Sidang Kasus Kriminalisasi Fatia-Haris, YLBHI Sayangkan JPU Berperilaku Seperti Kuasa Hukum LBP

ASKARA – Sidang kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) memasuki tahap pemeriksaan saksi pelapor yaitu Luhut Binsar Panjaitan.
Pada sidang ini, semakin jelas menunjukkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bukan lagi mewakili kepentingan negara melainkan berperilaku seperti kuasa hukum Luhut Binsar Panjaitan (LBP).
Demikian disampaikan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur kepada para awak media, Jumat (9/6).
Menurut Isnur, hal yang paling mencolok adalah penuntut bertanya yang tidak ada dalam BAP dan dakwaan yaitu tentang hubungan dan percakapan antara Luhut dengan Haris Azhar.
Artinya, jelas Isnur, pertanyaan ini terindikasi sudah disiapkan untuk menimbulkan kesan Haris adalah pemain dalam hal ini meminta saham.
"Lebih jauh lagi penuntut umum mencoba mengarahkan jika podcast Haris yang mengangkat Papua sebagai balasan tidak diberikan saham oleh Luhut. Hal ini jelas tidak relevan dan bersesuaian dengan proses hukum yang telah berjalan sebelumnya," kata Isnur.
Sebelum sidang berakhir, tutur Isnur, akun-akun yang teridentifikasi memiliki afiliasi dengan Luhut mengangkat isu ini tanpa mendengarkan hingga akhir.
Padahal di akhir, ungkap Isnur, Luhut sendiri menyatakan saat Haris meminta saham, hal itu untuk masyarakat adat Papua dan dalam kapasitas sebagai kuasa hukum mereka.
"Tindakan-tindakan ini menunjukkan adanya skenario untuk mengalihkan isu utama di sidang yaitu dugaan keterlibatan perusahaan Luhut di Papua. Fatalnya, upaya penyebarluasan isu ini dilakukan tanpa mengkonfirmasi bahkan tidak mendengarkan hingga akhir dimana setiap terdakwa diberi kesempatan untuk memberikan respon atas keterangan saksi," papar Isnur.
Ketika melaporkan Fatia & Haris, lanjut Isnur, LBP mengaku sebagai individu/rakyat biasa. Namun kenyataannya, dalam persidangan hari ini menunjukkan hal itu bohong besar.
"Persidangan dijaga ketat oleh aparat keamanan dengan jumlah yang cukup banyak dan bahkan terdapat prajurit TNI yang ikut melakukan pengamanan," beber Isnur.
Selain itu, ujar Isnur, kuasa hukum Fatia dan Haris bahkan sempat tidak dapat masuk ke dalam persidangan karena terjadi penghalang-halangan di depan pengadilan, pun saat masuk dalam pengadilan jumlahnya dibatasi hanya untuk 12 orang.
"Penghalang-halangan tersebut, tidak hanya dialami kuasa hukum, tetapi juga dialami sejumlah jurnalis dan pengunjung yang ingin memantau jalannya proses persidangan. Menyusul perlakuan pengadilan di sidang sebelumnya yang mengubah kesepakatan hari sidang dari Senin menjadi Kamis hanya karena permintaan kuasa hukum LBP, yang bahkan diajukan tanpa bukti," tegas Isnur.
Isnur menyatakan, YLBHI mengecam langkah yang diambil oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membatasi akses ke ruang persidangan.
"Sejak minggu lalu, publik dan kuasa hukum dibatasi untuk mengikuti jalannya persidangan tanpa disertai dengan landasan legal yang jelas. Saat dikonfrontasi pun para polisi yang bertugas juga tak menjawab secara jelas. Hal ini jelas menyalahi asas persidangan terbuka untuk umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan melecehkan profesi advokat yang hendak melakukan pendampingan hukum untuk kliennya," papar Isnur.
Lebih lanjut, ungkap Isnur, jurnalis dan pada awak media yang ingin meliput proses persidangan pun dihalangi berkali-kali di gerbang dan pintu masuk ruang persidangan.
"Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers sebagaimana mandat dari UU 40 Tahun 1999. Bahkan, pihak-pihak yang sengaja melawan hukum untuk membatasi kerja pers telah masuk klasifikasi tindak pidana dalam UU Pers," tukas Isnur.
Isnur juga mengecam segala bentuk dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan di depan gerbang pengadilan terhadap publik yang ingin menyaksikan persidangan, bentuk dugaan tindak kekerasan tersebut berupa mendorong paksa, intimidasi hingga memiting.
"Selain itu, anggota kepolisian juga tampak seperti tak punya empati dalam bertugas di lapangan ditandai dengan sikap diam ketika melihat kelompok lanjut usia (lansia), perempuan bahkan balita dalam kerumunan yang berdesak-desakan," pungkas Muhammad Isnur.
Komentar