YLKI: Kenaikan Tiket Candi Borobudur Jauhkan Masyarakat dari Sejarah
ASKARA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengkritik naiknya harga tiket untuk naik ke Candi Borobudur.
Menurut Tulus, kenaikan tarif tersebut tidak tepat untuk melindungi sebuah cagar budaya.
Tulus mengatakan, cara tersebut bukan untuk konservasi atau melindungi cagar budaya melainkan bersifat komersialisasi.
"Jika untuk kepentingan konservasi dan menyelamatkan Candi Borobudur, bisa dengan pembatasan kapasitas saja sudah cukup. Tidak perlu dengan tarif selangit," ungkap Tulus, Selasa (7/6).
YLKI menilai peraturan anyar itu sama saja dengan menjauhkan masyarakat dengan pengetahuan sejarah.
"Ketika pemerintah menaikan tarif dengan harga yang tidak terjangkau untuk beberapa kalangan, masyarakat tidak bisa melihat sejarah," kata Tulus.
Menurut Tulus, jika tarifnya naik setinggi langit berarti bukan untuk kepentingan konservasi melainkan komersialisasi, yakni hanya diperuntukan orang-orang kaya saja.
Tulus menyarankan agar pemerintah dan pihak pengelola bisa memberdayakan dan mengeksplor Candi Borobudur.
Misalnya, managemen bisa mengeksplorasi kawasan candi dengan wahana yang lain, yang bisa dikomersialisasikan.
"Menurut saya candi ternama di Kamboja, yakni Angkor Wat lebih terkenal dari Borobudur, tarifnya masih murah, untuk orang asing hanya USD 20-26. Angkor Wat tetap eksis, bisa mendatangkan jutaan turis juga," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berencana memberlakukan kenaikan harga tiket ke Candi Borobudur.
Adapun tarifnya dipatok sebesar Rp750 ribu untuk wisata domestik dan USD 100 atau sekitar Rp1.442.050 untuk wisatawan mancanegara.
Komentar