Rabu, 24 April 2024 | 00:12
OPINI

Jam Tangan Rolex Rob Hall dan Cincin Pernikahan Scott Fischer di Gunung Everest

Jam Tangan Rolex Rob Hall dan Cincin Pernikahan Scott Fischer di Gunung Everest
Foto/Istimewa

"No Shortcut to the Top” , buku yang ditulis pendaki legendaries paling ternama di Amerika Ed Viesturs, yang didalamnya diselipkan cerita tentang kedua benda yang dipakai oleh kedua sahabat karibnya yang tewas dalam tragedi Everest Mei 96.

Pada hari naas tersebut, 10 Mei 1996. Sesungguhnya Ed juga dijadwalkan akan mendaki hingga ke puncak Everest terkait pekerjaannya dalam Imax Expeditions pada tanggal 9 Mei 1996 sebelumnya, namun entah mengapa pada malam tanggal 8 Mei, ia dan timnya memutuskan untuk turun ke Camp II, karena merasa ada yang tidak nyaman untuk mendaki.

Dan saat berpapasan dengan tim Rob Hall di jalan, Ed ditanya oleh seorang expedition leader..

"What are you guys doing?"

Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Going down. It just doesn't feel right." Jawab Ed.

"Turun. Rasanya tidak benar." Jawab Ed.

Kemudian badai mengamuk pada tanggal 9 Mei, sebuah insting pendaki gunung yang luar biasa dari seorang Ed Viesturs.

Pada tanggal 10 Mei dini hari, cuaca di sekitar puncak Everest benar benar tenang, sangat tenang, sehingga pendakian pun dilanjutkan oleh tim Rob dan Scott.

Dan pada tanggal 10 Mei malamnya, barulah bencana mengerikan itu dimulai, dan para korban pun berjatuhan.

Ed mengetahui ada yang tidak pulang ke kamp IV setelah ke puncak melalui radio keesokan harinya, dan ia lebih kaget lagi karena di antara yang tidak pulang itu adalah dua sahabat baiknya, Rob Hall dan Scott Fischer.

Dan mulailah drama yang memilukan itu terjadi, bagaimana 8 orang meninggal dalam satu hari di Everest, juga drama tentang telepon paling fenomenal di Everest, antara Rob Hall dan isterinya Jan di New Zealand.

Dalam drama yang banyak menguras air mata itu juga, Ed pernah bercanda kepada Rob dengan kalimat berikut ;

"When this is over, we'll go to Thailand, and I'll get to see your skinny white legs on the beach for the first time."

“.. Kalau semua ini sudah selesai , kita akan pegi ke Thailand, dan saya akan melihat betis putih kurusmu di pantai untuk pertama kalinya…”

Rob Hall memang dikenal tidak pernah menggunakan celana pendek, sehingga Ed belum pernah melihat betisnya.

Mendengar guyonan Ed, Rob hanya tertawa dan menjawab

“.. thanks for that..”

Dan itu memberi sedikit semangat dan hiburan untuk banyak orang lain yang juga mendengar percakapan tersebut melalui radio.

Namun seperti kita tahu, akhirnya Rob Hall, Andy Harris, Scott Fischer, Yasuko Namba, dan Doug Hansen, tidak selamat, nama mereka menjadi legenda tentang musibah paling mematikan di gunung tertinggi di dunia.

Ada bagian yang menarik dari kisah ini, yang tidak pernah disebutkan di film filmnya, baik di Into thin Air, maupun di Everest. Yaitu tentang permintaan isteri Rob Hall, Jan di New Zealand, dan juga permintaan isteri Scott Fischer, Jean, di Seattle. Yang meminta kepada para pendaki sahabat sahabat Rob dan Scott untuk mengambil semacam kenangan terakhir dari dua legenda yang naas tersebut. Untuk Rob, isterinya meminta diambilkan jam tangan Rolex yang selalu melingkar di lengannya, sebagai kenangan terakhir untuk ia simpan. Dan untuk Scott, Jean isterinya meminta untuk diambilkan cincin pernikahan mereka yang senantiasa melingkari di  jari suaminya tersebut.

Dan pada tanggal 23 Mei 1996, Ed Viesturs bersama tim Imax yang lain berhasil mencapai puncak Everest.

Ed tiba di puncak Everest pada jam 10 pagi, dan seperti biasa, tanpa menggunakan tabung oksigen. Karena kedinginan Ed memutuskan untuk tidak menunggu para pendaki lainnya, dan ia pun turun dari puncak Everest sendirian.

Dalam perjalanan turun, tidak jauh dari puncak selatan, Ed menemukan sosok Rob yang sudah mulai tertutupi oleh salju, hanya satu lengan dan kakinya yang menyembul, disampingnya tampak sebuah botol oksigen yang masih terisi.

Namun untuk mengambil jam tangan Rolex di tangan Rob, Ed tidak sanggup. Ia tidak ingin mengganggu sahabatnya itu, ia hanya mengambil beberapa foto, sendirian bersama jasad Rob yang sudah membeku selama beberapa saat, lalu berdoa untuknya, dan kemudian meninggalkan tempat tersebut.

Dalam bukunya, Ed menuliskan kejadian tersebut dengan kalimat ini;

But when I got to Rob's body, I couldn't do it. I couldn't make myself roll him over, dig for the watch, and take it off his wrist. I just didn't want to disturb him.

Instead, I simply sat next to Rob, taking in the scene, trying to figure out how things had played out during the storm. This wasn't just a dead body next to me—it was someone I had known really well, with whom I had shared many expeditions. Those moments sitting there were like a funeral, with me the sole mourner. I told myself, OK, this is the last time I'll ever see Rob. This was not a place where I could hang out very long—I needed to keep moving. So I said goodbye to Rob and headed on down.

Tetapi ketika saya sampai di tubuh Rob, saya tidak bisa melakukannya. Saya tidak bisa membuat diri saya menggulingkannya, menggali arloji, dan melepaskannya dari pergelangan tangannya. Aku hanya tidak ingin mengganggunya.

Sebaliknya, saya hanya duduk di sebelah Rob, mengamati adegan itu, mencoba mencari tahu bagaimana keadaan selama badai. Ini bukan hanya mayat di sebelah saya — itu adalah seseorang yang saya kenal sangat baik, dengan siapa saya telah berbagi banyak ekspedisi. Saat-saat duduk di sana seperti pemakaman, dengan saya satu-satunya pelayat. Aku berkata pada diriku sendiri, oke, ini terakhir kalinya aku melihat Rob. Ini bukan tempat di mana saya bisa bergaul sangat lama — saya harus terus bergerak. Jadi aku mengucapkan selamat tinggal pada Rob dan menuju ke bawah.

Ed kembali bergerak turun, memaksa hatinya yang kelabu untuk meninggalkan mayat temannya yang terbaring 93 meter dibawah puncak Everest dengan damai.

Dua jam setelah beranjak turun dari mayat Rob, kali ini Ed bertemu dengan tubuh beku Scott Fischer. Tergeletak dengan wajah yang tertutupi sebuah backpack, dan satu kaki dengan lutut yang terangkat. Dan lagi lagi, Ed tak kuasa untuk mengambil cincin di jari Scott, ia tak ingin mengganggunya, sama seperti ia tak mau mengganggu istirahat panjang Rob.

Dan ini situasi yang Ed gambarkan saat itu ;

Once again, I couldn't bring myself to disturb the body of a friend, to rummage through his clothing to retrieve the wedding ring on the cord around his neck. If it had been someone I didn't know, perhaps I could have done it. As I sat there it struck me forcibly that while Rob had been in communication till his last hours, talking to Jan and others, who could in turn talk to him, Scott had died the loneliest of deaths. His last hours had been full of nothingness.

Sekali lagi, saya tidak bisa mengganggu tubuh teman, mencari-cari pakaiannya untuk mengambil cincin kawin di tali di lehernya. Jika itu adalah seseorang yang tidak saya kenal, mungkin saya bisa melakukannya. Ketika aku duduk di sana, terlintas dalam benakku bahwa ketika Rob telah berkomunikasi sampai jam-jam terakhirnya, berbicara dengan Jan dan yang lainnya, yang pada gilirannya dapat berbicara dengannya, Scott telah meninggal sebagai kematian yang paling kesepian. Jam-jam terakhirnya penuh dengan ketiadaan.

Jam tangan rolex dan cincin pernikahan adalah cinta yang menyertai mereka hingga ke titik akhir, dan Ed Viesturs tak mau mengusiknya.

Hingga saat ini, kedua benda itu masih melingkar di jari dan dua pendaki tersebut sebagai kenangan abadi untuk Rob dan Scott, sebuah jam tangan rolex dan cincin pernikahan.


Ayah Wafa

Komentar