Selasa, 15 Oktober 2024 | 01:49
NEWS

Inilah Pandangan Analis Kebijakan Transportasi Terkait Kenaikan Tarif Tol

Inilah Pandangan Analis Kebijakan Transportasi Terkait Kenaikan Tarif Tol
Gerbang tol (Dok Jasa Marga)

ASKARA – PT Jasa Marga, selaku pengelola jalan tol dalam kota Jakarta dan wilayah Jabodetabek, mengumumkan rencana kenaikan tarif tol yang akan berlaku mulai 22 September 2024. Kenaikan ini merupakan bagian dari penyesuaian tarif rutin yang dilakukan setiap dua tahun sekali, sesuai dengan regulasi yang mengacu pada tingkat inflasi. Bagi pengguna kendaraan pribadi, terutama yang sering melintasi jalan tol di Jakarta, Tangerang, hingga Bekasi, perubahan tarif ini berarti adanya penambahan pengeluaran.

Terkait rencana kenaikan tarif tol ini, Azas Tigor Nainggolan, seorang analis kebijakan transportasi, memberikan pandangannya. Menurut Tigor, terdapat dua aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan kenaikan tarif tol ini.

"Pertama, kenaikan tarif tol seharusnya diimbangi dengan perbaikan layanan serta kualitas jalan dan sarana pendukung yang diberikan kepada pengguna. Selama ini, banyak jalan tol yang masih dalam kondisi kurang baik, seperti jalan yang rusak, berlubang, dan sambungan jalan yang buruk. Kondisi jalan yang tidak memadai ini sangat membahayakan pengguna jalan tol dan dapat memperparah kemacetan. Selain itu, pengelola jalan tol sering kali lamban dalam merespons keluhan terkait kemacetan yang rutin terjadi di jalan tol dalam kota Jakarta," ungkap Tigor.

Tigor menekankan pentingnya memastikan kenaikan tarif tol tidak hanya berfungsi sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan, tetapi juga sebagai pemicu untuk meningkatkan kualitas jalan tol dan layanan kepada pengguna. Hal ini penting agar pengguna merasa bahwa mereka mendapatkan nilai yang sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan.

Pandangan kedua Tigor berfokus pada masalah kemacetan yang sudah kronis di Jakarta. Tigor menilai, salah satu penyebab utama kemacetan adalah tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan yang lebih strategis adalah dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong penggunaan transportasi umum massal.

"Dalam konsep Transport Demand Management (TDM), salah satu cara untuk mengatasi masalah transportasi adalah dengan memberikan solusi yang efektif. Salah satunya adalah dengan menekan penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong masyarakat untuk beralih ke transportasi umum. Ini bisa dilakukan dengan membuat penggunaan kendaraan pribadi menjadi lebih mahal melalui tarif tol yang tinggi, tanpa subsidi bahan bakar, dan parkir yang mahal," ujar Tigor.

Tigor menila tarif tol yang tinggi dapat berfungsi sebagai salah satu alat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Dengan membuat biaya penggunaan mobil pribadi lebih tinggi, diharapkan masyarakat akan lebih memilih untuk menggunakan transportasi umum. Transportasi umum harus dibangun dengan baik, modern, dan terintegrasi serta terjangkau dengan subsidi tarif agar menjadi pilihan yang lebih menarik dibandingkan kendaraan pribadi.

Tigor juga mengkritisi kebijakan subsidi transportasi yang diterapkan saat ini. Ia menilai bahwa subsidi transportasi harus diberikan secara adil dan tidak berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). "Subsidi transportasi seharusnya tidak diberlakukan berdasarkan NIK karena hal tersebut dapat menghilangkan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke transportasi umum. Pemerintah harus menyeimbangkan subsidi dengan upaya menekan kemacetan, yang menyebabkan kerugian ekonomi sekitar Rp 180 triliun per tahun di Jabodetabek," jelasnya, Kamis (19/9).

Tigor mengungkapkan, saat ini subsidi untuk KRL Jabodetabek pada tahun 2023 baru mencapai sekitar Rp 1,6 triliun per tahun. Sementara itu, subsidi untuk Transjakarta dari Pemerintah Provinsi Jakarta mencapai Rp 3,4 triliun per tahun. Secara keseluruhan, Pemprov Jakarta mengeluarkan sekitar Rp 20 triliun untuk subsidi transportasi dalam setahun. Subsidi ini merupakan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi yang mau berpindah ke transportasi umum dan mengurangi beban pemerintah dari masalah kemacetan.

Sebagai rekomendasi, Tigor menyarankan agar pengelola jalan tol tidak hanya fokus pada kenaikan tarif, tetapi juga memberikan kemudahan bagi transportasi umum dan logistik. Tarif tol mahal sebaiknya diimbangi dengan kebijakan seperti memberikan tarif tol gratis atau lebih murah bagi kendaraan transportasi umum dan logistik. Selain itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan di jalan tol. Pemerintah juga bisa menerapkan pajak tinggi untuk bisnis jalan tol dan menggunakan hasil pajak tersebut untuk subsidi transportasi umum.

"Prinsipnya adalah memberikan kemudahan serta keringanan bagi pengguna transportasi umum dan kesulitan serta biaya tinggi bagi pengguna kendaraan pribadi. Tarif tol yang tinggi harus disertai dengan kualitas pelayanan dan sarana yang aman, nyaman, dan selamat bagi seluruh pengguna jalan tol," tutup Tigor.

Dengan demikian, kenaikan tarif tol yang direncanakan tidak hanya menjadi alat untuk meningkatkan pendapatan tetapi juga diharapkan dapat mendorong perbaikan dalam layanan, mengurangi kemacetan, dan mempromosikan penggunaan transportasi umum secara lebih luas.

 

Komentar