4 Rekomendasi KPAI Agar Kasus SMK 2 Padang Tak Berulang
ASKARA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengapresiasi Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Sumatra Barat, Adib Alfikri yang akan mengkaji ulang aturan diskriminatif.
Adib mengatakan, pihaknya akan mengirimkan surat edaran kepada kepala SMA/SMK, yang dikelola provinsi setelah munculnya kasus pemaksaan siswi berjilbab di SMK 2 Padang.
Melalui surat edaran itu, sekolah meminta mengkaji ulang aturan-aturan yang berpontensi memunculkan intoleransi. Sementara, untuk SD dan SMP yang dikelola kabupaten/kota, akan dikoordinasikan dengan Kepala Disdik kabupaten/kota.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti berharap, kasus di SMKN 2 Kota Padang menjadi pintu masuk bagi pembenahan dan evaluasi berbagai aturan di sekolah dan di daerah yang diskriminatif dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atau hak-hak anak sebagai diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Apalagi, kata dia, banyak survei dan penelitian yang memberikan fakta lapangan bahwa terjadi praktik-praktik intoleransi di sekolah di berbagai daerah di Indonesia.
Retno mengatakan, berbagai penelitian terkait ada atau tidaknya praktik intoleransi di sekolah dilakukan oleh beberapa lembaga, di antaranya adalah Setara Institute dan Wahid Institute. Menurut hasil penelitian dari Wahid Institute, sebagian guru, termasuk kepala sekolah, cenderung lebih memprioritaskan kegiatan ataupun nilai-nilai agama mayoritas saja.
Selain itu, sebagian guru juga dinilai tidak dapat membedakan antara keyakinan pribadinya dengan nilai dasar toleransi yang seharusnya ia ajarkan ke muridnya.
Salah satunya terjadi di Bali pada tahun 2014. Pada saat itu terjadi kasus pelarangan penggunaan jilbab di beberapa sekolah seperti SMPN 1 Singaraja dan SMAN 2 Denpasar. Selain itu Juni 2019 lalu, surat edaran di Sekolah Dasar Negeri 3 Karang Tengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, menimbulkan kontroversi karena mewajibkan siswanya mengenakan seragam Muslim.
Intoleransi juga sempat terjadi di SMAN 8 Yogyakarta karena kepala sekolahnya mewajibkan siswanya untuk mengikuti kemah di Hari Paskah. Protes yang dilakukan sebelumnya oleh guru agama Katolik dan Kristen tidak ditanggapi oleh kepala sekolah yang pada akhirnya mengubah tanggal perkemahan setelah ada desakan dari pihak luar.
Pada awal tahun 2020, seorang siswa aktivis Kerohanian Islam (Rohis) SMA 1 Gemolong, Sragen, merundung siswi lainnya karena tidak berjilbab. Kasus tersebut kemudian viral dan menarik begitu banyak perhatian. Pada akhirnya siswi yang dirundung pindah sekolah ke kota lain, karena ia merasa tidak aman dan nyaman dengan cara temannya yang terlalu jauh memasuki privasi dirinya.
Menurut Retno, kasus itu memprihatinkan, apalagi terjadi di sekolah negeri. Sekolah semestinya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak. Potensi intelektual dan spiritual (keagamaan) diasah sedemikian rupa hingga kelak menjadi bekal bagi dirinya untuk hidup di masa depan. Nyatanya, sekolah terkadang menjadi tempat yang tidak ramah bagi siswa yang berbeda.
Dari adanya kasus intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di sekolah, KPAI mendorong pengarusutamaan nilai-nilai kebhinnekaan di sekolah-sekolah negeri.
"Sekolah harus menjadi tempat strategis membangun kesadaran kebhinnekaan dan toleransi. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas kepala sekolah, guru-guru, termasuk pejabat di dinas pendidikan atau kementerian pendidikan,” ujar Retno, melalui keterangan tertulis, Rabu (27/1).
Retno menambahkan, harus ada partisipasi orang tua untuk memastikan agar anak-anak mereka tidak mengalami diskriminasi atau mengambil jalan pemahaman intoleran.
"Mereka bisa melaporkan kasus-kasus diskriminasi kepada lembaga pengawas ekstrenal seperti Ombudsman atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak di isu ini. Bisa pula memaksimalkan peran forum guru. Forum guru bisa menjadi tempat di mana mereka bisa bersama-sama mencari solusi membangun nilai-nilai toleransi," kata Retno.
KPAI pun merekomendasikan beberapa hal terkait hal itu. Pertama, berkoordinasi dengan Komnas HAM. KPAI dan Komnas HAM mendorong perlindungan agar anak-anak tersebut tidak mengalami pem-bully-an atau kekerasan lainnya dari warga sekolah, mengingat potensi tersebut kemungkinan terjadi.
Kedua, mendorong P2TP2A Kota Padang untuk melakukan home visit ke ananda “JCH”, agar dapat melakukan asesmen psikologi.
"Tujuannya untuk memastikan apakah ananda mengalami masalah psikologis setelah kasusnya viral. Jika dalam asesmen adalah masalah psikologis dari dampak kasus ini, maka P2TP2A harus memberikan layanan rehabilitasi psikologis pada ananda JCH," ujar Retno.
Ketiga, KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Direktorat Guru dan Tenga Kependidikan untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan ke para pendidik, kepala sekolah serta pengawas sekolah, bagi upaya menguatkan nilai-nilai demokrasi, persatuan dan kesatuan serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
"Mengingat kasus intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang bukanlah kasus pertama di Indonesia," ucap Retno.
Keempat, KPAI mendorong Kemdikbud, Kementerian Agama, Kemendagri dan Kementerian PPPA, serta Badan Ideologi Pancasila (BIP) untuk bersinergi mencegah terjadinya diskriminasi dan intoleransi di dunia pendidikan.
"Harus melibatkan dinas-dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, mengingat kasus-kasus intoleransi di sekolah terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Kasus SMKN 2 Kota Padang dapat dijadikan sebagai pintu masuk," tandas Retno.
Komentar