Jumat, 22 September 2023 | 09:47
OPINI

Pemikir Negara Merdeka Di Hindia Belanda Antara Tjokroaminoto dan Tan Malaka

Pemikir Negara Merdeka Di Hindia Belanda Antara Tjokroaminoto dan Tan Malaka
HOS Tjokroaminoto (int)

Oleh: Nunu A Hamijaya, Sejarawan Publik/ Tim penulis  Historiografi  Islam  MPUII

ASKARA - Dalam  konteks  pemikiran tentang sebuah  negara merdeka  100 persen  di tanah Hindia Belanda, sejarah  mencatat   dua tokoh perintis yang secara ideologis  berseberangan  Islam  dan  Komunis-Sosialis. Dua  tokoh dimaksud  adalah  Oemar  Said  Tjokroaminoto  (1882-1934)  dan Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka  (1897-1949).

Kedua   tokoh ini melahirkan pelanjut  pemikiran  bernegara yang   bersebrangan, yaitu  S.M. KARTOSUWIRJO  yang  mendirikan Negara Islam Indonesia (7 Agustus 1949) dan  MOESO   atau  Paul Mussotte  atau  Muso Manowar atau  Munawar Muso (12 Agustus 1897 – 31 Oktober 1948) dengan  gagasan   Jalan  Baru untuk  Republik Indonesia-nya pada peristiwa “Madiun Affair”, 18  September 1948.

Tahun  1921,  Tan  Malaka  bergabung dengan  Sarekat  Islam  pimpinan  Tjokroaminoto.  Ia mulai  terjun  ke  dalam  gelanggang  politk.  Sepak terjangnya   menyatukan   gerakan   komunis   dan islam    untuk    melawan    imperialisme    Belanda membuat  pemerintah  kolonial  gerah.  Tanggal  13 Februari  1922  untuk  pertama  kalinya  Tan  Malaka ditangkap ketika sedang berada di Bandung dalam rangka  memeriksa  gedung  sekolah  rakyat  dan dibuang di Belanda (Lionar et al., 2021, p. 50).

Namun, dalam kaitannya dengan perlawanan  terhadap   penjajah-kolonialis Belanda, Tan mengatakan:

“Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus  mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia.”

Tan Malaka menginginkan kedua partai, Central  SI (Yogyakarta)  dan Sarekat Rakyat  (Semarang )  pimpinan Semaoen  seharusnya  bersatu untuk tujuan yang sama, yaitu mengusir  imperialisme Belanda.

Pemikiran   tentang   sebuah  Pemerintahan  Islam di Indonesia digagas Tjokroaminoto  sejak   pidato-nya tentang   Zelfbestuur di Kota  Bandung (18 Juni 1916) dalam rangkaian  NATICO I (National  Congress) Central  Sarekat Islam,      hingga  melahirkan  Tafsir Program  Azas  dan Tandhim PSII  (1931).

Sementara,  di tahun  1925 ketika di Cina, Tan Malaka yang diberi gelar Bapak Republik  yang Terlupakan,   menulis buku kecil  berjudul Nar de “Republick Indonesia” yang  dicetak di Kanton. Buku ini dibaca kaum pergerakan di Hindia Belanda. Saat itu , ia telah menjadi duta  Komintern (komunis internasional) Asia Pasifik yang   berkedudukan  di Kanton China;  mendahului  Muhammad  Hatta, yang  menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai  pleidoi  didepan  pengadilan  Belanda  di Den   Haag   (1928)   serta   Bung   Karno   dengan bukunya  Indonesia  Merdeka  (1933).

Dalam   pandangan     Tan     Malaka,     revolusi     nasional sejatinya   bukan   menindas,   tapi   upaya   untuk membebaskan  rakyat  Indonesia  dari  Hegomoni kaum   penjajah.   Sementara   tujuan   revolusi   itu sendiri  merupakan  usaha  untuk  memerdekakan Indonesia secara seratus persen. Bagi  Tan  Malaka “Tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang telah menjarah rumahnya”  (Agahirber, 2021,  p.  392).  Slogan   perjuangan  Tan  Malaka yakni  Merdeka  Seratus  Persen.

Saat   akan  meletus pemberontakan komunis pada tahun 1926, Tan Malaka  menolak   keputusan rapat PKI di Prambanan. Ia menyatakan gerakan itu masih prematur dan akhirnya ia terbukti benar karena gerakan revolusi itu gagal total. Tahun itu, ia menulis buku  Massa Actie (Aksi Massa) sebagai pedoman untuk melancarkan revolusi. Setelah itu, demi pergerakan kemerdekaan, ia mendirikan PARI di Singapura. Malaka terus berjuang dengan berpindah-pindah tempat dari Cina hingga Singapura. Petualangannya yang legendaries itu akhirnya direkam dalam sebuah novel laris bertajuk Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia) yang terbit di Medan pada 1938.

Pada tahun 1942, berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang, Tan Malaka kembali menelusup ke tanah air dan tiba di Jakarta. Ia kemudian berada di Bayah Banten, diantara para Romusha dan menulis  buku  Madilog serta menyusun kekuatan bawah tanah.

Tan Malaka memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein, datang dari Bayah, Banten Selatan, ketika bertamu ke rumah Sukarni di Jl. Minangkabau, Jakarta, pada awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B. M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto.

Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka mengunjungi Ahmad Subardjo. Teman baiknya inilah yang kemudian mengenalkan Tan Malaka kepada beberapa politisi Jakarta seperti Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, Buntaran Martoatmodjo, dan Muhammad Hatta.

Selain dengan politisi tersebut, Tan Malaka juga  dipertemukan dengan Soekarno di rumah dr. Suharto, dokter pribadi presiden pertama Republik Indonesia. Pertemuan kedua tokoh besar ini diperantarai oleh Sayuti Melik, sekertaris pribadi Soekarno.

Dalam perjumpaan dan perbincangan ini Soekarno begitu terpesona oleh pendapat-pendapat Tan Malaka. Soekarno bahkan menyatakan ingin menyerahkan kepemimpinan revolusi kepadanya. Pernyataan Soekarno ini jelas bukan sebuah basa-basi atau guyonan semata, apalagi jika mengingat pernyataan tersebut dinyatakan dengan berulang-ulang.

Tan Malaka kemudian menceritakan hal ini kepada kepada Subardjo yang kemudian berinisiatif untuk melegalkan janji Soekarno tersebut dalam bentuk tertulis. Inisiatif ini berbuah menjadi kenyataan, tepat pada 1 Oktober 1945, statement politik itupun resmi diluncurkan.

Tan Malaka mengambil inisiatif untuk mengadakan wadah (organisasi) guna mengorganisir perjuangan-perjuangan itu dengan tepat, organisasi ini kemudian dikenal dengan nama Persatuan Perjuangan.

Pada 17 Maret 1945, Sjahrir melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Agar perundingan dengan Belanda berjalan lancar, Persatuan Perjuangan harus bungkam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh penting di dalamnya yang tidak mau tunduk oleh kebijakan Sjahrir ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tan Malaka pun kemudian ditangkap dan resmi menjadi tahanan politik pemerintah.

Pada bulan Januari 1946, Tan Malaka segera membentuk front Persatuan Perjuangan di Purwakarta. Ia menentang perjanjian Linggajati dan Renville, dalam front ini Tan mendesak untuk meraih kemerdekaan seratus persen dari Belanda. Ia berjuang menentang perjanjian Linggajati dan Renville yang merugikan Indonesia. Ia sempat diamankan sebentar oleh pemerintah pada Maret 1946. Setelah itu, Ia menjadi anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) dan pada 7 November 1947, ia mendirikan partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).

Tan Malaka berakhir di kaki Gunung Wilis Kediri dengan dieksekusi mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Devisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung.

Saat itu, Tan Malaka sedang gencar-gencarnya melawan Agresi Belanda dengan Jenderal Soedirman yang berada di Yogyakarta. Keduanya menolak kebijakan diplomasi dari pemerintahan Soekarno-Hatta karena menurut Tan Malaka untuk mencapai merdeka 100 persen bukan dengan jalan diplomasi. Tan Malaka tewas ditangan bangsa yang selama ini ia bela dengan segenap jiwa dan raganya.

Komentar