Cerpen: Ketika Orang Ketiga Mengintip Bahagia

ASKARA - Tak ada yang mengira bahwa bahagia bisa rapuh. Retakan kecil di antara tawa dan pelukan bisa mengundang luka. Seperti rumah yang terbakar dari percikan lilin, cinta pun bisa luluh oleh hadirnya satu hati yang tak seharusnya ada. Ini adalah kisah tentang cinta yang diuji, kepercayaan yang dirusak, dan pilihan untuk bertahan atau menyerah.
Rumah kecil itu berdiri di sudut gang sempit dengan pot-pot bunga yang mekar di terasnya. Setiap pagi, aroma kopi selalu hadir dari balik jendela dapur. Dinda dan Arman telah menikah selama tujuh tahun. Tujuh tahun yang mereka lewati seperti musim: kadang hangat, kadang hujan, tapi selalu mereka lewati bersama.
Dinda mencintai pagi, sementara Arman lebih hidup di malam hari. Tapi keduanya saling melengkapi. Seperti langit dan bumi yang tak pernah bersentuhan, tapi saling menjaga keseimbangan dunia. Namun, tidak ada yang abadi, bahkan pada pasangan yang terlihat paling kuat sekalipun.
Awalnya hanya nama yang sering disebut Arman dalam percakapan: Rani, rekan kerja baru di kantor yang “cerdas dan cepat tanggap”. Dinda mendengarkan sambil tersenyum, mencoba menekan rasa tak nyaman yang perlahan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
“Dia anak baru, bantuin bagian keuangan. Anak itu rajin banget,” ujar Arman suatu malam, sambil memandangi layar ponselnya. Dinda melirik dari balik piring yang sedang ia cuci, hanya menjawab dengan gumaman.
Waktu berlalu. Pesan-pesan Arman mulai berkurang intensitasnya. Senyum yang biasa ia berikan setiap pagi mulai terlambat hadir. Dan pada suatu malam, Dinda mendapati Arman tertidur dengan ponsel masih menyala, layar menampilkan pesan dari Rani. Kalimat terakhir tertulis: “Aku senang hari ini bisa makan siang bareng kamu. Kamu selalu bikin aku tenang.”
Dinda tak menjerit, tak menangis. Ia hanya mematung, seperti seseorang yang baru saja tersengat listrik. Dalam diamnya, ia tahu: ada sesuatu yang berubah. Dan perubahan itu tidak pernah datang tanpa alasan.
Beberapa hari kemudian, Dinda mengajak Arman bicara. Ia tak ingin menuduh, hanya ingin jujur tentang perasaannya. Tapi Arman menanggapi dengan defensif.
“Kenapa sih kamu jadi curiga? Aku cuma bantuin dia kerja. Kamu terlalu lebay.”
Dan di situlah awal dari retakan yang membesar. Ketika kepercayaan tak diberi ruang, maka prasangka akan menempati singgasananya. Dinda mencoba bertahan. Ia mulai mempercantik diri, membuatkan bekal makan siang, dan menghindari pertengkaran.
Tapi hati yang sedang berpaling tak mudah ditarik kembali. Arman semakin sering pulang larut, alasan lembur menjadi selimut yang menutupi kebohongan. Dan Dinda, ia mulai menulis jurnal malam hari, mencatat rasa sakitnya seperti mencatat hujan yang turun setiap malam, basah, dingin, dan tak pernah habis.
Sampai suatu hari, Dinda menerima kiriman foto dari nomor tak dikenal: Arman dan Rani sedang makan malam di restoran Jepang. Mereka terlihat tertawa, terlalu nyaman untuk sekadar rekan kerja.
Tak ada amarah dalam diri Dinda saat itu. Hanya kesedihan mendalam. Ia merasa seperti benang yang telah terlalu sering ditarik, akhirnya putus juga. Ia tak membalas pesan itu. Ia hanya menatap wajah Arman dalam foto itu, bertanya-tanya, sejak kapan senyum itu bukan lagi untuknya?
Malam itu, Dinda duduk bersama Arman di meja makan yang sepi. Ia menunjukkan foto itu, menatap mata lelaki yang dulu ia pilih untuk seumur hidupnya.
“Aku tahu kamu nyaman sama dia,” ucap Dinda pelan. “Tapi aku berhak tahu, apa yang masih tersisa untuk kita?”
Arman tak langsung menjawab. Ia tertunduk, lalu mengangguk pelan. “Aku salah. Aku terlalu dekat sama dia. Tapi aku belum sampai ke titik selingkuh...”
Dinda menatap tajam. “Kedekatan emosional juga bentuk perselingkuhan, Man. Ketika kamu mulai lebih terbuka pada dia daripada padaku, kamu sudah menempatkan aku di belakang.”
Arman menangis malam itu. Tangis yang campur antara penyesalan dan ketakutan akan kehilangan. Mereka berbicara sampai subuh, mengurai benang kusut yang telah lama membelit hubungan mereka.
Arman memilih untuk mundur dari tim kerja Rani. Ia minta dipindahkan ke divisi lain. Ia mulai mengikuti sesi konseling pernikahan bersama Dinda. Tapi luka tidak serta-merta sembuh. Butuh waktu, kejujuran, dan tekad untuk kembali menjahit yang robek.
Dinda masih sering terbangun malam-malam. Kadang menangis diam-diam. Tapi ia juga belajar memaafkan. Karena ia tahu, jika ia tak bisa melewati ini, maka cinta akan mati bukan karena pengkhianatan, tapi karena keputusasaan.
Tiga bulan setelah malam itu, Dinda dan Arman merayakan ulang tahun pernikahan mereka di tempat yang sama seperti tahun pertama dulu. Di sebuah warung kecil dekat danau, ditemani nasi liwet dan lilin seadanya. Tapi kali ini, mereka saling menatap lebih dalam, lebih sadar bahwa kebahagiaan harus dijaga bukan hanya dengan cinta, tapi juga dengan kepercayaan dan komitmen.
Orang ketiga bisa datang kapan saja. Dalam bentuk siapa saja. Tapi jika fondasi hubungan cukup kuat, ia tak akan punya celah untuk masuk. Dan jika pernah ada celah itu, maka keputusan untuk menutupnya atau membiarkannya lebar adalah tanggung jawab bersama.
Dalam hati, Dinda tak lagi merasa utuh. Tapi ia juga tahu: cinta bukan soal selalu utuh. Kadang cinta adalah memilih untuk tetap tinggal, meski pernah merasa hancur. (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar