Pemikir Negara Merdeka Di Hindia Belanda Antara Tjokroaminoto dan Tan Malaka

Oleh: Nunu A Hamijaya, Sejarawan Publik/ Tim penulis Historiografi Islam MPUII
ASKARA - Dalam konteks pemikiran tentang sebuah negara merdeka 100 persen di tanah Hindia Belanda, sejarah mencatat dua tokoh perintis yang secara ideologis berseberangan Islam dan Komunis-Sosialis. Dua tokoh dimaksud adalah Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) dan Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka (1897-1949).
Kedua tokoh ini melahirkan pelanjut pemikiran bernegara yang bersebrangan, yaitu S.M. KARTOSUWIRJO yang mendirikan Negara Islam Indonesia (7 Agustus 1949) dan MOESO atau Paul Mussotte atau Muso Manowar atau Munawar Muso (12 Agustus 1897 – 31 Oktober 1948) dengan gagasan Jalan Baru untuk Republik Indonesia-nya pada peristiwa “Madiun Affair”, 18 September 1948.
Tahun 1921, Tan Malaka bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Ia mulai terjun ke dalam gelanggang politk. Sepak terjangnya menyatukan gerakan komunis dan islam untuk melawan imperialisme Belanda membuat pemerintah kolonial gerah. Tanggal 13 Februari 1922 untuk pertama kalinya Tan Malaka ditangkap ketika sedang berada di Bandung dalam rangka memeriksa gedung sekolah rakyat dan dibuang di Belanda (Lionar et al., 2021, p. 50).
Namun, dalam kaitannya dengan perlawanan terhadap penjajah-kolonialis Belanda, Tan mengatakan:
“Kalau perbedaan Islamisme dan komunisme kita perdalam dan kita lebih-lebihkan, kita memberikan kesempatan kepada musuh yang terus mengintai untuk melumpuhkan gerakan Indonesia.”
Tan Malaka menginginkan kedua partai, Central SI (Yogyakarta) dan Sarekat Rakyat (Semarang ) pimpinan Semaoen seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama, yaitu mengusir imperialisme Belanda.
Pemikiran tentang sebuah Pemerintahan Islam di Indonesia digagas Tjokroaminoto sejak pidato-nya tentang Zelfbestuur di Kota Bandung (18 Juni 1916) dalam rangkaian NATICO I (National Congress) Central Sarekat Islam, hingga melahirkan Tafsir Program Azas dan Tandhim PSII (1931).
Sementara, di tahun 1925 ketika di Cina, Tan Malaka yang diberi gelar Bapak Republik yang Terlupakan, menulis buku kecil berjudul Nar de “Republick Indonesia” yang dicetak di Kanton. Buku ini dibaca kaum pergerakan di Hindia Belanda. Saat itu , ia telah menjadi duta Komintern (komunis internasional) Asia Pasifik yang berkedudukan di Kanton China; mendahului Muhammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi didepan pengadilan Belanda di Den Haag (1928) serta Bung Karno dengan bukunya Indonesia Merdeka (1933).
Dalam pandangan Tan Malaka, revolusi nasional sejatinya bukan menindas, tapi upaya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari Hegomoni kaum penjajah. Sementara tujuan revolusi itu sendiri merupakan usaha untuk memerdekakan Indonesia secara seratus persen. Bagi Tan Malaka “Tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang telah menjarah rumahnya” (Agahirber, 2021, p. 392). Slogan perjuangan Tan Malaka yakni Merdeka Seratus Persen.
Saat akan meletus pemberontakan komunis pada tahun 1926, Tan Malaka menolak keputusan rapat PKI di Prambanan. Ia menyatakan gerakan itu masih prematur dan akhirnya ia terbukti benar karena gerakan revolusi itu gagal total. Tahun itu, ia menulis buku Massa Actie (Aksi Massa) sebagai pedoman untuk melancarkan revolusi. Setelah itu, demi pergerakan kemerdekaan, ia mendirikan PARI di Singapura. Malaka terus berjuang dengan berpindah-pindah tempat dari Cina hingga Singapura. Petualangannya yang legendaries itu akhirnya direkam dalam sebuah novel laris bertajuk Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia) yang terbit di Medan pada 1938.
Pada tahun 1942, berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang, Tan Malaka kembali menelusup ke tanah air dan tiba di Jakarta. Ia kemudian berada di Bayah Banten, diantara para Romusha dan menulis buku Madilog serta menyusun kekuatan bawah tanah.
Tan Malaka memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein, datang dari Bayah, Banten Selatan, ketika bertamu ke rumah Sukarni di Jl. Minangkabau, Jakarta, pada awal Juni 1945. Di sana sudah ada Chaerul Saleh, B. M. Diah, Anwar, dan Harsono Tjokroaminoto.
Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka mengunjungi Ahmad Subardjo. Teman baiknya inilah yang kemudian mengenalkan Tan Malaka kepada beberapa politisi Jakarta seperti Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, Buntaran Martoatmodjo, dan Muhammad Hatta.
Selain dengan politisi tersebut, Tan Malaka juga dipertemukan dengan Soekarno di rumah dr. Suharto, dokter pribadi presiden pertama Republik Indonesia. Pertemuan kedua tokoh besar ini diperantarai oleh Sayuti Melik, sekertaris pribadi Soekarno.
Dalam perjumpaan dan perbincangan ini Soekarno begitu terpesona oleh pendapat-pendapat Tan Malaka. Soekarno bahkan menyatakan ingin menyerahkan kepemimpinan revolusi kepadanya. Pernyataan Soekarno ini jelas bukan sebuah basa-basi atau guyonan semata, apalagi jika mengingat pernyataan tersebut dinyatakan dengan berulang-ulang.
Tan Malaka kemudian menceritakan hal ini kepada kepada Subardjo yang kemudian berinisiatif untuk melegalkan janji Soekarno tersebut dalam bentuk tertulis. Inisiatif ini berbuah menjadi kenyataan, tepat pada 1 Oktober 1945, statement politik itupun resmi diluncurkan.
Tan Malaka mengambil inisiatif untuk mengadakan wadah (organisasi) guna mengorganisir perjuangan-perjuangan itu dengan tepat, organisasi ini kemudian dikenal dengan nama Persatuan Perjuangan.
Pada 17 Maret 1945, Sjahrir melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Agar perundingan dengan Belanda berjalan lancar, Persatuan Perjuangan harus bungkam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh penting di dalamnya yang tidak mau tunduk oleh kebijakan Sjahrir ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tan Malaka pun kemudian ditangkap dan resmi menjadi tahanan politik pemerintah.
Pada bulan Januari 1946, Tan Malaka segera membentuk front Persatuan Perjuangan di Purwakarta. Ia menentang perjanjian Linggajati dan Renville, dalam front ini Tan mendesak untuk meraih kemerdekaan seratus persen dari Belanda. Ia berjuang menentang perjanjian Linggajati dan Renville yang merugikan Indonesia. Ia sempat diamankan sebentar oleh pemerintah pada Maret 1946. Setelah itu, Ia menjadi anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) dan pada 7 November 1947, ia mendirikan partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).
Tan Malaka berakhir di kaki Gunung Wilis Kediri dengan dieksekusi mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Devisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung.
Saat itu, Tan Malaka sedang gencar-gencarnya melawan Agresi Belanda dengan Jenderal Soedirman yang berada di Yogyakarta. Keduanya menolak kebijakan diplomasi dari pemerintahan Soekarno-Hatta karena menurut Tan Malaka untuk mencapai merdeka 100 persen bukan dengan jalan diplomasi. Tan Malaka tewas ditangan bangsa yang selama ini ia bela dengan segenap jiwa dan raganya.
Komentar