Kamis, 25 April 2024 | 20:25
NEWS

Prof. Rokhmin Dorong Alumnis Universitas Al-Ghifari Memilih Jalan Menjadi Entrepreneur

Prof. Rokhmin Dorong Alumnis Universitas Al-Ghifari Memilih Jalan Menjadi Entrepreneur
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS
ASKARA - Dalam perspektif Negara Pancasila, lulusan (alumni) Perguruan Tinggi yang sukses adalah mereka yang mampu menguasai dan menggunakan IPTEK (hard skills) dan etos kerja serta akhlak mulia (soft skills) yang didaptakan selama masa perkuliahan, dalam kehidupan keseharian. Sehingga, hidupya sukses dan bahagia, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. 
 
Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University,  Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS  saat memberikan orasi ilmiah bertema "Posiotioning Universitas Al-Ghifari Beserta Alumninya Dalam Mewujudkan Indonesia Yang Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat di Era Globalisasi, Industry 4.0, Pandemi Covid-19, dan Perubahan Iklim Global" pada Wisuda Sarjana Universitas Al-Ghifari, Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 27 November 2021.
 
"Selain itu, lulusan Perguruan Tinggi yang sukses adalah mereka yang tidak egois. Mereka bekerja cerdas, keras, ikhlas serta bekerjasama secara sinergis dengan warga negara Indonesia lainnya untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya bagi terwujdunya Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (INDONESIA EMAS) paling lambat pada 2045. Mereka pun memiliki komitmen yang kuat untuk senantiasa  berbuat kebajikan bagi kemaslahatan sesama insan, dan dunia yang lebih baik, for a better world," ujar Prof. Rokhmin dalam rilis yang diterima Askara.co, Minggu (28/11).
 
Prof Rokhmin mengatakan, pendapatnya itu sesuai dengan tujuan Pendidikan Tinggi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, bahwa sistem Pendidikan Tinggi bertujuan: ”(1) berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (2) dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kebutuhan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (3) dihasilkannya IPTEK melalui penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (4) terwujudnya pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
 
Agar para wisudawan berhasil menerapkan hard skills dan soft skills bagi keberhasilan hidup saudara-saudara seperti saya gambarkan diatas.  Maka, saudara-saudara mesti memahami empat hal berikut: (1) status dan tantangan pembangunan bangsa Indonesia; (2) potensi (modal dasar) pembangunan Indonesia; (3) kecenderungan global utama (Key Global Trends) di abad-21, termasuk perkembangan IPTEK; dan (4) Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Maju, Adil-makmur, dan Berdaulat.   Dengan memahami keempat hal tersebut, saudara-saudara kemudian diharapkan mampu mengidentifikasi dan memetakan jenis-jenis pekerjaan, hard skills, dan soft skills yang dibutuhkan di Indonesia dan di dunia, baik untuk saat ini maupun di masa mendatang.
 
Status dan Tangangan Pembangunan Bangsa Indonesia
 
Lebih lanjut Prof. Rokhmin mengatakan, bahwa kita bersyukur kepada Allah SWT, bahwa sejak merdeka pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan.  Contohnya, tingkat kemiskinan yang pada tahun 1970 sebesar 60%, pada 2004 turun menjadi 16%, pada 2014 menjadi 12%, pada 2019 menjadi 9,2%; dan tahun 2020 karena pandemi covid-19 naik lagi menjadi 10,2% (BPS, 2021).  
 
Namun, hingga kini Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (lower – middle income country), dengan Pendapatan Nasional Kotor  (Gross National Income = GNI) sebesar 3.870 dolar AS per kapita (World Bank, 2021).  Belum menjadi negara  makmur (high-income country), dengan pendapatan nasional kotor diatas 12.695 dolar AS per kapita (World Bank, 2021).  
 
"Selain itu, berdasarkan pada kapasitas IPTEK, kita bangsa Indonesia pun belum berstatus sebagai negara maju.  Karena, kapasitas IPTEK bangsa Indonesia sampai sekarang masih berada di kelas -3 (Technology-Adaptor Country). Artinya, lebih dari 70 persen kebutuhan IPTEK nasional berasal dari impor. Sedangkan, negara maju adalah mereka yang kapasitas IPTEK nya mencapai kelas-1 (Technology-Innovator Country), dimana lebih dari 70 persen kebutuhan IPTEK nya dihasilkan oleh bangsanya sendiri (UNESCO, 2019)," kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (2020 - 2024) ini.
 
Meskipun kualitas SDM Indonesia terus mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, namun, katanya, hampir semua unsur (indikator) yang menentukan kualitas SDM Indonesia sampai sekarang belum memenuhi syarat untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat.
 
Kemampuan literasi bangsa kita masih sangat rendah, tercermin pada indeks minat baca yang hanya 0,001.  Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca (UNESCO, 2012). Pada 2016, CCSU (Central Connecticut State University) merilis laporan hasil risetnya berjudul ”The World’s Most Literate Nations” yang menempatkan Indonesia pada peringkat-60 dari 61 negara yang diteliti. Hanya satu tingkat diatas Boswana, negara sangat miskin di Benua Afrika. 
 
"Hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam pelajar setingkat kelas-3 SLTP di seluruh dunia, mengungkapkan bahwa pada 2018 dari 77 negara yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat-71," ungkap Prof Rokhmin Dahuri yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu. 
 
Disamping itu, tambahnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia pun hanya setara dengan US$ 23.390 per tahun.  Jauh dibawah Singapura (US$ 141.227), Malaysia (US$ 56.084), dan Thailand (US$ 27.101) (WEF, 2018). Kapasitas inovasi bangsa Indonesia baru menempati peringkat-85 dari 131 negara yang disurvei, dan pada urutan-7 di ASEAN. Singapura pada peringkat-5, Malaysia ke-35, Thailand ke-44, Vietnam ke-45, Brunei Darussalam ke-67, dan Pilipina ke-73 (Global Innovation Index, 2020).  
 
Pada 2014, jumlah wirausahawan (entrepreneur) di Indonesia hanya 1,6% dari total penduduk, kemudian naik menjadi 3,1 persen pada 2018.  Padahal, salah satu syarat bagi suatu negara untuk maju dan makmur adalah jumlah wirausahawannya minimal 7 persen dari total penduduknya (Bank Dunia, 2010). "Sebagai perbandingan, jumlah entrepreneur di Amerika Serikat mencapai 14 persen, Singapura 8 persen, Malaysia 5 persen, dan Thailand 4 persen," ujarnya.
 
Oleh sebab itu, Prof Rokhmin berharap, pada para wisudawan ini nantinya akan lebih banyak menjadi wirausahawan (entrepreneur) ketimbang sebagai Pegawai Negeri Sipil dan bekerja pada orang lain (perushaan). Seorang entrepreneur bukan mencari kerja, tetapi menciptakan lapangan kerja, baik untuk dirinya maupuan orang lain. Seorang entrepreneur yang sukses pasti memberikan banyak manfaat kepada sesama.  Inilah sebaik-baik manusia dalam pandangan Allah swt (HR. Ahmad).
 
Kita pun menghadapi darurat gizi buruk, karena sekitar 30 persen anak balita mengalami stunting growth (tubuh pendek, pertumbuhan terhambat, tengkes) dan 33 persen menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki, maka kita akan mewariskan generasi penerus yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. 
 
Muara dari rendahnya kapasitas literasi, inovasi, dan produktivitas tenaga kerja diatas adalah pada rendahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia.Pada 2020, daya saing Indonesia pada tataran dunia hanya di peringkat-50 dari 141 negara yang disurvei, dan urutan-4 di kawasan ASEAN dibawah Singapura (3), Malaysia (23), dan Thailand (32).  Dalam hal IPM, pada tingkat global, Indonesia baru mencapai nilai 72 atau peringkat-107 dari 189 negara yang disurvei.  Nigeria merupakan negara dengan IPM terendah di dunia.  Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menempati peringkat-6 di bawah Singapura ke-9, Malaysia (39), Brunei Darussalam (57), Thailand (83), dan Pilipina (113).  Persyaratan untuk menjadi negara maju dan makmur, IPM nya harus diatas 80 (UNESCO, 2018).
 
Potensi Pembangunan Indonesia 
 
Prof Rokhmin mengemukakan, status pembangunan negara kita yang masih sebagai negara berpendapatan-menengah, belum menjadi negara maju dan makmur akibat rendahnya kinerja pembangunan nasional, tidak perlu membuat kita putus asa, apalagi menyalahkan pemerintah atau pihak lain.  Kita harus tetap optimis, setiap warga negara Indonesia harus menyumbangkan kemampuan terbaiknya, dan antar komponen bangsa mesti bekerjasama secara produktif dan sinergis untuk mewjudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (INDONESIA EMAS) paling lambat pada 2045, pas seratus tahun umur NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
 
Apalagi bangsa Indonesia dikaruniai Allah SWT dengan tiga modal dasar atau potensi pembangunan (comparative advantages) yang sangat besar dan lengkap, yang tidak dimiliki oleh kebanyakan bangsa-bangsa lain di dunia.  Modal dasar pertama adalah jumlah penduduk sebanyak 272 juta orang, terbanyak keempat di dunia setelah China (1,4 milyar orang), India (1,2 milyar orang), dan Amerika Serikat (360 juta orang).  
 
"Artinya Indonesia mempunyai potensi pasar domestik yang sangat besar, terbesar keempat di dunia.  Pasar domestik yang besar, secara potensial mestinya memudahkan kita untuk memacu kegiatan produksi, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.   Lebih dari itu, mulai tahun 2020 hingga puncaknya pada 2032, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi.  Dimana, jumlah penduduk yang produktif (usia antara 15 sampai 64 tahun) lebih besar ketimbang yang tidak produktif," tandas Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (2020 - 2024) ini.
 
Kedua, Prof Rokhmin menjelaskan, bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), a resource-rich country, baik di darat, apalagi di wilayah lautnya.  Dengan menggunakan IPTEK mutakhir, khususnya teknologi di era Industri 4.0, dan manajemen profesional mestinya kita mampu mengolah (processing and manufacturing) SDA baik yang terbarukan (renewable resources) maupun yang tidak terbarukan (non-renewable resources) menjadi berbagai produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan (sustainable).  
 
Ketiga, posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia yang sangat strategis, diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan benua Asia dan Australia.  Dimana, sekitar 40% dari seluruh barang (komoditas dan produk) yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai sekitar US$ 15 trilyun per tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2018). Padahal, menurut Bank Dunia dan IMF (2021) PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia tahun ini hanya US$ 1,1 trilyun, terbesar ke-16 di dunia).  
 
"Sayangnya, hingga kini kita belum berhasil memanfaatkan posisi sentral negara kita dalam Rantai Pasok Global (Global Supply Chain) itu, melalui produksi dan ekspor berbagai produk dan jasa (goods and services) buatan bangsa Indonesia.  Alih-alih, kita masih menjadi bangsa konsumen, pembeli (pengimpor) barang dan jasa buatan bangsa-bangsa lain melalui distribusi Rantai Pasok Global tersebut.  Nilai impor yang lebih besar ketimbang ekpsor telah menyebabkan neraca perdagangan Indonesia sejak 2012 mengalami defisit.  Akibatnya, Current Account Defisit (defisit transaksi berjalan) pun semakin besar. Selanjutnya, defisit ganda ini berimbas pada pelemahan nilai rupiah dan daya saing ekonomi kita," paparnya.
 
Key Global Trends di Abada-21
 
Sejak memasuki abad-21 (tahun 2000), terdapat lima kecenderungan global (key global trends) yang sangat berpengaruh terhadap maju-mundurnya sebuah bangsa dan kehidupan umat manusia secara keseluruhan.  Pertama adalah jumlah penduduk yang terus bertambah dan gaya hidup (life-style) yang hedonis dan konsumtif.  Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,4 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 8,5 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 12 milyar jiwa (PBB, 2018).  
 
Implikasinya tentu bakal meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.  
 
"Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wiayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara bakal semakin menjadi-jadi," sebut ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).
 
Kedua, terangnya, berupa pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan pengikisan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) yang kian meluas dan masif, serta Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) atau Global Warming.   Pencemaran, biodiversity loss, dan sejumlah dampak negatip dari Perubahan Iklim Global (seperti suhu bumi makin tinggi, heat waves, peningkatan paras laut, ocean acidification, kekeringan dan banjir, cuaca ekstrem, dan pola iklim yang tak menentu) bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga bakal membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017). 
 
Ketiga,  lahirnya generasi teknologi di era Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) dan perkembangannya yang super cepat.  Teknolologi yang dimaksud meliputi IoT (Internet of Things), Artificial Intelligent, Big Data, Cloud Computing, Blockchain, 3D dan 5D printing, robotics, human – machine interface, bioteknologi, dan nanoteknologi (Schwab, 2016).  Generasi teknologi di era Industri 4.0 ini bisa membuahkan hal-hal positip bagi kehidupan manusia, seperti berbagai barang, produk, energi, dan proses industri serta ekonomi yang semakin produktif, efisien, kecil, ringan, padat (denser), murah, mudah, cepat, berdaya saing, dan sustainable (Priestley, 2013; Bryce, 2014; Rowles, 2017).  
 
"Namun, juga ada sejumlah dampak negatip yang telah menimpa kehidupan manusia, terutama hilangnya beberapa jenis pekerjaan, profesi, dan matapencaharian.  Generasi milenial yang bersifat egois, cuek, dan ketergantungan pada gadgets (HP, Ipad, dan computer tablets).  Begitu bebasnya informasi pornografi, narkoba, dan konten negatif lainnya menyebar melalui media online," ujarnya.
 
Keempat, lanjtunya, dunia yang semakin terhubungkan (highly interconnected) dan bercirikan VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous) telah mengakibatkan hampir semua aspek kehidupan tidak menentu (Syrett and Devine, 2012; Radjou and Prabhu, 2017). Contohnya, AS, Inggris, dan negara-negara Eroa Barat yang sejak awal 1980-an merupakan penggagas dan sponsor globalisasi serta perdangan bebas.  Sejak lima tahun terakhir berbalik arah menjadi proteksionis dan populis, seperti Brexit dan kebijakn American First oleh Presiden AS, Donald Trump. Gelombang migrasi dari negara-negara miskin atau dilanda konflik/perang, seperti Syria, Tunisia, Yaman, Palestina, Sudan, Ethiopia, Myanmar, dan Kashmir ke negara-negara industri maju dan makmur semakin meningkat.  
 
Sementara, semakin banyak negara maju yang menolak kedatangan imigran. Kecenderungan ini tentu dapat menimbulkan gejolak dan instabilitas politik, baik pada tataran regional maupun internasional.  Pada tingkat mikro (perusahaan), banyak sekali yang gulung tikar dan bangkrut, seperti pasar swalayan (Malls), taksi, dan lainnya dan digantikan oleh perusahan-perusahaan teknologi rintisan (start-up) seperti Gojek, Bukalapak, GoFood, HaloDok, dan lainnya.
 
Kelima adalah pandemi covid-19 yang bermula dari Wuhan, China pada Desember 2019 yang sampai sekarang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya.  Pandemi ini bukan hanya telah merusak (mendisrupsi) bidang kesehatan, tetapi juga ekonomi dan hampir seluruh aspek kehidupan manusia.
 
"Dengan semakin terkikisnya keimanan manusia kepada Allah SWT dan kehidupan akhirat, maka keempat kecenderungan global itu telah menimbulkan perebutan wilayah teritorial dan SDA.  Seperti yang tengah berlangsung di kawasan Laut China Selatan, Selat Hormuz, Israel – Palestina, dan lainnya.  Selain itu, juga telah mengakibatkan semakin meningkatnya kriminalitas (seperti perampokan, demonstrasi anarkis, dan pembunuhan) dan penyakit sosial (social illness) seperti konsumsi narkoba, perzinahan, LGBT, HIV/AIDS, perceraian, tekanan jiwa, frustasi, gila, dan bunuh diri," ujarnya.
 
Peta Jalan Pembangunan Menuju Indonesia Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat
 
Oleh sebab itu, Prof Rokhmin mengingatkan, untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan kemudian menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat, kita bangsa Indonesia mulai sekarang harus mentransformasi diri, dari bangsa konsumen menjadi bangsa produsen. Dari bangsa yang kurang produktif dan kurang berdaya saing, menjadi bangsa yang produktif dan berdaya saing tinggi. 
 
Kita mesti mampu memproduksi barang dan jasa yang berdaya saing (competitive). Barang atau jasa yang berdaya saing adalah yang memiliki 3 karakteristik: (1) kualitasnya unggul (top-quality), (2) harganya relatif murah, dan (3) kuantitas atau volume produksinya teratur serta dapat memenuhi kebutuhan konsumen (pasar) domestik maupun ekspor setiap saat (Porter, 1998).  
 
Dengan demikian, kita akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dari rata-rata hanya 5 persen per tahun (2014 – 2019) dan minus 2.07% tahun lalu, menjadi rata-rata diatas 7 persen per tahun.  Pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7 persen per tahun selama sedikitnya 10 tahun berturut-turut merupakan prasyarat bagi suatu negara berpendapatan-menengah untuk menjadi maju dan makmur (O’Neill, 2011; Kroeber, 2016). Selain itu, ke depan sumber pertumbuhan ekonomi harus lebih besar (dominan) dari aktivitas investasi, produksi, dan ekspor ketimbang konsumsi dan impor.
 
Kita pun mulai sekarang harus melakukan transformasi struktur ekonomi, dari yang selama ini bertumpu pada sektor primer, dengan mengkesploitasi SDA dan mengekspornya dalam bentuk mentah (raw materials) seperti komoditas perkebunan, perikanan, minyak mentah (crude oil), batubara, dan mineral. Menjadi sistem perkonomian yang bertumpu pada sektor sekunder, yakni industri manufaktur (processing) yang berbasis SDA (makanan-minuman, farmasi, serat, bioteknologi, dan lainnya) maupun industri manufaktur berbasis non-SDA seperti elektronik, otomotif, perkapalan, information and communication technology, industri nanoteknologi, dan lainnya. Sektor tersier yang meliputi sektor jasa, pendidikan, kesehatan dan kebugaran (wellness), pariwisata, dan industri dan ekonomi kreatif juga harus terus diperkuat dan dikembangkan.  
 
Di Era Pemanasan Global (Global Warming) dan Industry 4.0; kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan ekonomi harus berbasis pada prinsip-prinsip Green Economy (Ekonomi Hijau) dan Ekonomi Digital yang bertumpu pada pada berbagai jenis teknologi era Industry 4.0. Yang antara lain meliputi: IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligent), Blockchain, Cloud Computing, Big Data, Robotics, Bioteknologi, Nanoteknologi, dan New Materials (Schwab, 2015).  
 
"Guna mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi, yang juga merupakan masalah utama bangsa Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi itu haruslah berkualitas dan inklusif. Artinya, pertumbuhan ekonomi itu harus dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar, dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan dan berkelanjutan (sustainable)," imbuhnya.  
 
Hal ini, terangnya, dapat diwujudkan dengan merevitalisasi semua unit usaha (UMKM, Koperasi, Perushaan Swasta, dan BUMN) yang ada saat ini (existing) di semua sektor pembangunan, supaya produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya meningkat hingga berkelas dunia. "Untuk itu, setiap unit usaha (bisnis) harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale) nya, menerapkan manajemen sistem rantai pasok secara terintegrasi (integrated supply chain management system), menggunakan teknologi mutahkir yang sesuai, dan mengikuti prinsip-prinsip pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan," katanya. 
 
Pada saat bersamaan, mulai sekarang kita pun harus mengembangkan sektor-sektor dan usaha-usaha (bisnis) ekonomi yang baru, seperti industri bioteknologi, industri nanoteknologi, ekonomi maritim, dan industri 4.0.  Aset ekonomi produktif (permodalan, teknologi, infrastruktur, akses pasar, informasi, dan kebijakan pemerintah yang berpihak) harus diprioritaskan kepada UMKM dan Koperasi. Kerjasama yang saling menguntungkan antara UMKM/Koperasi dengan perusahaan swasta besar (korporasi) dan BUMN harus lebih ditingkatkan lagi. 
 
Sudah saatnya setiap korporasi besar dan BUMN meningkatkan keterampilan (skills), etos kerja/akhlak, dan kesejehteraan para karyawannya.  Menurut Bank Dunia (2010), seorang karyawan (pegawai) dikategorikan sejahtera, bila pendapatan (income) nya minimal US$ 300 (Rp 4,5 juta)/bulan.  Angka ini dihitung berdasarkan pada garis kemiskinan (poverty line) sebesar US$ 2/orang/hari atau US$ 60/orang/bulan, rata-rata ukuran rumah tangga di Inonesia (5 orang terdiri dari ayah, ibu, dan 3 anak), dan asumsi bahwa kebanyakan dalam satu keluarga di Indonesia yang bekerja mencari nafkah itu hanya ayah atau ibu saja.  
 
"Oleh sebab itu, mestinya upah/gaji minimal seorang karyawan swasta, koperasi, atau UMKM dan seorang PNS adalah sebesar US$ 300/bulan.  Selain peningkatan pendapatan dan optimalisasi penggunaan pajak, untuk pemertaan pendapatan juga bisa dicapai melalui zakat, infaq, shodaqoh, dan waqaf bagi umat Islam," kata Prof Rokhmin Dahuri. 
 
Selain itu, Prof Rokhmin menerangkan, masalah disparitas pembangunan antar wilayah (Jawa vs. luar Jawa, dan desa vs. kota) dapat diatasi dengan menggenjot pembangunan infrastruktur, kegiatan industri dan ekonomi, fasilitas kesehatan dan pendidikan, dan daya tarik pembangunan lainnya di luar Jawa, daerah perdesaan, dan wilayah perbatasan.  Boleh jadi, pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan akan membantu mengurangi disparitas pembangunan antar wilayah secara signifikan.
 
Mengingat pangan dan energi merupakan faktor utama yang mempengaruhi kesehatan dan kualitas SDM serta yang menopang kegiatan pembangunan ekonomi, maka sudah saatnya Indonesia mewujdukan kedaulatan, atau minimal ketahanan pangan serta energi.  
 
Pada intinya, kedaulatan pangan dapat terwujud, bila secara nasional produksi setiap bahan pangan lebih besar dari pada kebutuhan (demand) nya.   Dan, setiap bahan pangan tersebut tersedia dan setiap warga negara dimana dan kapan saja mampu membelinya untuk memenuhi kebutuhan pangan minimal yang menyehatkan. Selain itu, seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam sistem bisnis pertanian (agribisnis), mulai dari petani/nelayan, pengolah sampai pedagang, hidupnya bisa sejahtera dari hasil usaha agribisnis.  
 
Demikian juga, halnya untuk kedaulatan energi.  Jadi, pengertian kedaulatan pangan atau energi itu berarti seluruh pengadaan (supply) nya berasal dari kegiatan produksi di dalam negeri. Sedangkan, dalam pengertian ketahanan pangan, pengadaan bahan pangan bisa berasal dari impor (luar negeri), asakan pemerintah dan rakyat mampu membelinya.
 
Supaya pembangunan ekonomi, kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable), maka seluruh kegiatan industri, pembangunan ekonomi, dan aktivitas manusia haruslah ramah lingkungan dan tidak melampaui daya dukung (carrying capacity) suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Negara).  
 
Ini dapat dicapai dengan mengimplementasikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) secara benar dan konsisten dari mulai tingkat desa, Kabupaten/Kota, Propinsi hingga Negara (nasional).  Selain itu, melakukan pengendalian pencemaran.  Limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun), seperti logam berat, pestisida, dan plastik dilarang dibuang langsung ke lingkungan alam (seperti sungai, danau, dan laut).  
 
Limbah non-B3 (sampah organik, sisa dapur,  nutrient, dan lainnya) yang dibuang ke lingkungan alam, jumlah dan laju nya tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi (assimilative capacity) dari suatu lingkungan alam.  Pengendalian pencemaran dapat dilakukan dengan mengaplikasikan teknologi pengolahan (pabrik) yang tidak menghasilkan limbah (zero-waste technology), teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and Recycle), pembangunan dan pengoperasian IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) sesuai kebutuhan di setiap wilayah (kawasan industri), dan bioremediasi.
 
Untuk dapat mengimplementasikan agenda pembangunan ekonomi diatas, kita harus merevitalisasi seluruh infrastruktur (pelabuhan, bandara, jaringan jalan, jaringan listrik dan gas, jaringan telkom dan internet, bendungan, jaringan irigasi, air bersih, dan lainnya) yang ada sekarang.  Dan, secara simultan membangun infrastruktur baru, terutama di luar Jawa, wilayah perdesaan, dan wilayah perbatasan sesuai kebutuhan.  
 
Mulai sekarang juga kita harus meningkatkan kualitas (knowledge, skills, etos kerja, dan akhlak) SDM (Sumber Daya Manusia, human capital) yang ada sekarang melalui program DIKLATLUH (Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan) secara sistematis, reguler, dan berkesinambungan di lokasi perusahaan swasta besar (korporasi), BUMN, BLK (Balai Latihan Kerja) maupun di luar negeri.  
 
Bagi angkatan kerja di masa mendatang (anak-anak dan remaja yang masih sekolah atau kuliah), kita harus meningkatkan kualitas sistem dan lembaga pendidikan, mulai dari tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), SD, SLTP, SLTA, Sekolah Vokasi, Politeknik, Institut, dan Universitas.  Supaya para lulusannya memiliki kompetensi teknis (hard skills) berkelas dunia, etos kerja/akhlak (soft skills) yang unggul, dan IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh menurut agamanya masing-masing. Dan, antar pemeluk agama harus saling hormat-menghormati, dan hidup harmonis.  Kita pun harus memperbaiki status gizi dan kesahatan rakyat, khususnya penduduk yang masih miskin dan rentan miskin.
 
Iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) seperti perizinan, pembebasan lahan, perpajakan, ketenagakerjaan, keamanan berusaha, kepastian hukum, dan konsistensi kebijakan pemerintah harus lebih kondusif dan atraktif.  Hingga kini, iklim investasi dan kemudahaan berbisnis di Indonesia jauh di bawah Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Vietnam.  
 
Apalagi, bila dibandingkan dengan negara-negara industri maju.  Wajar, bila Malaysia, Thailand, dan Vietnam lebih banyak menikmati keuntungan dari implikasi perang dagang antara AS vs. China dalam dua tahun terakhir.  Penurunan drastis ekspor China ke AS lebih banyak diisi oleh barang-barang dan jasa dari Thailand dan Vietnam ketimbang dari Indonesia.  Perusahaan-perusahaan (pabrik-pabrik) yang keluar (relokasi) dari daratan China jauh lebih banyak ke Thailand atau Vietnam dari pada ke Indonesia.
 
Akhirnya, kondisi dan sistem sosial, hankam, dan politik harus stabil dan kondusif bagi pembangunan IPTEK, inovasi, SDM, dan ekonomi sebagaimana saya uraikan diatas.  Misalnya, demokrasi yang kita jalankan sejak awal era Reformasi sampai sekarang itu wujud demokrasi liberal. Yang sarat dengan politik uang dalam proses Pilkada, Pileg maupun Pilpres, yang merupakan salah satu akar masalah dari eskalasi korupsi akhir-akhir ini.  Sistem one man one vote, juga bertentangan dengan Sila keempat Pancasila, yakni ”Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawartan - Perwakilan”. Dengan demokrasi liberal semacam itu, maka kita kesulitan untuk membangun stabilitas dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  
 
"Kita pun kesulitan untuk mendapatkan para wakil rakyat (DPRD dan DPR) dan Kepala Daerah yang kompeten, capable, berakhlak mulia, dan merakyat.  Di negara-negara industri maju (AS dan Uni Eropa), kegagalan demokrasi liberal (kemiskinan, kesenjangan kaya vs miskin yang kian melebar, kerusakan lingkungan hidup dan Global Warming) sejak awal 1990 sudah menimbulkan berbagai dampak negatip terhadap perekonomian dan kehidupan berbagnsa mereka.  Oleh sebab itu, kini saaatnya untuk kita kembali kepada Demokrasi Pancasila," ujarnya.
 
Profil dan Karakter Alumni Perguruan Tinggi Yang Sukses
 
Berdasarkan pada wawasan dan informasi yang telah saya deskripsikan diatas, bila saudara-saudara ingin hidup sukses dan bahagia bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak menjadi penghuni surga serta terhindar dari semua siksa neraka.  Maka, pertama saudara-saudara harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME menurut agama kita masing-masing.  Kedua,  memiliki kompetensi IPTEK (hard skills) sesuai dengan bidang ilmu atau program studi yang saudara pelajari.  Ketiga, harus sehat, cerdas, cakap, terampil, kreatif, inovatif, berpikir kritis, mampu menganalisis masalah secara tepat dan benar, mampu memecahkan masalah, fleksibel dan adaptif, mampu bekerjasama (teamwork), dan berjiwa wirausaha (entrepreneurship). 
Keempat, menguasai IPTEK di era Industri 4.0, khususnya information technology (penggunaan komputer dan teknologi digital) dan bahasa asing (Inggris, Arab, dan Mandarin).  Kelima, memiliki etos kerja yang unggul (seperti rajin, ulet, tampil maksimal, dan disiplin) dan berakhlak mulia termasuk jujur, amanah, toleransi, sabar, penyayang, dan ikhlas.
 
Semoga infromasi tentang dinamika pembangunan Indonesia dan key global trends diatas juga dapat dijadikan rujukan bagi pemimpin dan Civitas Academica Universitas Al-Ghifari untuk terus menerus meningkatkan kualitas dan karya nyatanya di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.  Sehingga,  Universitas Al-Ghifari dalam waktu tidak terlalu lama mampu menjadi a world class university (Alatbach dan Salmi, 2011).
 
Terakhir, Prof Rokhmin mengimbau, perlu dicamkan, bahwa menjadi Sarjana, Magister, Doktor maupun Professor itu bukan berarti anda berhenti belajar. Tidak, justru kita harus terus belajar, menggali ilmu dan mengamalkannya untuk kemaslahatan bersama.  Sesuai dengan Hadits Rasulullah saw, bahwa “Menuntut Ilmu itu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”.  Itulah esensi dari “Long-life Education” (Husaini, 2019).  Selain ikhtiar dan kerja keras, bukalah pintu-pintu langit (ridha dan berkah Allah ) melalui doa tiada henti kepada Allah SWT agar hidup kita sukses bahagia dunia dan akhirat serta mmeberikan banyak manfaat kepada sesama insan.
 
"Terimakasih atas perhatian dan kesabaran para wisudawan dan seluruh hadirin yang telah menyimak Orasi Ilmiah saya dengan penuh antusias.  Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pemurah mencurahkan rahmat dan kebahagiaan kepada para wisudawan, orang tua serta keluarga, dan kita semua," tutup Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Komentar