Cerpen: Bayang-Bayang Keberanian: Kisah Terbalik Hakim Bao

Oleh: Dwi Taufan Hidayat
ASKARA - Tiga belas tahun setelah kepergiannya, nama Hakim Bao masih bergema di lorong-lorong pengadilan, meski kini hanya sebagai bisik-bisik yang kadang disertai senyum kecut. Seorang calon hakim muda menatap foto hitam-putih di dinding museum hukum—pria berpeci dan berkacamata itu tersenyum tenang, seolah tak menyadari betapa berat warisannya.
"Kau pikir putusannya legendaris? Coba baca ulang—hukum itu dinamis," gumam seorang kolega sambil menyeruput kopi. Foto itu tetap diam, tapi matanya seolah menatap tajam: "Apakah dinamisme hanya jadi pembenaran untuk kompromi?"
Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang dulu didirikan Hakim Bao kini sepi. Meja kayunya penuh coretan, kursinya reyot. Seorang pengacara muda datang, lalu pergi setelah menunggu setengah jam tanpa klien.
"Orang miskin sekarang lebih percaya viral di media sosial daripada pengadilan," keluhnya.
Di dinding, plakat penghargaan untuk Hakim Bao berdebu. Sebuah ironi: tempat yang dibangun untuk memuluskan akses keadilan justru jadi simbol betapa hukum semakin jauh dari mereka yang paling membutuhkan.
Ruangan di fakultas hukum penuh sesak saat Hakim Bao, sudah sepuh, berdiri dengan suara parau:
"Hukum yang hidup bukan kitab mati! Ia harus bernapas dalam realita!"
Salah satu mahasiswa mencatat dengan sarkasme: "Luar biasa. Tapi nanti di dunia nyata, kita tetap harus pilih: nurani atau kode etik?"
Tak ada yang mendengar bisikannya. Mereka bertepuk tangan untuk Hakim Bao, lalu pulang—sebagian akan jadi hakim, sebagian lagi jadi pengacara yang paham "aturan tak tertulis".
Vonisan tiga tahun penjara untuk kepala sekolah pencabul itu menggemparkan ruang sidang. Media menjuluki Hakim Bao "pembela moral". Tapi di ruang ganti, seorang hakim senior mendesah:
"Bao, kau terlalu ekstrem. Sistem kita butuh keseimbangan, bukan teror!"
Hakim Bao mengancingkan jubahnya, tak menjawab. Ia tahu: dalam hukum, "keseimbangan" sering berarti "toleransi untuk ketidakadilan".
Putusannya dibatalkan di banding. Tapi korban—perempuan yang diperdaya—justru berterima kasih: "Ayah saya saja tak membela saya sekeras Anda."
Hakim Bao tersentak. Ia baru sadar: di balik guguran lembaran putusan, ada manusia yang terluka. Hukum mungkin tak sempurna, tapi diam lebih kejam.
Ketika pertama kali jadi hakim, Bao muda gemetar memegang palu. Mentor-nya berbisik:
"Jangan hanya baca UU. Dengarkan tangisan tersembunyi di balik perkara."
Kalimat itu melekat, seperti bayang-bayang yang kelak membedakan dia dari yang lain.
Desa Baringin, 1928. Bocah kecil bermain di tepi sungai, memperhatikan dua batu besar yang menghalangi air.
"Aneh," pikirnya. "Sungai ini tak pernah berhenti—ia mengikis batu, atau mencari jalan lain."
Kelak, ia akan seperti sungai itu: tak bisa dihalangi, bahkan oleh tembok hukum yang paling kokoh sekalipun.
Kamera bergerak menjauh dari foto Hakim Bao. Suara narator menggantung:
"Apakah kita butuh lebih banyak Hakim Bao? Atau... apakah dunia sudah terlalu berubah untuk orang-orang seperti dia?"
Komentar