Mutasi ASN Pasca Pilkada Harus Bebas dari Balas Jasa Politik

ASKARA - Fenomena mutasi atau pergantian pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) pasca pelantikan kepala daerah baru kembali menjadi sorotan publik. Meskipun mutasi merupakan hal wajar dalam dinamika birokrasi, motif politik di balik pergantian pejabat kerap menimbulkan polemik.
Pengamat hukum administrasi negara yang juga mantan Asisten Komisioner ASN, IGN Agung Y. Endrawan, mengingatkan bahwa mutasi pejabat harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-Undang ASN dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
“Setiap keputusan harus dilandasi prinsip legalitas. Artinya, prosedur pengambilan keputusan harus jelas, memiliki dasar hukum yang kuat, substansi yang benar, serta kewenangan yang sah,” ujar Agung dalam keterangan yang diterima, Minggu (18/5).
Ia menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi ASN, termasuk perlindungan dari tekanan politik, perlakuan tidak adil, dan tindakan sewenang-wenang. Menurutnya, keputusan mutasi yang didasarkan semata pada kepentingan politik atau balas jasa, berpotensi cacat hukum.
“Prinsip-prinsip dalam Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seperti kepastian hukum, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, tidak berpihak, keterbukaan, dan pelayanan yang baik harus dipenuhi. Jika salah satu prinsip tersebut dilanggar, maka keputusan mutasi berisiko bermasalah secara hukum,” tegasnya.
Agung mengakui bahwa kepala daerah memiliki kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian untuk melakukan rotasi, promosi, atau pemberhentian ASN. Namun, ia menegaskan, kewenangan tersebut harus dijalankan secara profesional dan objektif, berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan kinerja pegawai, bukan karena pertimbangan politis atau subjektif.
Ia juga menyoroti praktik dualisme jabatan dan pencarian-carian kesalahan ASN aktif sebagai tindakan yang bertentangan dengan asas kepastian hukum dan prinsip negara hukum. “Tidak boleh ada dua pejabat dalam satu jabatan. Itu mencederai kepastian hukum. Mencari-cari kesalahan ASN hanya untuk mengganti mereka juga merupakan tindakan yang melanggar etika pemerintahan,” ujarnya.
Agung menyerukan pentingnya pengawasan yang tegas, adil, dan objektif terhadap setiap kebijakan mutasi ASN, agar tercipta tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
“Budaya ‘ewuh pakewuh’ dalam pengawasan harus ditinggalkan. Pengambil keputusan harus mendengar dari berbagai pihak, bukan hanya dari mereka yang sedang berkuasa,” pungkasnya.
Komentar