Kamis, 17 Juli 2025 | 17:32
OPINI

Damai Versi Trump: Bom, Bakar, Bungkam, Beres

Damai Versi Trump: Bom, Bakar, Bungkam, Beres
Donald Trump (int)

ASKARA - Ketika Donald Trump menyebut serangan terhadap tiga situs nuklir Iran sebagai “misi damai”, dunia pun terperangah dan sinis pun menggema dari segala penjuru. Apa sejak kapan ledakan dianggap pesan kasih? Ataukah di era politik modern, bom telah menjelma menjadi diplomat berjubah api, dan “perdamaian” hanya bisa dicapai lewat deru rudal?

Pernyataan Donald Trump yang mengklaim bahwa serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran adalah demi “tujuan damai” sejatinya adalah penggalan puisi distopia. Di mana logika dibengkokkan, dan moralitas dipermak hingga absurd. Sejak kapan menghancurkan infrastruktur vital milik negara berdaulat di tengah malam bisa dibungkus dengan kata “damai”?

Amerika Serikat kembali memainkan kartu lama dengan wajah baru wajah oranye legendaris yang entah belajar diplomasi dari drama TV atau game Call of Duty. Retorikanya selalu sama: mereka membom demi mencegah konflik. Mereka menghancurkan agar tidak hancur. Mereka menyerang agar damai. Ironis? Tentu. Tapi ironilah mata uang utama dalam diplomasi kekerasan modern.

Trump, dalam pidatonya yang disiarkan langsung oleh berbagai media, menyebut serangan ini sebagai “tekanan damai yang tegas”. Narasi seperti ini seolah lahir dari biro periklanan yang terlalu lama menghirup napas propaganda. Membom Fordow situs nuklir strategis yang berada di jantung pertahanan Iran—bukan saja tindakan provokatif, tapi juga penghinaan terhadap nalar publik internasional.

Lantas, apakah Iran akan diam? Tidak. Iran bukan pelanduk yang sabar menanti giliran dipotong. Dalam pernyataannya, Teheran menyebut akan merespons dengan cara “yang sama atau lebih mengerikan”. Kata-kata ini tidak keluar dari mulut politisi kampus, melainkan dari negara dengan sejarah perlawanan panjang terhadap hegemoni Barat.

Di sinilah absurditas global terpantul: dua negara dengan ego sekeras uranium yang diperkaya, bermain-main di tepi jurang, lalu menuduh satu sama lain sebagai penebar api. AS menyebut Iran ancaman bagi perdamaian dunia. Iran menyebut AS provokator utama Timur Tengah. Siapa yang benar? Mungkin bukan soal benar, tapi soal siapa yang paling dulu menyulut bensin.

Dan jangan lupa ini bukan hanya soal AS dan Iran. Israel berada dalam sorotan karena turut menggempur Lebanon di saat yang sama. Sebuah kebetulan yang terlalu sinkron untuk disebut "tak disengaja". Maka lengkaplah panggung kekacauan: AS membombardir Iran, Israel menggempur Lebanon, dan dunia menonton sambil menggigit kuku atau menulis thread Twitter.

Ada yang bilang, inilah babak baru Perang Dunia Parsial. Perang yang tak dideklarasikan, tapi dirayakan lewat breaking news dan siaran langsung. Perang yang tak memanggil tentara ke parit, tapi memanggil algoritma ke layar ponsel. Dunia berubah: perang kini disajikan dengan komentar real-time dan emoji marah.

Trump tahu itu. Maka ia memoles serangan ini dengan kata “sukses”. Sebuah istilah bisnis yang absurd jika digunakan untuk menjelaskan jatuhnya korban, kehancuran struktur, dan runtuhnya harapan pada diplomasi. Tapi begitulah Trump: menghitung skor dari serangan rudal seperti menghitung margin keuntungan dari hotel-hotel miliknya.

Pertanyaannya kini: bagaimana reaksi dunia? PBB bungkam, Uni Eropa limbung, dan NATO seperti sedang memesan kopi ketiga sebelum memberikan komentar. Dunia internasional seolah lumpuh oleh beban sejarah dan kalkulasi kepentingan. Siapa berani mengecam terang-terangan jika risiko embargo dan tekanan ekonomi mengintai?

Dalam pusaran ini, rakyatlah yang menjadi puing. Anak-anak yang tak mengerti geopolitik, wanita yang tak peduli pada negosiasi nuklir, dan lelaki tua yang hanya ingin hidup tenang di sisa usia mereka semua menjadi angka statistik, korban dari “perdamaian gaya Trump”.

Betapa konyolnya dunia ketika petir dianggap pelukan, dan ledakan dianggap pelantun perdamaian. Ketika retorika menjadi senjata, dan propaganda diperlakukan lebih suci dari naskah suci.

Ironi ini menyayat: dunia tidak sedang menuju damai, tapi sedang dipaksa masuk ke bentuk damai versi tirani damai yang tercapai jika lawan sudah binasa, jika semua perlawanan sudah lenyap, jika suara-suara kritis sudah dibungkam, dan hanya satu suara yang boleh terdengar: suara pemenang yang mengaku pahlawan, padahal tangan mereka berlumur abu dan darah.

Trump mungkin menyebut ini “pesan damai”, tapi dunia tak bodoh. Dunia tahu bau mesiu lebih tajam dari kata-kata manis. Dan dunia sedang mencatat, bahwa dalam kamus kekuasaan, ‘damai’ bisa berarti apapun asal menguntungkan yang punya senjata.

Catatan Kritis:
Ketika propaganda politik bertabrakan dengan kenyataan, yang hancur bukan hanya gedung reaktor, tapi juga akal sehat. Kita hidup di masa ketika narasi lebih kuat dari fakta, dan seorang pemimpin bisa mengubah agresi menjadi diplomasi dengan satu kalimat retoris. Ini bukan zaman keemasan peradaban ini zaman keemasan kebohongan yang disulap jadi legitimasi.

Dan kita semua... penontonnya. (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar