Kamis, 25 April 2024 | 05:32
NEWS

Di Cirebon Intellectual Conference, Prof Rokhmin Dahuri Dorong Moderasi Ekonomi Berbasis Kelautan

Di Cirebon Intellectual Conference, Prof Rokhmin Dahuri Dorong Moderasi Ekonomi Berbasis Kelautan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA - Pengurus Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Kabupaten Cirebon menggelar Cirebon Intellectual Conference (CIC) 2022 atau Konferensi Intelektual Cirebon. Acara bertema “Cirebon Diaspora; Mewujudkan Spirit Budaya Moderasi dan Multikultural untuk Perdamaian Bangsa” dilaksanakan selama dua hari, Selasa-Rabu (9-10/8) di Kota Cirebon.

Didukung Litbang Bimas Kemenag RI, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ), IAI Cirebon, IAI Bunga Bangsa Cirebon (BBC) dan STIKES Kempek bertujuan untuk mengumpulkan intelektual yang lahir di Cirebon ber KTP di daerah lain, ataupun lahir di luar Cirebon ber KTP Cirebon yang berkiprah di lingkup nasional maupun internasional.

Kegiatan CIC ini menampilkan sejumlah narasumber yang berkiprah di tingkat nasional maupun internasional di antaranya Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Agung Laksono, KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurrachman, KH. Husein Muhammad dan Yuddy Chrisnandi. Sementara itu, KH. Said Aqil Siradj menjadi keynote talker pada kegiatan CIC ini.

Pada kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS memaparkan makalah bertema “Membangun Moderasi Ekonomi Berbasis Kelautan; Tantangan Ekologi Dan Ekonomi Maritim Indonesia” mengungkapkan bahwa sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan.

“Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen. Pada 2004 tingkat kemiskinan turun lagi menjadi 16 persen, tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen. Sayang, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 persen atau sekitar 27,6 juta orang (BPS, 2021),” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Yang lebih mencemaskan, sambungnya, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin) pun semakin melebar dan membahayakan keharmonisan sosial. Ungkapnya, satu persen penduduk terkaya Indonesia memiliki total kekayaan setara dengan 45% total kekayaan negara, terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand (Oxfarm International, 2021).

Menurut Oxfam International, katanya, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia senilai USD25 miliar atau sekira Rp 335 triliun sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin atau 40% penduduk Indonesia. Sedangkan menurut KPK, sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional.

“Sekarang, menurut Institute for Global Justice, sekitar 175 juta ha atau 93% luas daratan Indonesia dikuasai oleh korporasi nasional dan asing. Itu yang namanya oligarki yang berkolaborasi dengan politikus nakal,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia pada 2021 sebesar USD 3.870. Pada Juli 2021, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah. Maka, menurutnya, dengan tingkat pendapatan per kapita tersebut turun kelas sedikit di bawah negara berpendapatan menengah atas atau upper middle income. “Indonesia belum masuk ke pendapatan menengah bawah atau lower middle,” ujarnya.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan 10 permasalahan dan tantangan pembangunan, antara lain: 1. Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran & Kemiskinan, 3. Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia, 4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah, 5. Fragmentasi Sosial: Kadrun Vs Cebong, Dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan Pangan, Farmasi, Dan Energi Rendah, 8. Daya Saing & IPM Rendah, 9. Kerusakan Lingkungan & SDA, 10. Volatilitas  Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Yang sangat mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar-Kemenkes terdapat 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi.

“Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, menurut UNDP, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” sebutnya.

Ironisnya, menurut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.

“UNEP dan WWF mengungkapkan Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia,” kata Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu.

Modal Dasar Pembangunan Indonesia

Prof Rokhmin Dahuri menyoroti sejumlah permasalahan  dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Kecuali sektor ESDM, usaha di sektor-sektor kelautan lainnya (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan pariwisata bahari) dilakukan secara tradisional (low technology & management) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.

Sehingga, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI), produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. “Akibatnya, kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) juga rendah,” katanya.

Disisi lain, lanjutnya, investasi dan bisnis sektor kelautan yang besar (korporasi), modern, dan sangat menguntungkan (ESDM, Kawasan Industri, Properti, dll) pada umumnya kurang nasionalismenya. “Sebagian besar profit nya dibawa ke Jakarta atau negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak,” tandas Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Kecuali perikanan tangkap, jelasnya, tingkat pemanfaatan sektor-sektor ekonomi kelautan lainnya belum optimal (underutilized). Kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah (15%).

Kedua, ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). “Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan alias miskin,” papar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Ketiga, sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. “Tidak ada kepastian harga jual ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi,” terangnya.

Keempat, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).

Peta Jalan Pembangunan Ekonomi Kelautan Menuju Indonesia Emas 2045

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan GNI per kapita sekitar 23.000 dolar AS dan PDB sebesar 7 trilyun dolar AS (ekonomi terbesar kelima di dunia) (Bappenas, 2019), Indonesia seyogyanya mengimplementasikan Peta Jalan Pembangunan Bangsa sebagaimana saya sajikan secara ringkasAda 10 IKU (Indikator Kinerja Utama, Key Performance Indicators) yang menggambarkan Indonesia Emas pada 2045. Pertama adalah bahwa pada 2045 GNI perkapita mencapai 23.000 dolar AS.

Target ini dapat tercapai, bila laju pertumbuhan ekonomi dari 2022 – 2045 rata-rata sebesar 6,5% per tahun (Bappenas, 2019). Kedua, kapasitas teknologi mencapai kelas-1 (technologyinnovator country). Ketiga, seluruh rakyat Indonesia hidup sejahtera alias tidak ada yang miskin (zero poverty), dengan garis kemiskinan menurut standar internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021).

Keempat, seluruh penduduk usia kerja (15 – 64 tahun) harus dapat bekerja (punya matapencaharian) dengan pendapatan yang mensejahterakan diri dan keluarga nya (zero poverty). Kelima, pemerataan kesejahteraan harus adil, dengan koefisien GINI lebih kecil dari 0,3. Keenam, kedaulatan (ketahanan) pangan, energi, farmasi, dan air harus kuat.

Ketujuh, IPM mesti diatas 80. Kedelapan, kualitas lingkungan hidup tergolong baik sampai sangat baik. Kesembilan, Indonesia harus berdaulat secara politik. Kesepuluh, pembangunan sosialekonomi harus berkelanjutan (sustainable).

Untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 dengan 10 IKU nya, di bidang ekonomi, kita harus mengimplementasikan tujuh kebijakan pembangunan ekonomi: (1) pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19; (2) transformasi struktural ekonomi; (3) mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan; (4) peningkatan kedaulatan/ketahanan pangan, energi, dan farmasi; (5) penguatan dan pengembangan infrastruktur dan konektivitas digital; (6) penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang kondusif, dan atraktif; dan (7) kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Menurut Guru Besar Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu, Indonesia memiliki modal besar dan lengkap untuk menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Namun dengan modal yang begitu besar, Indonesia masih berada dalam middle class.

Salah satu yang menyebabkan Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, belum sebagai negara maju, sejahtera, dan berdaulat adalah rendahnya jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dan jumlah entrepreneur (wirausahawan).

“Banyak faktor penyebabnya, mulai belum adanya rencana pembangunan (Road Map, Blue Print) yang komprehensif dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan sampai dengan masih rendahnya kualitas SDM, etos kerja, dan akhlak bangsa,” ujarnya.

Hal penting berikutnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, kebijakan dan program pembangunan terdiri: 1. Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat;

2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritime; 3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh sektor dan usaha (bisnis) ekonomi maritim yang ada sekarang (existing); 4. Pengembangan sektor-sektor ekonomi maritim baru, seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, dan deep sea water industry; 5. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan Kawasan Industri Maritim Terpadu  berskala besar (big-push development model)

Kemudian, 6. Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim: TOL LAUT dan konektivitas digital: a) Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam - Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang). b) Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industry. c) Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman). d) Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet;

7. Semua kegiatan usaha (ekonomi) maritim harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0 & Society 5.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) sustainable development principles; 8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya.

Selanjutnya, 9. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan; 10. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity); 11. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya.

12. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan; 13. Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS; 14. Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif; 15. Peningkatan budaya maritim bangsa; 16. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

 

Komentar