Jumat, 19 April 2024 | 22:20
OPINI

Pemberantasan Mafia Tanah di Indonesia, 'Jokowi Omong Kosong'

Pemberantasan Mafia Tanah di Indonesia, 'Jokowi Omong Kosong'
BeaThor Suryadi, Pemberantasan, Mafia Tanah di Indonesia, Jokowi Omong Kosong

Oleh: BeaThor Suryadi *)

Hanya satu cara meredam merajalelanya mafia tanah di negeri ini melalui, PERPPU Buka Peta Data HGU, HGB untuk selamatkan Presiden JokoWi dari kemelut berlarut larutnya konflik, sengketa dan perampasan Tanah.

PERPPU ini untuk memperkuat tindakkan Presiden dalam mengatasi ketidak berdayaanya penyelesaian kemelut lahan tanah atas kinerja Kementerian ATR BPN sebagai akibat pelayanan Publik yang tidak maksimal.

Dengan PERPPU Buka Data, Pemerintah mendapatkan hasil pajak yang besar... karena semua transaksi jual beli tanah dengan AJB.

Selanjutnya, PERPPU juga untuk menjawab warga yang tidak percaya lagi dengan Lembaga Pengadilan yang selalu mengalahkan mereka dari berbagai tingkatan mencari keadilan, PN, PT dan MA...

Konflik bermula dari Ploting kawasan, ukur dan penerbitan Sertifikat yang dilaku kan oleh pihak BPN.

Ploting itu memasukan kawasan kampung adat atau perkampungan warga kedalam HGU atau HGB

Kemelut itu terjadi karena pelaku perampasan lahan Rakyat di lakukan oleh K/L, dan Konglomerat Istana.

Tanpa PERPPU, apa mungkin Presiden membubarkan Kementerian ATR BPN yang di sinyalir korban perampasan sebagai gudangnya Mafia Tanah

Hanya Politicall Will Presiden Jokowi yang bisa diharapkan, keinginan politik itu untuk mengakhiri teriakan teriakan Presiden yang geram tentang Berantas Mafia Tanah.

Kata Bang Jimmly, tegaknya hukum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara...

Sudah begitu banyak perangkat hukum yang kita miliki untuk menegakkan hukum demi tercapainya keadilan sosial.

Presiden Jokowi sudah punya Perpres No 86 Tahun 2018,  Sudah punya PP No 17 Tahun 2020 untuk pecat PNS nakal.

Punya UU No 43 Tahun 2007 tentang sangsi denda dan pidana, jika menghilangkan arsip Negara.

Perintah Presiden agar Kapolri tidak takut, melawan Mafia, bahkan Sikat bekingnya akan menjadi omong Kosong.

Hal itu dapat dilihat ketika mengamati kinerja pemerintah dalam 7 priode Presiden Republik Indonesia tampaknya lebih mengutamakan kepentingan para investor.

Sehingga, persoalan terbesar yang dihadapi tentang hak ulayat ini adalah apa yang sekarang dihadapi secara nasional, menyangkut kontestasi otoritas penyelenggara,  pemerintahan pusat dan daerah dengan otoritas masyarakat hukum adat, yang sesungguhnya tergambar dalam hak menguasai negara yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Norma konstitusi tersebut seharusnya menjadi prinsip dasar hukum agraria dalam UUPA, sebagaimana bunyi pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 UUPA “bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi  dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

Sebagaimana nanti terlihat bahwa secara eksplisit  hak ulayat kemudian diakui dan dilindungi dalam  UUD 1945 berikut perubahannya,  maka hak ulayat juga pada dasarnya adalah merupakan hak menguasai atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat.

Timbul pertanyaan, apakah setelah pernyataan kemerdekaan yang membentuk negara Kesatuan Republik Indonesia,  hak menguasai atas sumber daya alam tersebut terbagi antara Negara sebagai otoritas pada tingkatan tertinggi dari organisasi kekuasaan seluruh rakyat dengan masyarakat hukum adat  yang memiliki hak ulayat tersebut, ?  Atau, dikonstruksikan hanya sebagai delegasi dari Negara kepada masyarakat hukum adat ?

Masalah lain yang timbul, karena di satu pihak ada keinginan untuk mengesampingkan saja hak masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya meski diakui  oleh UUD 1945, tetapi tidak mampu menberi perlindungan yang efektif karena perkembangan kehidupan sosial, ekonomi,  politik dan perpindahan penduduk secara besar-besaran dengan urbanisasi, telah mengubah secara  mendasar struktur masyarakat adat, nilai-nilai yang dianut dan menguatnya konsep pemilikan individual.

Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan kesadaran hukum masyarakat adat tersebut tentang hak milik dan sifat hukum waris atas tanah adat.

Aspek lain di bidang ekonomi dengan perkembangan usaha yang memanfaatkan tanah dalam skala besar telah menyebabkan banyak pihak  yang melihat sumber daya alam yang ingin dieksploitasi seiring dengan penetrasi modal besar domestik maupun asing, justru menjadi kepentingan yang lebih utama dibanding dengan masyarakat lokal (hukum adat).

Sikap yang tampaknya melihat bahwa hak-hak tradisional masyarakat hukum adat sesungguhnya kabur dan tidak memiliki kepastian hukum, bahkan dalam kenyataan sesungguhnya telah semakin lemah dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik secara cepat, justru dianggap menjadi hambatan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya ekonomi dan potensi daerah, antara lain hutan dan tanah yang luas, yang justru menjadi ruang untuk hidup bagi masyarakat hukum adat yang mengelolanya secara tradisional.

*) Mantan Tenaga Ahli Utama KSP.

Komentar