Kamis, 17 Juli 2025 | 03:07
NEWS

Mantan Kabais: Empat Pulau Itu Milik Aceh, Bukan Tapanuli Tengah

Mantan Kabais: Empat Pulau Itu Milik Aceh, Bukan Tapanuli Tengah
Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto (Dok Askara)

ASKARA – Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, menyampaikan kritik tajam atas keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Melalui blog pribadinya, Ponto menilai keputusan yang tertuang dalam SK Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 itu telah mengabaikan fakta sejarah dan arsip hukum yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh sejak abad ke-19.

"Saya merasa ada yang luput. Keputusan administratif yang hanya disandarkan pada teknologi spasial modern ternyata mengabaikan sesuatu yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan lebih bermakna: sejarah," tulis Ponto dalam artikelnya, dikutip Askara, Jumat (13/6).

Menurutnya, peta kolonial tahun 1853 yang dibuat oleh kartografer Hindia Belanda Hermann von Rosenberg secara jelas menempatkan keempat pulau itu dalam wilayah Distrik Singkil, Aceh. Peta tersebut bukan sekadar arsip tua, melainkan dokumen resmi pemerintah kolonial yang diterbitkan dalam jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië dan kini disimpan di KITLV Leiden.

"Ini bukan sekadar peta tua. Ini adalah dokumen negara kolonial yang menunjukkan bahwa dari segi pemerintahan Belanda, pulau-pulau itu adalah bagian dari Aceh," tegasnya.

Tak hanya bukti sejarah, Ponto juga mengungkap dokumen agraria tahun 1965 yang mencatat pulau-pulau itu sebagai bagian Aceh, serta kesepakatan batas laut antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 yang kembali menegaskan posisi pulau dalam wilayah Aceh.

Lebih lanjut, ia menyoroti fakta fisik di lapangan: keberadaan tugu batas bertuliskan "Kabupaten Aceh Singkil," dermaga yang dibangun dengan dana APBA, hingga pelayanan medis dari Dinas Kesehatan Aceh di Pulau Panjang dan Mangkir.

"Jika negara ini menjadikan ‘kehadiran administratif’ sebagai ukuran, maka Aceh telah lama hadir di sana, bukan hanya lewat peta, tapi juga lewat pengabdian," kata Ponto.

Ia pun mempertanyakan validitas keputusan yang semata-mata bersandar pada teknologi tanpa melihat jejak historis yang otentik.

"Apakah kehadiran administratif bisa menghapus sejarah? Apakah garis satelit bisa membatalkan tugu sejarah? Apakah keberadaan Aceh selama lebih dari satu abad bisa digusur oleh satu surat keputusan?" ujarnya retoris.

Di akhir catatannya, Ponto menegaskan bahwa Aceh tidak sedang menuntut wilayah yang bukan miliknya. "Aceh hanya ingin agar sejarahnya tidak dicabut dari peta," tutupnya.

 

Komentar