Sabtu, 20 April 2024 | 17:38
OPINI

Apakah Jokowi Terlibat dalam Perebutan Kepemimpinan Partai Demokrat?

Apakah Jokowi Terlibat dalam Perebutan Kepemimpinan Partai Demokrat?
Presiden Joko Widodo (Biro Pers Sekretariat Negara)

Di kalangan netizen atau media sosial banyak bermunculan pertanyaan di atas, yaitu "Apakah Presiden terlibat dalam perebutan Partai Demokrat di Sibolangit oleh Moeldoko (KSP)?"

Bagi siapa saja yang pernah bekerja di dalam lingkungan birokrasi sipil, apalagi militer, pasti mengetahui adanya fatsun atau etika bahkan budaya birokrasi, bahwa setiap kejadian ataupun setiap mau melakukan tindakan baik yang terkait ataupun tidak dengan pelaksanaan tugasnya, wajib melapor kepada atasan. 

Bahkan jika mau menyunati atau mengawinkan anak pun wajib dilaporkan kepada atasannya. Adalah sesuatu yang melanggar fatsun atau etika jika atasannya mengetahui hal yang berkenaan dengan dirinya dari orng lain.

KSP adalah pejabat birokrasi setingkat Menteri, dimana atasannya adalah Presiden. Jadi sangatlah janggal jika ada pihak-pihak yang mengatakan, "jangan bawa-bawa Presiden", dalam kaitannya dengn tindakan Moeldoko (KSP) yang merebut kepemimpinan P-Demokrat (PD), karena Presiden adalah atasannya.

Oleh karenanya dari sudut fatsun/etika atau pun budaya birokrasi, apalagi Moeldoko sebagian terbesar hidupnya di lingkungan militer (yang lebih ketat lagi disiplinnya), tidaklah mungkin Moeldoko tidak melaporkannya kepada Presiden tentang kegiatan yang sedang dan akan dilakukannya terhadap Partai Demokrat. 

Dari sudut pandang ini maka sangat patut diduga Presiden mengetahui tindakan yang dilakukan Moeldoko terhadap Partai Demokrat. Tetapi "mengetahui" tidak berarti "menyetujui" atau sebaliknya "tidak menyetujui alias melarang" tindakan yang bersangkutan.

Dari fakta bahwa Moeldoko menerima jabatan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat di KLB Sibolangit, maka dapat dipastikan sebagai bagian dari Birokrasi ataupun mantan anggota militer, tidak mungkin Moeldoko akan menerima jabatan Ketua Umum Partai Denokrat tersebut jika dilarang atau tidak disetujui oleh Presiden. Tetapi kembali bahwa "tidak melarang" bukan berarti "menyetujui".

Untuk mengetahui apakah Presiden Jokowi menyetujui tindakan Moeldoko tersebut, kita harus melihat pada sikap yang akan diambil oleh Menteri Hukum & HAM. Menkum HAM dan KSP adalah sama-sama pembantu Presiden setingkat Menteri. 

Tidaklah mungkin Menkum HAM mengesahkan hasil KLB di Sibolangit yang menetapkan Moledoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, jika tindakan Moeldoko tersebut tidak disetujui oleh Presiden. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika Menkum HAM mengesahkan haail KLB Partai Demokrat di Sibolangit, artinya Presiden menyetujui tindakan Moeldoko merebut kepemimpinan Partai Demokrat dari AHY.

Sebaliknya jika Menkum HAM menolak mengesahkan hasil KLB Sibolangit, maka dapat diartikan Presiden tidak menyetujui tindakan Moeldoko tersebut. Dan ini berarti Moeldoko telah melanggar fatsun/etika/budaya birokrasi yang berlaku, dimana akibatnya Presiden harus memberhentikan Moeldoko dari jabatannya sebagai KSP.

Namun saya sendiri meyakini agaknya sulit diterima akal sehat jika Moeldoko tetap melakukan tindakannya merebut kepemimpinan Partai Demokrat meskipun tidak disetujui oleh Presiden.

Akhirnya saya mengutip ucapan Jenderal Mc. Arthur, "Tidak ada seorang  prajurit pun bertanggung jawab atas hasil sebuah pertempuran, yang bertanggung jawab adalah komandannya (Atasannya)".

Dari uraian di atas dapat kiranya disimpulkan beberapa hal: 

1. Menkumham diperkirakan akan mengesahkan hasil KLB Sibolangit.

2. Tindakan Moeldoko merebut kepemimpinan Partai Demokrat adalah atas sepengetahuan dan persetujuan Presiden Jokowi.

3. Menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, Presiden tidak hanya terlibat bahkan yang merebut kepemimpinan Partai Demokrat pada hakekatnya bukanlah Moeldoko tetapi adalah Presiden Jokowi sendiri, melalui proxinya (petugasnya). 

4. Tidaklah mungkin memisahkan Presiden dari kejadian perebutan kepemimpinan Partai Demokrat.

5.  Partai Demokrat tidak bisa dipisahkan dari SBY (mantan Preaiden RI) yang juga menjabat selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat 

Dan terakhir, peristiwa ini baru terjadi untuk pertama kalinya di dalam sejarah negara RI dimana seorang Presiden yang sedang menjabat "menyusahkan" Presiden pendahulunya. 

Dimana bahkan Presiden Soeharto sekalipun tidak pernah menyusahkan presiden sebelumnya (Presiden Soekarno).

 

Muchyar Yara
Mantaf Staf Khusus Setkab

Komentar