > 7% per tahun), (2) berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja), (3) inklusif (mampu mensejahterakan seluruh pelaku usaha dan stakeholders secara berkeadilan), dan (4) ramah lingkungan serta berkelanjutan (sustainable).
Demikian disampaikan Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Sektor Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Tahun 2022 di Hotel Sheraton, Bandar Lampung, 31 Maret 2022.
"Seorang nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan pedagang ikan termasuk sejahtera, jika pendapatannya > US$ 300 (Rp 4,5 juta) per bulan," ujar Prof. Rokhmin Dahuri lewat paparannya berjudul "Pembangunan Kelautan dan Perikanan untuk Meningkatkan Daya Saing, Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas dan Kesejahteraan Masyarakat Secara Adil dan Berkelanjutan Menuju Provinsi Lampung Yang Maju, Sejahtera, Damai, Mandiri, dan Diridhai Allah SWT".
Menurutnya, sebagian besar usaha penangkapan ikan bersifat tradisional: (1) tidak memenuhi economy of scale, (2) tidak menggunakan teknologi mutahkir, (3) tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (manajemen terpadu hulu – hilir), dan (4) tidak mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Bahkan, kebanyakan nelayan belum sejahtera; dan kontribusi Subsektor Perikanan Tangkap bagi perekonomian Prov. Lampung (PDRB, PAD, ekspor, dan lapangan kerja) masih rendah.
Mayoritas nelayan belum menerapkan Best Handling Practices > Saat ikan didaratkan di Pelabuhan Perikanan (Tempat Pendaratan Ikan) kualitasnya rendah >Harga jual ikan rendah > Kemiskinan nelayan.
"Sebagian besar Pelabuhan Perikanan belum berkelas dunia: sanitasi dan higienis rendah, tidak dilengkapi dengan Kawasan Industri Perikanan Terpadu (HULU – HILIR), tetapi hanya sebagai tambat – labuh Kapal Ikan," kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu.
Lanjutnya, posisi Nelayan dalam Sistem Rantai Pasok dan Nilai sangat tidak diuntungkan (marginal) > Keuntungan usaha (profit margin) sebagian besar dinikmati pedagang perantara (middle man) > Nelayan membeli sarana produksi mahal, sedangkan jual ikan murah > Kemiskinan Nelayan.
Pada saat nelayan tidak bisa melaut (sekitar 3 bulan dalam setahun), karena musim paceklik ikan atau cuaca buruk > Nelayan tidak punya matapencaharian alternatif (nganggur) > pinjam uang dari rentenir dengan bunga yang sangat tinggi (5 – 10 % per bulan) > Saat musim panen (banyak ikan), kelebihan pendapatan untuk bayar renternir (bukan untuk menabung) > kemiskinan nelayan.
"Sistem bagi hasil antara pemilik Kapal Ikan dan nelayan ABK belum adil (win-win) > Pemilik Kapal Ikan umumnya makmur, sedangkan nelayan ABK miskin," sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.
Lebih lanjut, kata Prof. Rokhmin Dahuri, overfishing beberapa jenis stok ikan di beberapa wilayah perairan (Pantai Timur Lampung), dan underfishing di beberapa wilayah lain (Pantai Barat Lampung, dan S. Sunda) IUU (Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing. Penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan (destructive fishing): bahan peledak, racun.
Pencemaran; alih fungsi ekosistem alam (mangrove, terumbu karang, estuari, dan lainnya) menjadi kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan lainnya; perusakan fisik ekosistem alam; biodiversity loss; dan jenis kerusakan lingkungan lainnya > Telah mengancam produktivitas, kualitas, daya dukung, dan kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem perairan (laut, pesisir, dan PUD) dalam menopang usaha perikanan tangkap yang mensejahterakan dan berkelanjutan.
Kebanyakan usaha budidaya ikan dikerjakan secara tradisional, tidak menerapkan: (1) economy of scale, (2) BAP, (3) Integrated Supply Management System, dan (4) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Penggunaan benih (benur) yang tidak unggul (SPF, SPR, dan fast growing), karena katersediaannya terbatas atau harganya mahal > Produktivitas rendah atau gagal panen. Harga pakan terus naik, sementara harga jual ikan hasil budidaya naiknya lambat atau stagnan.
"Padahal, sekitar 60% total biaya produksi budidaya untuk pakan. Ledakan wabah penyakit yang acap kali mengakibatkan rendahnya produktivitas (hasil panen) atau gagal panen," ucap Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Kebanyakan pembudidaya ikan, sambungnya, belum menerapkan Best Aquaculture Practices: (1) penggunaan benih unggul, (2) pakan berkualitas dan manajemen pemberian pakan, (3) pengendalian hama & penyakit, (4) manajemen kualitas air, (5) pond engineering (lay out, desain, dan material media), dan (6) biosecurity.
Pada umumnya posisi pembudidaya ikan dalam Sistem Rantai Pasok dan Nilai sangat tidak diuntungkan (marginal); Laju (intensitas) pembangunan perikanan budidaya di Pantai Timur, Pantai Barat, dan Wilayah Tengah (landlock areas) Provinsi Lampung berbeda; Posisi Subsektor Perikanan Budidaya dalam RTRW rendah > Alih fungsi lahan Perikanan Budidaya menjadi penggunaan lahan (land use) lainnya.
Lalu Unit Pengolahan Ikan) berskala Kecil dan Mikro, bersifat tradisional > daya saing produk olahan ikan rendah. Penerapan sistem rantai dingin dalam menjaga mutu hasil perikanan belum optimal. Kontinuitas pasok bahan baku berkualitas dan aman (food safety) bagi industri pengolahan hasil perikanan rentan; Relatif rendahnya daya saing komoditas dan produk olahan hasil perikanan, karena: biaya processing yang lebih mahal, rendahnya inovasi produk olahan, rendahnya aplikasi Best Manufakturing Practices, rendahnya kualitas dan keamanan produk (penolakan dari negara importir), tingginya biaya tetap dan biaya sosial. Tumpulnya kapasitas pemasaran kita, baik di pasar global (ekspor) maupun pasar domestik.
Kemudian, terbatasnya Infrastruktur Perikanan (Pelabuhan Perikanan, Saluran Irigasi dan Drainasi, Pasar Ikan Modern, dll) dan infrastruktur dasar (jalan, listrik air, bersih, telkom, dan internet). Pencemaran; degradasi fisik ekosistem alam (sungai, danau, mangrove, estuari, terumbu karang); biodiversity loss; dan jenis kerusakan lingkungan lainnya. Dampak Perubahan Iklim Global, tsunami, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Suku bunga Bank yang tinggi dan persyaratan pinjam yang memberatkan > akses nelayan, pembudidaya ikan, procesors, dan traders sangat terkendala. Alokasi APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota se Lampung untuk sektor KP rendah. Ego sektoral, ego daerah, dan konflik kewenangan.
Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).
Sementara dominasi kegiatan ekonomi impor dan konsumsi ke dominasi investasi, produksi dan ekspor. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orde Baru: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) kayu dan produk kayu, (4) pulp and paper, (5) Elektronik, (6) Otomotif, dan lainnya. Pengembangan industri manufakturing baru: mobil listrik, EBT, Semikonduktor, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan lainnya. Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 5) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).
Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan program "Nelayan Berjaya" Lampung, 2019-2024, antara lain:
Pertama, tumbuhnya usaha budidaya perikanan dan memberikan pendampingan pemasaran serta penjaminan pasar produk perikanan.
Kedua, Mengintegrasikan nelayan dan keluarga nelayan dalam pengembangan industri pengolahan perikanan.
Ketiga, Memberikan asuransi nelayan dan jaminan sosial bagi nelayan lansia.
Keempat, Memberikan beasiswa bagi anak-anak nelayan berprestasi dalam berbagai tingkatan pendidikan termasuk perguruan tinggi.
Kelima, Mendirikan Stasiun-stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan sentra pertambakan.
Sedangkan yang mesti dikerjakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, yakni:
1. Penyusunan Rencana Pembangunan, Investasi, dan Bisnis Sektor Kelautan dan Perikanan.
2. Penyusunan Proposal Pembangunan KP sesuai kebutuhan di setiap Kabupaten/Kota.
3. Berdasarkan pada butir-1 dan butir-2 menarik dana APBN (KKP, Kemen PUPR, Kemenhub, Kemenperin, dll) dan APBD Propinsi; dan menarik investor yang credible.
4. Menghadirkan Iklim Investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) yang kondusif dan atraktif: perizinan, keadilan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, keamanan berusaha, NAKER, RTRW, infrastruktur, dll.
“Jika ekonomi KP dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir (seperti diuraikan diatas), maka sektor-sektor KP akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya Prov. Lampung Emas pada 2035 dan Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI Kabinet Gotong Royong ini.
Komentar