Pajak Karbon, Ekonomi, dan Lingkungan: Apa yang Harus Diprioritaskan?
Oleh: Yehezkia & Ihsan Abdurrahman Masykur (Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia)
ASKARA - Pernah mendengar tentang kebijakan pajak karbon? Kebijakan yang dilatarbelakangi oleh permasalahan iklim yang menjadi perbincangan global. Akankah efektif mengatasi permasalahan lingkungan di Indonesia atau menjadi bumerang bagi masyarakat?
Urgensi Mitigasi Perubahan Iklim
Dewasa ini, permasalahan iklim selalu menjadi topik hangat yang diperbincangkan oleh masyarakat global. Isu ini bahkan menjadi salah satu agenda global utama yang diprioritaskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) Nomor 13, yaitu mendorong tindakan untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya (United Nations, 2023). Perubahan iklim yang begitu masif terasa belakangan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kemajuan industri dan teknologi serta aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon. Kegiatan industri yang dilakukan manusia menghasilkan dampak negatif bagi lingkungan, seperti emisi karbon. Saat ini, banyak negara di dunia berjibaku menghadapi masalah emisi karbon yang semakin mengkhawatirkan, tidak terkecuali Indonesia.
Permasalahan meningkatnya emisi karbon ini juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2019 telah terjadi peningkatan emisi setara karbon dioksida (CO2e) dari 1.186.228.000 ton CO2e menjadi 1.866.552.000 ton CO2e. Pada laporan yang sama juga dapat diketahui sektor-sektor yang menjadi penyumbang emisi setara karbon dioksida dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2019 di Indonesia.
Selama dua dekade terakhir, sektor energi menunjukkan peningkatan emisi karbon dioksida setara (CO2e) yang stabil, dari 300 juta ton menjadi 600 juta ton. Hal serupa terjadi pada sektor limbah dan IPPU (proses industri dan penggunaan produksi), dengan masing-masing meningkat dari 60 juta ton ke 130 juta ton, serta 40 juta ton ke 60 juta ton CO2e. Berbeda dari sektor tersebut, emisi CO2e di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya) dan kebakaran hutan bersifat fluktuatif, bahkan mengalami penyerapan emisi pada 2001-2003. Namun, secara keseluruhan, sektor AFOLU dan kebakaran hutan tetap menunjukkan tren kenaikan emisi dalam 20 tahun terakhir.
Data tersebut menguatkan bahwa diperlukannya langkah untuk memitigasi peningkatan emisi dan permasalahan iklim dengan segera. Tingginya emisi karbon di tingkat global dan nasional memerlukan kerja sama antarnegara untuk mengatasinya. PBB melalui UNFCCC menetapkan perjanjian bagi negara anggota, termasuk Indonesia, untuk mengurangi emisi. Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisinya dalam Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) dari 29% menjadi 31,89% secara mandiri, dan dari 41% menjadi 43,20% dengan dukungan internasional (OJK, 2024).
Dengan landasan filosofis tersebut, pemerintah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) melalui pengundangan Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2016 yang berisi tentang komitmen pemerintah secara cepat melakukan upaya penurunan emisi karbon melalui aksi mitigasi (Barus & Wijaya, 2022). Lalu, dalam rangka mengatasi permasalahan emisi karbon, tindakan lanjutan yang ditempuh pemerintah Indonesia adalah dengan berencana memberlakukan Pajak Karbon untuk sektor transportasi, bangunan, dan sektor berbasis tanah pada tahun 2025.
Pajak karbon sejatinya bukan merupakan jenis pajak yang baru. Kebijakan pajak karbon di dunia sudah diterapkan sejak tahun 1990, pertama kali diterapkan di Finlandia. Saat ini, menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing 2022 yang dirilis Bank Dunia terdapat 37 negara yang sudah menerapkan Pajak Karbon (World Bank, 2022). Secara umum, Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil. Pajak berkonsep pigouvian ini rencananya akan diterapkan mulai 1 April 2022, tetapi mengalami beberapa penundaan hingga akhirnya dijadwalkan kembali untuk tahun 2025. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa keputusan ini diambil karena kondisi ekonomi yang masih rentan akibat dampak pandemi COVID-19, serta ancaman krisis pangan dan energi. Selain itu, pemahaman masyarakat tentang pentingnya pengurangan emisi karbon masih terbatas, dan banyak pihak kurang memperhatikan kebijakan ini (Wulansari, 2023).
Untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menjalankan program pengurangan emisi yang melibatkan APBN, pemerintah daerah, swasta, dan BUMN. Strategi yang tepat dan rencana pendanaan yang rinci diperlukan agar tujuan melindungi lingkungan dari dampak perubahan iklim dapat tercapai. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh pemerintah agar kebijakan pajak karbon tidak mengganggu perekonomian masyarakat mengingat pajak karbon nantinya berkemungkinan akan diterapkan pada pembelian bahan bakar fosil dan tagihan listrik.
Biaya Tersembunyi dibalik Pajak Karbon
Pemerintah perlu mempersiapkan dengan matang agar tidak timbul permasalahan baru akibat penerapan kebijakan Pajak Karbon ini. Sebagai konsekuensi logis diterapkannya pajak karbon, terdapat potensi kenaikan harga barang dan jasa yang akan berdampak kepada masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sejumlah barang esensial yang menghasilkan emisi akan dikenakan Pajak Karbon. Bahan bakar fosil contohnya, sebagai salah satu penyumbang emisi karbon bahan bakar fosil menjadi salah satu objek pajak yang akan dikenakan Pajak Karbon. Pengenaan Pajak Karbon kepada bahan bakar fosil akan berakibat pada kenaikan biaya produksi dan distribusi perusahaan yang pada akhirnya diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi.
Perusahaan penghasil emisi karbon secara tidak langsung didorong untuk melakukan transisi menuju penggunaan energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Pengusaha dituntut untuk berinvestasi dalam teknologi rendah emisi yang membutuhkan modal besar dalam jangka pendek. Pada dasarnya hal tersebut merupakan inisiasi yang positif, tetapi pada kenyataannya modal besar yang diperlukan tersebut justru akan membuat perusahaan enggan menggelontorkan sumber daya finansialnya dan justru memilih untuk sebatas membayar Pajak Karbon saja.
Hal tersebut menjadi hidden cost yang belum diperhitungkan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan pajak karbon ini. Untuk menciptakan industri rendah emisi, perusahaan perlu berinovasi dan mengembangkan berbagai teknologi untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi biaya yang dibutuhkan tentunya tidak sedikit. Hal ini diamini oleh salah seorang narasumber yang tidak mau disebutkan namanya, ia berharap adanya insentif pajak bagi perusahaan pada periode transisi ke teknologi dan/energi ramah lingkungan “kita pengennya juga nggak mau mengeluarkan emisi atau karbon yang merugikan lingkungan terlalu tinggi ya, tapi itu ada things to do, atau investasi yg harus kami harus lakukan. Harapannya sih kayak awal-awal mungkin ketika industri didirikan, harapannya nih ada tax exemption atau tax reduction atau apa ya, yang kaya di Pasal 31(E) itu.” (Wawancara mendalam dengan narasumber yang bekerja sebagai Tax Manager di perusahaan industri semen, Pada 2 Agustus 2024).
Pada akhirnya kebijakan pajak karbon di Indonesia tetap merupakan langkah penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon. Ihwal dampak pengenaan Pajak Karbon terhadap perekonomian, pemerintah sudah sepatutnya melakukan kajian mendalam agar tujuan utama Pajak Karbon dapat terwujud tetapi disaat yang bersamaan tidak mendistrupsi perekonomian. Pemerintah harus memastikan transisi menuju penggunaan energi baru terbarukan dan lingkungan yang lebih sehat dapat berjalan lancar tanpa mengancam kesejahteraan masyarakat.
Komentar