Minggu, 28 April 2024 | 04:08
NEWS

KMSRSK Minta Panglima TNI Hentikan Rencana Penambahan Kodam di Indonesia

KMSRSK Minta Panglima TNI Hentikan Rencana Penambahan Kodam di Indonesia
Ilustrasi anggota TNI-AD (Dok Ist)
ASKARA – Markas Besar (Mabes) TNI kembali menegaskan akan membangun Komando Daerah Militer (Kodam) baru untuk seluruh provinsi di Indonesia. 
 
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengungkapkan hal tersebut dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di GOR Ahmad Yani Mabes TNI, Cilangkap pada 28 Februari 2024. 
 
Hal ini juga senada dengan pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sebelumnya yang akan membangun Kodam untuk seluruh provinsi di Indonesia. 
 
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan
(KMSRSK) Muhammad Isnur memandang, langkah Mabes TNI yang terus melanjutkan rencana penambahan Kodam untuk tiap provinsi menunjukkan pemerintah tidak memiliki visi yang reformis di bidang pertahanan negara, khususnya untuk menjaga dan mengawal reformasi TNI sebagai aktor penting di dalamnya. 
 
"Alih-alih akan memperkuat pertahanan negara, penambahan Kodam untuk tiap provinsi mengkhianati amanat reformasi TNI 1998 dan justru berdampak buruk terhadap kehidupan demokrasi," kata Isnur kepada para wartawan, Jumat (1/3/2024).
 
Isnur menilai, penambahan Kodam menunjukan masih kuatnya orientasi pembangunan postur dan gelar kekuatan TNI yang lebih banyak ditujukan dan diorientasikan inward looking bukan outward looking dengan dominannya persepsi ancaman internal. 
 
"Hal ini berimplikasi pada kecenderungan terlibatnya militer dalam kehidupan politik, dan sebagai konsekuensinya sulit untuk menciptakan TNI sebagai alat pertahanan negara yang kuat, profesional, dan modern," ujar Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.
 
Penting dicatat, lanjut Isnur, agenda reformasi TNI 1998 telah mengamanatkan kepada otoritas politik, dalam hal ini pemerintah dan DPR untuk merestrukturisasi komando teritorial, yaitu eksistensi Kodam hingga Koramil di level yang paling bawah. 
 
"Pelaksanaan agenda tersebut senafas dengan upaya penghapusan peran sosial-politik ABRI/TNI yang didorong pada tahun 1998, mengingat pengalaman historis di era Orde Baru ia lebih berfungsi sebagai alat politik kekuasaan, bukan untuk pertahanan negara," tutur Isnur.
 
Isnur menyebut, restrukturisasi Koter secara tersirat telah diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU TNI menyatakan, "dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis, pergelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan".
 
Dengan dasar tersebut, imbau Isnur, eksistensi komando teritorial mestinya direstrukturisasi, bukan ditambah atau disesuaikan mengikuti jumlah provinsi di Indonesia.
 
Isnur menilai, penambahan 22 Kodam baru, sehingga nantinya ada untuk setiap provinsi sesungguhnya lebih menyiratkan adanya sebuah kehendak untuk melanggengkan politik dan pengaruh militer, khususnya matra darat dalam kehidupan politik dan keamanan dalam negeri seperti zaman Orde Baru dari pada bertujuan memperkuat peran TNI dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai alat pertahanan negara. 
 
"Dengan masih kuatnya persepsi ancaman internal dan orientasi inward looking, prajurit TNI yang ditempatkan dan mengisi struktur teritorial tersebut, mulai dari Kodam hingga Koramil akan lebih banyak disibukkan untuk mengurusi persoalan politik, sosial masyarakat dan isu keamanan dalam negeri, bukan fokus ke tugas pokoknya dalam menghadapi ancaman eksternal dari negara lain.
 
Dengan semakin menguatnya Koter, tutur Isnur, ruang dan kecenderungan bagi militer untuk berpolitik menjadi tinggi. 
 
"Secara organisasional, Koter dibangun dengan asumsi pembagian administrasi pemerintahan, karena itu strukturnya menduplikasi birokrasi pemerintahan dari pusat sampai daerah hingga di level yang paling rendah," jelas Isnur.
 
Dengan struktur semacam itu, ingat Isnur, pimpinan atau komandan Koter dapat terlibat secara langsung dengan pemerintah daerah, termasuk untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan di daerah. 
 
"Aparat teritorial akan lebih banyak bertugas atau berkaitan dengan urusan politik, keamanan dalam negeri, dan pemerintahan sipil. Pengalaman historis juga menunjukkan Koter menjadi instrumen kontrol terhadap masyarakat, termasuk misalnya digunakan dalam menghadapi konflik agraria yang terjadi di daerah," tegas Isnur.
 
Lebih jauh, tambah Isnur, eksistensi komando teritorial tidak lagi memiliki relevansi dan signifikansi dengan konteks ancaman yang dihadapi secara geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. 
 
"Struktur Koter sebagai bagian dari postur pertahanan dan gelar kekuatan TNI harus diganti dengan model yang konstektual yang diharapkan mampu merespon situasi perkembangan ancaman yang bersifat dinamis dan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan," tukas Isnur.
 
Berdasarkan pandangan di atas, tegas Isnur, KMSRSK mendesak:
 
1. Mabes TNI harus menghentikan rencana penambahan Kodam untuk semua Provinsi Indonesia. Selain tidak berkontribusi memperkuat pertahanan negara, penambahan Kodam hanya akan menimbulkan sengkarut pengelolaan keamanan dalam negeri dan berdampak buruk bagi demokrasi. Lebih dari itu, penambahan Kodam untuk seluruh provinsi di Indonesia juga sebagai bentuk pemborosan anggaran pertahanan negara di tengah terbatasnya anggaran untuk pemenuhan dan modernisasi alutsista kita saat ini;
 
2. Pemerintah dan DPR RI segera melakukan restrukturisasi komando teritorial (Kodam hingga Koramil) dan digantikan dengan model postur dan gelar kekuatan militer yang lebih kontekstual dengan dinamika ancaman dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
 
Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) terdiri atas:
1. Imparsial
2. PBHI
3. Centra Initiative
4. KontraS
5. HRWG
6. Public Virtue
7. Setara Institute
8. Elsam
9. IKOHI
10. Walhi
11. Public Virtue
12. Amnesty International Indonesia
13. LBH Jakarta
14. LBH Pers
15. ICW
16. LBH Masyarakat
17. HRWG
18. ICJR
19. LBH Malang
20. Setara Institute 
21. AJI Jakarta
22. AlDP
23. YLBHI.
 
 

Komentar