Gula, Korupsi, dan Oligarki: Mengapa Skandal Ini Tak Pernah Berakhir?

ASKARA - Korupsi di sektor pangan bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Kasus terbaru dugaan korupsi impor gula yang menyeret mantan Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Noer Fajrieansyah, menjadi bukti bahwa praktik rente ekonomi masih mengakar kuat dalam kebijakan perdagangan nasional. Desakan publik terhadap Kejaksaan Agung untuk segera bertindak semakin menguat, mengingat keterlibatan sosok-sosok penting yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan.
Dugaan Korupsi: Skema yang Terulang
Kasus ini menambah panjang daftar skandal korupsi di sektor impor pangan. Modus yang digunakan sering kali melibatkan manipulasi harga, kuota impor, dan kerja sama gelap antara pengusaha serta pejabat negara. Dalam kasus gula, dugaan permainan kuota impor bisa menyebabkan harga di pasar melonjak tajam, memukul petani lokal, dan menguntungkan kelompok tertentu.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Indonesia Corruption Watch (ICW), persekongkolan dalam impor pangan sudah menjadi pola lama yang sulit dihilangkan karena melibatkan oligarki bisnis dan pejabat pemerintah. "Ini bukan sekadar kasus individu. Ini masalah sistemik yang menunjukkan bagaimana regulasi dibuat untuk melayani kepentingan segelintir orang," ujar salah satu peneliti ICW.
Reaksi Publik dan Aktivis
Tanggapan keras datang dari berbagai aktivis antikorupsi dan organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa jika Kejaksaan Agung tidak segera bertindak, maka kasus ini akan menjadi contoh buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
"Kasus ini tidak bisa dibiarkan menguap begitu saja. Jika benar ada keterlibatan pejabat atau mantan pejabat tinggi, mereka harus diperiksa dan diadili tanpa pandang bulu," tegas Haris Azhar, aktivis HAM yang selama ini vokal terhadap kasus korupsi.
Senada dengan itu, Ekonom dari INDEF, Tauhid Ahmad, menilai bahwa kebijakan impor yang sering kali digunakan sebagai alat rente ekonomi harus segera direvisi. "Selama masih ada ruang bagi pejabat untuk bermain dengan kuota impor, selama itu pula kita akan terus mendengar kasus-kasus seperti ini," ujarnya.
Akar Masalah: Regulasi yang Lemah dan Intervensi Politik
Dalam berbagai kasus korupsi impor, ada pola yang terus berulang: kebijakan yang longgar, pengawasan yang lemah, dan intervensi politik dalam penentuan kuota. Kasus impor gula ini menjadi cerminan bagaimana regulasi perdagangan pangan kerap dijadikan alat untuk memperkaya kelompok tertentu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih bergantung pada impor gula dalam jumlah besar, meskipun industri gula lokal memiliki potensi untuk berkembang. Namun, berbagai kebijakan justru lebih menguntungkan importir daripada petani tebu dalam negeri.
Kesimpulan: Apakah Akan Berakhir di Meja Hijau atau Menguap?
Kini, semua mata tertuju pada Kejaksaan Agung. Akankah kasus ini benar-benar diusut tuntas? Ataukah ini akan menjadi salah satu dari sekian banyak skandal yang akhirnya menguap tanpa kejelasan?
Kegagalan dalam mengusut kasus ini hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa hukum di Indonesia masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika korupsi di sektor pangan terus dibiarkan, maka bukan hanya keuangan negara yang dirugikan, tetapi juga nasib jutaan rakyat yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
(Tunggu perkembangan lebih lanjut, apakah kasus ini akan berlanjut ke pengadilan atau tenggelam seperti kasus-kasus sebelumnya...) (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar